Musik (Tidak) Menyatukan Kita

166 7 20
                                    

Ruangan dengan pendingin, di balik udara sejuk ini, aku terus mengejar apa yang mereka sebut nilai. Fasilitas pendingin ruangan ini hanya dimiliki kelas unggulan. Ya, aku salah satu yang masuk kelas tersebut.

Orang tuaku bilang, dengan nilai yang tinggi, aku bisa melakukan apa saja. Aku bisa memiliki uang yang banyak dan kehidupan yang terjamin. Ya, untuk itulah aku belajar tanpa henti. Nilai-nilaiku harus selalu sempurna, dengan peringkat pertama di setiap semesternya.

Kehidupan masa sekolah, romansa anak SMA, aku tidak membutuhkan itu. Paling tidak itu yang kupikirkan sampai detik ini, di saat aku duduk di kelas 11.A SMA. Kelas unggulan hanya ada A dan B, selebihnya kelas biasa.

Belajar dan belajar, aku menyukai itu, tapi di suatu titik, aku mulai ragu dengan apa yang aku lakukan. Aku, Zera, orang-orang menyebutku maniak belajar. Aku tidak tersinggung, kurasa itu hal yang bagus. Aku memang suka belajar, tapi ada perasaan kurang. Aku tidak tahu apa itu?

"Zer, lu yakin enggak mau ikut perayaan ulang tahun sekolah kita?" tanya Soleh, teman sebangku, sekaligus teman baikku. Perayaan ulang tahun sekolah biasanya diisi dengan segala macam pertunjukan masing-masing klub di sekolah ini.

"Ogah ah, lu aja dah. Gue mau belajar buat ujian berikutnya," jawabku sambil membaca soal matematika.

"Ayolah, Zer. Nilai memang penting, tapi lu harus sedikit menikmati masa sekolah loh," pinta Soleh yang sepertinya mulai pasrah.

"Ya, tapi enggak janji ya. Paling gue lihat dari depan kelas doang," jawabku biar Soleh berhenti mengajakku. Soleh pun mengiakan, tidak apa-apa katanya untuk sekadar menonton. Aku pun memberi tanda setuju dengan mengacungkan jempol.

Hari yang ditunggu tiba, aku beranjak sesuai janji untuk menonton sekilas dari depan kelas. Ramai juga rupanya, jadi ini yang dinamakan perayaan. Aku semakin penasaran, kulihat ke arah panggung. Seorang siswi memainkan gitar elektrik.

Gila, dia bermain gitar elektrik solo pula. Sempurna bagiku yang awam terhadap musik. Permainannya cukup menawan dan garang. Aku ingin mengenalnya, pikiran itu berbisik padaku terus-menerus.

Begitu selesai penampilan yang memukau. Dia disuruh berkenalan dan memberikan kata-kata terbaik untuk siapa pun di sini.

Bagus! Batinku kegirangan.

"Baik, Teman-teman, nama saya Ara dari kelas 11.E. Kata-kata dari saya pada kesempatan kali ini adalah hidup itu singkat, jangan terlewat serius menggapai sesuatu, sewajarnya saja. Bersenang-senanglah, kamu akan menemukan kebahagiaan!

Sial, aku seperti disentil olehnya. Aku akan menemukannya, harus. Dia satu angkatan denganku. Namun, kelas 11.E katanya isinya preman semua. Ah, masa bodoh!

Waktu itu juga aku bergegas pergi ke kelas tersebut. Kelas 11.E ada di pojok. Aku pura-pura ke sana, melirik, tapi tidak ada. Aku bingung, apa dia ada di toilet?

Ingin bertanya, pasti mereka akan berpikir yang tidak-tidak. Hal itu mungkin akan membuat Ara terganggu.

Aku pun ke toilet wanita. Tenang, aku tidak berada di depan pintu toilet, tapi sambil pesan siomai. Ternyata benar dugaanku, dia pergi ke toilet. Aku pun bergegas menemuinya.

"Ara, maaf mengganggu!" Napasku sedikit berat karena berlari.

"Maaf, siapa ya?" tanyanya heran.

"Aku Zera, aku kagum dengan permainan gitarmu tadi," jawabku sekenanya.

Ara pun akhirnya mau bicara sambil menemaniku makan walaupun aku cari tempat yang agak jauh tapi enggak sepi juga. Aku sempat meminta kontaknya, dia memberinya tanpa pikir panjang. Baik sekali betina satu ini.

"Sudah berapa lama kamu main gitar?" tanyaku basa-basi.

"Mungkin dari SD." Dia tertawa.

"Aku suka nada yang kamu mainkan, tapi aku tidak bisa bermain musik," ucapku. Dia terdiam sejenak, lalu mengajakku latihan band dengan teman-temannya. Aku mengiakan tanpa pikir panjang.

Sore, sepulang sekolah, kami berangkat menuju studio musik. Beberapa alat musik sudah tersedia, tapi Ara punya gitar sendiri, sementara teman-temannya pakai yang ada di studio. Teman-temannya Ara, cewek semua, tapi memang agak tomboi.

"Zer, sebetulnya aku ini vokalis, tapi aku terlalu pusing kalau sambil main gitar, sementara kita coba kamu ya vokalisnya. Aku fokus pegang gitar sama mungkin sesekali ikut nyanyi mengikuti kamu," jelas Ara. Aku mengangguk setuju.

Kami latihan hampir setiap hari. Mereka juga tidak protes dengan suaraku meskipun tidak pernah bermain musik sebelumnya. Sampai suatu ketika ada acara yang mengharuskan kita untuk tampil. Ara tetap memercayakan posisi vokalis utama padaku.

Kami pun bersiap, latihan lebih keras hingga sampai pada waktunya. Waktu yang ditunggu tiba, kami naik ke atas panggung. Ara mempersilakan aku untuk perkenalan band berikut personelnya.

Aku sangat gugup, tapi begitu menyenangkan, bagiku yang tidak pernah meninggalkan kelas kecuali jam istirahat dan pulang sekolah.

Entah apa yang kukejar, sampai 'tak dapat menikmati dunia.

Sial, penggalan lirik ini membuatku hampir menangis. Emosi keluar semua, seolah mengelilingi kami berempat. Lagu baru kami yang berjudul Keluarlah, Nikmati Dunia, lagu ini seolah dilemparkan tepat di wajahku.

Konser pun berakhir sukses, kami merayakannya bersama. Makan-makan di rumah Ara. Sambil beberapa kali membahas kekocakan di panggung tadi. Kami cukup lama di panggung, dengan menyanyikan tiga lagu.

Beberapa hari berlalu, pengumuman pemenang kategori band terbaik jatuh pada kami. Ini adalah penghargaan pertama di luar pelajaran. Terima kasih kepada Ara dan teman-temannya, aku jadi lebih bisa menikmati kehidupan.

Waktu berjalan, acara demi acara kami hadiri. Band kami cukup dikenal baik di sekolah atau di luar. Ini membuat jadwal latihan semakin berat. Ah, aku tidak pernah secapek ini, tapi menyenangkan rasanya apalagi bisa berduaan dengan Ara.

Ketika pembagian rapor, peringkatku terjun bebas. Namun, ada tulisan tambahan tentang mengikuti kegiatan di luar dalam kurung musik, ditulisnya nilai sempurna di sana. Saat aku memberikan rapor ke ayah dan ibu, mereka tidak marah. Sepertinya orang tuaku sudah sedikit lebih baik. Mereka hanya bilang, "Lanjutkan apa yang kamu suka, sebelum terlambat."

Aku pun berusaha untuk membagi waktu belajar dan musik. Merebut beragam piala, juga tampil di panggung yang lebih besar dan lebih besar lagi.

Namun, di semester akhir, aku termakan nafsu untuk menyatakan perasaan kepada Ara. Tanpa pikir panjang, aku mengatakannya.

"Ra, maaf banget nih. Sebetulnya aku suka sama kamu. Kamu yang sudah mengubah sudut pandangku tentang sekolah. Dari yang hanya sekadar mengejar nilai, kamu membawaku ke dunia yang lebih asyik," ucapku.

"Kamu yakin? Aku ini bukan dari kelas unggulan loh." Ara tertawa.

"Aku serius, Ra. Tanpa mendengar suara gitarmu, mungkin aku tidak di sini sekalipun bertemu paling hanya karena kebelet kencing," jelasku penuh perasaan takut.

Ara tertawa terbahak-bahak. Dia berkata, "Aku senang ada yang berani datang dan minta kenalan. Aku senang orang itu kamu. Namun, aku belum bisa membalas perasaanmu saat ini." Ara menunduk.

"Ah begitu ya. Tenang, tapi aku masih bisa bergabung dengan band kamu, 'kan?" tanyaku.

"Tentu boleh, kita masih berteman, oke?" Ara ikut bertanya.

"Ya, kita masih berteman." Aku menyentuhkan jari kelingkingku pada jari kelingkingnya Ara.

(Tamat)

School ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang