Red is the Warmest Color (Part 1)

48 3 0
                                    

Siapa sangka ruang merah di kepalanya kini berubah menjadi tempat persembunyian yang nyaman bagi Shen Jiu.

Isi ruangan itu tak pernah sama setiap kali dia datang. Kadang bentuknya menyerupai kamar di panti asuhan tempatnya tumbuh dahulu. Di lain waktu, dinding merahnya digantikan dengan tirai - tirai tinggi seperti yang acap kali terlihat di kastil - kastil megah. Hanya saja, tirai itu koyak di sana sini. Jemari Shen Jiu kadang tergerak untuk menyentuh kainnya. Merasakan tekstur kain menggesek ujung jemarinya. 

Pada kesempatan lainnya, ruang merah itu hanyalah lorong tak berujung. Langkah Shen Jiu menggema pelan saat menyusuri jalan sunyi itu. Langkahnya tak berhenti hingga kesadaran menamparnya kembali ke dunia nyata.

Hari ini, Shen Jiu hanya menemukan satu cermin tertempel di dinding. Terukir ular meliuk di sepanjang bingkainya dengan sisik kehijauan. Kepalanya tepat menggantung di atas cermin dengan lidah terjulur. Ada kengerian pada benda itu. Namun Shen Jiu mengabaikannya.

Yang ia pedulikan hanya pantulan dirinya di sana.

Apa yang nampak di cermin terlihat seperti dirinya. Tubuhnya yang kian hari kian habis digerogoti duka dan kesedihan. Begitu pula rambutnya yang semakin panjang melewati bahunya. Terurai hingga ke tulang belikat.

Tidak ada yang berbeda dari biasanya.

Kecuali matanya.

Shen Jiu menerka dia akan melihat air mata di sana. Tapi dia salah. Yang nampak adalah amarah. Begitu dalam, matanya yang semula hijau terang kini menjadi sepekat rawa. Alisnya menukik dan bibir terkatup rapat. Shen Jiu mencoba mengurai otot di keningnya. Tapi bayangan itu tetap tajam menatapnya. 

Tangannya yang sekurus ranting mulai naik perlahan menuju ke pangkal lehernya. Shen Jiu berani bersumpah tangan sesungguhnya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Bayangan itu seperti bergerak dengan kemauannya sendiri.

Shen Jiu menyaksikan pantulan itu menyekik dirinya sendiri. Dia tahu dirinya tidak mungkin meninggalkan dunia dengan cara murahan seperti itu. Karenanya Shen Jiu hanya terdiam menyaksikan bayangannya mulai terkapar lemas kehabisan udara.

Kau tidak bisa mati dengan mencekik dirimu sendiri, tolol. Shen Jiu mendecakkan bibirnya.

Melihat hal absurd yang baru terjadi di hadapannya, Shen Jiu menyadari apa yang alam bawah sadarnya inginkan selama ini.

Dia ingin mati.

Pergi ke alam baka terdengar seperti pembebasan baginya.  Akan tuntas kesedihan di dadanya. Nestapa mengakar menjadi amarah setelah semua siksa dan pengkhianatan. Harga dirinya tak lagi tersisa setelah dipermalukan sedemikian rupa. 

Tak jarang Shen Jiu bergidik ngeri membayangkan tubuh kotornya yang sudah tak lagi miliknya. Tertinggal bekas - bekas sentuhan yang tak ia inginkan. Atau yang pernah ia inginkan, tapi ternyata Yue Qingyuan memandangnya selayak sampah.

Yue Qingyuan, ah, Yue Qingyuan.

Nama itu semakin sayup dan tak lagi terdengar setelah sekian lama.

Shen Jiu menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau mengingatnya lagi. Digosok - gosokkan wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia baru berhenti ketika wajahnya mulai terasa panas. Shen Jiu berusaha sebaik mungkin untuk mengatur nafasnya yang mulai tercekat. Menghalau kenangan dan memori yang mulai datang tanpa permisi.

Tarik nafas.

Hembuskan.

Tarik nafas.

Hembuskan.

Shen Jiu mulai merasa tenang ketika ada suara lain menimpali riuh di kepalanya.

"Mau sampai kapan kau duduk di depan kaca itu?"

The Crowded House (SVSSS AU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang