Tidak Mungkin Sesempurna Itu

36 5 23
                                    

Hari ini kami berada di aula setelah melewati pekan seni dan olahraga, hari ini berbagai hadiah medali tersebar ke berbagai siswa-siswi berbakat di sekolahku. Ini pertandingan internal, yang menang itu-itu saja, rata-rata dari kelas unggulan, kelasku. Tidak heran. Membosankan.

"... Dan juara satu violinist terbaik jatuh kepadaaaaa, Angga Pranaja dari kelas 12 unggulan!!!"

Aku hanya streching di tempat mendengarnya, sepertinya tadi aku beberapa kali mendengar namanya, namanya nggak asing. Yaiyalah nggak asing, dia teman sekelasku. Namun, aku baru tahu dia seberbakat itu.

Terdengar gemuruh jeritan para-gadis-pemuja-Angga dari segala penjuru. Aku mendengkus. Suara jeritan menyebalkan itu makin terdengar keras begitu si pemilik nama malah duduk di kursi sebelahku. Aku tidak menyapanya atau memberinya ucapan selamat seperti yang lain. Bukannya pick me, tapi social energy aku lagi lowbat, terlebih mendengar jeritan tidak perlu di sekitarku.

"Berisik," desisku.

"Resiko jadi orang sempurna," kekeh Angga sepertinya mendengar desisanku. Aku mengerling kesal. Narsis. Kemudian setelah gemuruh jeritan itu cukup redam, aku menoleh pada Angga.

"By the way, congrats!" Mataku langsung salah fokus ke banyaknya medali yang melingkari lehernya. "Lah?! Banyak amat!!!"

"Congrats juga untuk ..." Angga menatapku dengan mata tertawa. "Satu medalinya, medali apa?"

"Tarik tambang." Aku menyeringai. Angga tertawa. "Itu apa aja?"

"Semua lomba," ujar Angga terdengar sedikit jengkel.

"Nggak semua kali," ujarku. "Lo nggak punya medali tarik tambang putri."

Aku dan Angga kemudian tertawa karir. Tak lama kami berdua sama-sama mendengkus.

"Lo beneran bisa semuanya, Ga?" tanyaku.

"Menurutlu?" tanya Angga. Aku mengernyitkan dahi.

"Nggak ada manusia jaman sekarang yang sempurna," kilahku. "Lo pasti punya kekurangan, jelek misalnya."

Aku memperhatikan wajah Angga dengan seksama. Dia ganteng sesuai standar kegantengan Indonesia. Si Angga menatapku dengan geli, sepertinya wajah seriusku ketika menatapnya cukup lucu di matanya. Angga juga punya badan tinggi dan bagus, sekali lagi sesuai standar kegantengan Indonesia.

"Pasti lo punya banyak musuh cowok yang iri sama lo, kan?" tebakku. Angga terkekeh.

"Sayangnya, Ratih, iri-irian di dunia cowok nggak sebanyak iri-irian di dunia cewek," ujar Angga mengambil hpnya dan menunjukkan list chat wa yang terlihat seperti asrama cowok.

"Lo tahu nama gue?" tanyaku.

"Kita sekelas, kan!" decaknya heran.

"Iya, tapi gue cukup invisible deh perasaan."

"Gue gapunya kekurangan, termasuk soal ingatan. Namalo Ratih Cahya Utara dipanggil Ratih, duduk di koordinat [6,8], lo biasanya pakai parfum aroma petrikor. Kita pernah sekelompok dua kali di lab kimia dan biologi."

"Ah yayaya, daya ingatlo bagus juga, pantes bisa main biola," gumamku tak acuh. "Namun, gue pasti sebentar lagi tahu apa kelemahanlo."

Aku tersenyum riang padanya. Angga menatapku dengan pandangan heran. Ah, ide kegiatan yang cukup menarik, akhir-akhir ini aku memang jenuh hanya belajar-belajar saja.

***

"Lo tolol, ya, Ratih?" tanya Amanda ketika aku meletakkan sepatu Angga di atas kayu yang terapung di tengah kolam renang sekolah.

School ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang