06. Actory In Cumbit Probatio

873 113 9
                                    

Ratusan buku berjajar rapi ditiap rak putih itu, dengan nomor-nomor yang menjadi penanda untuk mempermudah siapa saja yang hendak mencari buku.

Gedung ini merupakan perpustakaan pusat, terletak di jantung area kampus pusat Hybe. Gedung setinggi 3 lantai itu berdiri megah ditengah-tengah Universitas ternama di negara ginseng ini, memberikan kesan modern tanpa melupakan fungsi utamanya sebagai rumah buku.

Langkah demi langkah Jisoo jajaki marmer putih itu, dengan mata rusanya memindai setiap buku yang dia lewati. Berjalan menyuri rak-rak putih di blok Humaniora, mencari nomor buku yang dia inginkan seraya membaca judul dari beberapa buku yang dia lalui.

Sampai ketika langkahnya terhenti tepat didepan buku yang dia cari. Kedua sepatunya merapat, berbalik menghadap pada rak putih didepannya. Nayanikanya kemudian tertuju pada sebuah buku dengan judul...

"Kesetaraan Gender : Kemelut Pertikaian Si Patriarki dan si Feminisme."

Jisoo berbalik kala seseorang membaca judul dari buku yang baru saja dia ambil. Gadis itu lantas tersenyum tipis mendapati Seokmin kini sudah berdiri di sampingnya.

"Kau sangat menyukai buku-buku karya mendiang Choi Minki?" tanya Seokmin seraya bersandar pada rak didepan Jisoo, menghadap sang gadis yang begitu terpana pada buku ditangannya.

Jisoo mengangguk, "ya" jawabnya singkat.

"Apa yang membuatmu begitu tertarik dengan tulisan-tulisan dia?" tanya Seokmin kemudian.

"Penulis dari topik-topik sensitif biasanya akan memihak pada salah satu sisi, entah kanan atau kiri. Mereka selalu menuliskan hal positif dan keunggulan dari sisi yang mereka pihak, dan menyinggung kejelekan dari sisi lainnya. Objektivitas berkedok data" ujar Jisoo, gadis itu sejenak menghela nafas, sejenak menatap buku ditangannya lalu menatap ke arah Seokmin.

"Tapi aku tidak menemukan itu didalam bukunya Choi Minki. Dia adalah aktivis HAM, dia adalah seorang perempuan yang berpikiran modern. Kau tahu, bisa saja orang-orang seperti Choi Minki memiliki satu faham yang mereka junjung tinggi. Tapi ternyata Choi Minki tidak, dia netral. Bahkan didalam bukunya ini, dia tidak memojokan si Patriarki dan si Feminisme. Keduanya seimbang" sambung Jisoo.

Seokmin terdiam mendengarkan setiap tutur kata yang lisan Jisoo ucapkan. Kedua nayanikanya tertuju pada rupa sang gadis. Wajah cantik yang berpadu dengan otak cerdas dan kritisnya, selalu berhasil menyihir Seokmin untuk terus berlabuh kepadanya.

Si cantik yang dengan tampilan sederhananya itu selalu bisa menjadi poin utama dalam pandangan Seokmin. Bukan hanya rupa, tapi tabiat dan tutur katanya yang membuat pria bangir itu semakin jatuh terpesona.

Orang-orang mungkin akan berpikir bahwa Jisoo adalah gadis yang kolot, gadis itu terlalu ambisius dan realistis, mereka terkadang berpikir bahwa Jisoo adalah si apatis kutu buku. Namun tidak bagi Seokmin, Jisoo adalah oasis ditengah padang pasir yang panas. Jisoo adalah sang bunga indah dan langka yang hanya mekar di waktu tertentu saja.

"Mengapa kau sangat tertarik dengan urusan hukum? Apa ketertarikanmu itu juga yang membuatmu memilih urusan ini?" tanya Seokmin, mereka memilih untuk masuk ke dalam ruang diskusi supaya obrolan mereka tidak mengganggu pengunjung perpustakaan yang lain.

"Apa setiap ketertarikan harus selalu ada alasannya?" tanya balik Jisoo.

Seokmin mengangguk, "tentu, setiap hal pasti memiliki alasan mengapa tertarik dengan sesuatu."

"Tapi menurutku tidak" sanggah Jisoo.
"Tertarik pada suatu hal tidak harus memiliki alasan, kau tahu seseorang bisa merasa tertarik tanpa sebuah alasan. Klasik memang, tapi terkadang kau tidak akan bisa menjelaskan alasan mengapa kau tertarik pada sesuatu"

Fallin' Flower | SVTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang