08. Bunga Yang Perlahan Mekar

939 78 5
                                    

Membaca buku ataupun jurnal adalah sebuah hobi tersendiri bagi Jisoo, terutama jika bacaan itu adalah mengenai hukum. Gadis Jung itu, entah kenapa begitu tertarik dengan masalah hukum sehingga lingkup bacaannya selalu mengenai permasalahan itu.

Saat tengah asik membaca sambil menandai bagian penting dalam buku, pintu kamar gadis diketuk. Tak lama pintu terbuka, menampilkan sosok sang Ayah yang sudah rapi dengan pakaian formalnya.

"Soo, Ayah akan ke makam Mamahmu sekarang. Kau akan ikut?" tanya Jung Hoseok, Ayah Jisoo.

Jisoo tidak pernah lupa bahwa tanggal di bulan ini adalah peringatan hari kematian sang Ibu. Tepatnya 18 tahun yang lalu, dimana Jisoo yang masih menginjak usia 3 tahun.

Tidak banyak kenangan dengan sang Ibu, juga tidak banyak ia ketahui mengenai penyebab kematian sang Ibu. Yang jelas, Jisoo menyadari jika kematian Ibunya tidaklah wajar. Hak-nya direnggut, ia meninggal karena ketidakadilan dan kekejaman kekuasaan yang ada dimasa itu.

"Aku berdoa disini saja, Yah" jawab Jisoo.

Hoseok, pria paruh baya itu tersenyum mengerti. Pria yang kini menjabat sebagai seorang Jenderal dalam tubuh Pasukan Tentara, hanya bisa mengangguk pasrah. Sekalipun Jisoo merindukan Ibunya, tapi gadis itu tidak pernah mau mengunjungi makam sang Ibu.

Setiap kali rindunya hadir, Jisoo hanya akan memandangi wajah sang Ibu melalui fotonya. Secara lamat, dengan tatapan nanar penuh oleh kerinduan. Memandangi wajah cantik penuh senyum sang Ibu, itulah salah satu cara Jisoo untuk meluapkan kerinduannya.

"Yasudah, kalau begitu Ayah berangkat ya" pamit pria paruh baya itu diangguki oleh Jisoo.

"Iya, hati-hati dijalan, Ayah"

Selepas kepergian sang Ayah, Jisoo lantas menaruh buku yang tengah ia baca itu begitu saja. Beranjak melangkah menuju salah satu dinding kamarnya yang terpajang foto sang Ibu. Memandangi wajah cantiknya dengan seksama, dengan seukir senyum tercipta disudut bibir gadis manis itu.

Dia ingat, saat itu usianya baru menginjak 3 tahun. Jisoo memang belum banyak mengerti dengan keadaan, tapi yang dia tahu dan selalu dia ingat bahwa Ibunya adalah sosok perempuan yang hebat dan tangguh. Ibunya adalah bunga berani mekar dalam situasi berbahaya sekalipun, Ibunya tidak pernah gentar berhadapan dengan sang penguasa berbadan kekar dengan memperjuangkan sebuah keadilan.

Hari itu, sang Ibu pamit untuk bertemu dengan seorang kawan. Katanya dia hanya pergi sebentar, mungkin sore akan pulang dan makan malam bersama dengannya.

'Mamah hanya sebentar, kamu bersama Ayah dulu ya' ucap sang Ibu dengan senyuman khas tertuju kepada putri kecilnya.

'Mamah tidak akan lama?' tanya si kecil diangguki oleh Ibunya.

'Janji hanya sebentar ya, Mah' anak itu mengacungkan jari kelingkingnya meminta janji sang Ibu.

Ibunya tertawa kecil seraya menautkan kelingking mereka, 'janji, Mamah akan pulang sore nanti dan kita makan malam bersama ya di restoran seafood kesukaanmu ya'

Sang anak mengangguk, 'eum, aku akan meminta Ayah memakaikan gaun yang cantik untukku'

'Tentu, Jisoo anak cantiknya Mamah harus berdandan dengan cantik malam nanti'

Namun ketika sore menjelang sang Ibu tak kunjung kembali. Berhari-hari Jisoo menanti, beribu detik ia menunggu, bahkan hingga 18 tahun berlalu, kepulangan sore hari dan makan malam bersama yang Ibunya janjikan, tidak pernah terealisasikan sama sekali.

Beberapa hari pasca kepergian sang Ibu tanpa kabar, sang Ayah datang dengan sebuah kabar yang paling Jisoo benci hingga saat ini. Hoseok menggendongnya, memeluknya dan mengecupinya dengan suara isakan terdengar. Jisoo kecil tidak mengerti apapun kala itu, dia hanya dipakaikan gaun hitam dan di bawa ke sebuah gedung yang entah, Jisoo sendiri tidak tahu apa gunanya gedung itu.

Fallin' Flower | SVTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang