Warna

18 5 8
                                    

Apakah kau pernah punya mimpi yang sebenarnya tidak benar-benar ingin kau raih? Akan tetapi, sudah terlambat bagimu untuk menyusuri jalan lain, sehingga kau terpaksa meniti jalan menuju impian yang tidak benar-benar kau inginkan itu?

Kehidupan membosankan itu dimulai pada usiaku yang keenam. Setelah memakai kostum polwan cilik untuk dipotret, beberapa minggu setelahnya aku memakai kostum dokter cilik, lengkap dengan stetoskop mainan berwarna merah muda. Saat itu, mendiang ibuku bertanya, "Fara mau jadi polwan, atau dokter?"

Jika saat itu kupilih Polwan, akankah kehidupan yang kujalani berbeda? Kala itu, aku lebih suka mainan stetoskop, ketimbang peluit yang tersangkut di seragamku. Hanya karena peluit itu berisik dan selalu basah oleh air liur. Aku tidak tahu jika pilihan kecil itu telah mengubah sebagian besar kehidupanku.

Sejak hari itu, sebelas tahun hidupku dihabiskan untuk belajar dan meraih nilai tertinggi. Memang tidak ada hukuman, sekalipun aku gagal meraih nilai sempurna. Namun, yang tertanam dalam kepalaku selama itu adalah jika aku gagal, maka aku telah melakukan sesuatu yang setara dengan dosa besar. Memang bukan keluargaku yang akan menghukum, tetapi diriku sendirilah yang akan menghukum kegagalan itu.

Setelah masuk SMA, baru kusadari sebenarnya aku tidak begitu ingin menjadi dokter. Namun, rasanya berat untuk terlepas dari peraturan tak tertulis yang sudah kujalani sepanjang hidup. Terlebih setelah Ibu tidak ada, aku sudah tidak bisa bernegosiasi dengannya tentang profesi di masa depanku. Sudah terlambat untuk berganti arah, kini aku hanya akan menyeret diriku di dalam arus yang sudah terbentuk.

Di penghujung semester genap SMA, setiap tahunnya selalu bertepatan dengan ulang tahun sekolah. Di saat seperti itu, biasanya ada satu hari di mana waktu belajar boleh digunakan untuk kegiatan lain. Tahun ini, Festival ulang tahun sekolah diawali dengan acara jalan santai, lalu ada acara lempar balon yang berisi air berwarna, setelahnya baru pertunjukan seni dan hiburan-hiburan lainnya.

Guru-guru di kelas unggulan tidak pernah membiarkan siswanya menikmati acara itu. Mereka tetap masuk ruangan sesuai jadwal, memberikan materi, ujian, atau apa pun itu, asalkan kegiatan belajar terus berlangsung. Tidak semua anak unggulan menerima hal itu, sebagian dari mereka percaya diri untuk membolos kelas, sebagian takut mencoreng absen, sebagian lainnya menetap karena memang tidak berniat membuang waktu untuk hal yang tidak berguna. Aku adalah bagian dari kelompok terakhir.

Pak Efrin melangkah masuk di pergantian jam ketiga, dibiarkannya pintu terbuka lebar. Sehingga sayup-sayup suara keramaian di lapangan merayap masuk ke ruang kelas. Saat itulah aku tahu bahwa sudah waktunya band-band amatir sekolah unjuk gigi.

Diam-diam perhatianku terpecah. Rumus-rumus matematika mendadak asing bagiku saat alunan nada familiar terdengar. Ibu tidak pernah tahu bahwa aku suka mendengarkan musik saat kelelahan belajar. Itu adalah rahasia yang kusimpan rapat-rapat sejak kusadari aku tidak begitu ingin jadi dokter.

Aku mencoba untuk fokus lagi pada penjelasan Pak Efrin, tetapi telingaku tetap lebih peka pada suara-suara di luar sana. Kali ini bukan lagi soal nada, tapi soal suara yang pelan-pelan menyanyikan lirik dari lagu yang sangat kuhapal di luar kepala.

And if it's right, I don't care how long it takes,

as long as I'm with you I've got a smile on my face~

"Far, temenin gue ke toilet, yuk!" Disa, teman sebangkuku tiba-tiba bersuara.

Aku mengangguk, lalu berdiri mengikutinya pamit kepada Pak Efrin, lalu keluar kelas. Momentumnya tepat sekali. Aku harus mentraktir Disa karena kandung kemihnya telah membantuku mendengar suara di lapangan dengan lebih jelas. Toilet ada di ujung koridor, berdekatan dengan sisi kanan panggung pertunjukan seni.

Sementara Disa masuk ke salah satu bilik toilet, aku kembali ke koridor, menatap arah panggung terang-terangan. Siapa? Pertanyaan itu berputar-putar selama beberapa saat di kepalaku. Mengapa suaranya bahkan lebih menyenangkan daripada matematika?

"Far, yuk?" Aku menoleh dan mendapati Disa berdiri di belakangku.

"Udah selesai?" tanyaku, menoleh sekilas padanya, lalu kembali menatap kagum ke arah panggung.

"Udah." Disa kini berdiri di sampingku. "Tumben banget lo mau ngeliat pensi?" tanya Disa keheranan. Pasalnya, dia tahu betul tahun lalu aku menolak keras saat dia mengajakku bolos kelas.

"Itu yang lagi nyanyi siapa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandang.

"Oh, Pandu, Ketua Sekbid 2 OSIS, anak Paskibra juga. Kenapa? Lo suka yaaa?" Disa memasang senyum tengil.

Aku segera memalingkan muka, berjalan lurus untuk kembali ke kelas. "Yuk, balik kelas!"

"Wah, akhirnya Fara naksir cowok?" Disa mengejarku sambil tetap tersenyum tengil.

"Enggak yaa! Aku nanya doang, suaranya bagus."

"Nanti pulang sekolah aku kenalin ya!"

"Gakmau!"

***

Sejak hari itu, hidupku sebenarnya tidak banyak berubah. Aku tetap fokus belajar, tetapi aku lebih sering mengikuti Disa ke mana-mana. Ke kantin, menunggunya selesai rapat mingguan OSIS, mampir ke ruang sekretariat Paskibra, mondar-mandir di koridor, mengikuti Disa mengantar tugas-tugas anak kelas ke ruang guru. Fara yang 'lumpuh' seharian di tempat duduknya, kini lebih suka menggunakan kakinya, hanya agar bisa berpapasan satu atau dua kali dengan Pandu.

Sekolah sudah bukan lagi tempat yang membosankan. Aku punya misi lain selain mengukir jalan emas untuk profesiku di masa depan: Berpapasan dengan Pandu. Aku tidak ingin ia mengenalku, aku juga tidak ingin kami menjadi dekat, aku yakin itu akan menghancurkan nilaiku. Jadi, aku bertahan menjaga kewarasan dengan melihatnya dari jauh, atau saat berpapasan di koridor sekolah sesekali. Itu saja sudah cukup bagiku, tadinya.

Namun, ada hari-hari di mana Pandu menghilang dari peredaran. Saat itu, godaan untuk menerima tawaran Disa menjadi semakin sulit untuk dihindari.

"Gue cuma nunggu lo ngomong iya aja, nanti gue suruh Pandu ngechat lo duluan. Pasti mau dia, gue tau lo tuh tipe dia banget." Disa bisa dibilang dekat dengan Pandu, karena Disa juga anak Paskibra. Menurut kabar angin yang beredar, anak Paskibra punya ikatan yang lebih erat dari persaudaraan sedarah, karena mereka terbiasa menanggung beban satu sama lain, dan berbagi satu sama lain.

Aku kekeh mempertahankan no contact itu sampai kami naik ke kelas 12. Aku selalu merasa puas dengan perasaan sepihak itu, meski kadang kala aku juga haus dengan kehadirannya, bagiku itu tetap cukup. Lalu, tiba hari di mana aku menyesali segalanya.

Aku bertahan mengaguminya dalam diam, sebab aku tak mau kehilangannya. Kupikir, dengan tidak mencoba mendekatinya, kebahagiaanku akan berlangsung selamanya. Aku lupa bahwa musim tidak selamanya akan bertahan, bunga yang mekar juga akan layu ketika musim berganti. Tibalah hari di mana aku menyaksikan Pandu berjalan beriringan dengan perempuan lain.

Hari itu untuk pertama kalinya selama aku memendam bunga-bunga di dadaku sendirian, aku melihatnya tersenyum lebar sembari mengacak-acak rambut perempuan lain yang berjalan di sampingnya. Pandu tidak pernah tahu bahwa di detik yang sama, jiwaku berhamburan.

Aku bahkan tak sempat berterima kasih padanya, atas warna yang dia tumpahkan di atas hitam putih kehidupan masa sekolahku. Pelan-pelan hitam tetaplah hitam, warna yang ditumpahkan Pandu atas masa SMA-ku sudah berbaur kembali pada hitamnya. Demikianlah kuakhiri semua rasa yang bahkan tidak pernah sampai pada pemiliknya.

School ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang