Tahun Terakhir

37 4 17
                                    

"Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?"

Kejadian itu seperti seorang cupid menembakkan panah asmara tepat pada hati kecil Rana, membuatnya tidak bisa berpaling dari sosok lelaki berkacamata yang duduk di kursi cadangan lapangan basket dan mengangguk serius pada apa pun yang pelatih ucapkan padanya.

Ini adalah permulaan hari-hari Rana dipenuhi oleh bunga-bunga.

***

"Rana!"

"Apaan, sih? Sakit, tahu!" Rana meringis dan mendengkus kesal pada teman sebangkunya. "Enggak usah main pukul, Al."

Alya, teman Rana hanya terkekeh. "Habis, kupanggil-panggil tidak menyahut. Kamu sedang lihat apa, sih?"

Rana tidak menjawab, tetapi pandangannya lagi-lagi pada seorang laki-laki yang sedang berbicara dengan seorang guru. Dia menyeruput es tehnya dengan santai, lagi-lagi mengabaikan Alya hingga gadis itu kesal.

"Ran, woi! Jangan pura-pura budek!"

"Heh! Diem dulu!"

Rana tidak tahu apa dia harus kesal atau senang bahwa Alya sama sekali tidak sadar dia sedang memperhatikan lawan jenis. Sebenarnya wajar, karena posisi objek observasinya jauh di seberang lapangan. Laki-laki yang sedari tadi mencuri perhatiannya itu tampak sudah selesai berbicara dengan guru, berbalik arah menuju kantin dan tanpa sengaja mata mereka saling bertubrukan. Rana buru-buru buang muka, jantungnya mendadak berdetak sangat kencang dan pipinya memanas.

Inikah rasanya cinta~ oh inikah cinta~

Rana terkikik geli dengan langsung tersenyum semringah. Pipi gadis itu memerah dan kakinya dientak-entakkan kecil pada lantai. Tak lupa jarinya memelintir ujung rambut dengan gaya tersipu.

Alya yang sedari tadi memerhatikan Rana hanya bisa mengernyit. "Ran, kamu suka orang, ya?"

Bagaikan tersengat listrik, Rana nyaris menyemburkan es teh dari mulutnya. Sudah satu bulan Rana terkena panah asmara, sebenarnya dia sudah tak sabar mendeklarasikan perasaannya pada seluruh dunia. "Iya!" Ia mengangguk semangat.

"Wow, ternyata beneran?" Alya sendiri sepertinya tidak memprediksi jawaban itu. "Kukira kamu hanya akan pacaran sama tugas sampai lulus SMA."

"Jangan begitu, dong! Aku kan juga manusia!"

"Siapa, sih, cowok yang bisa mencuri hati Rana?"

Rana menahan diri untuk tidak tersenyum terlalu lebar, tetapi hasilnya gagal. Lagi, ujung jari Rana memelintir rambut sepunggungnya dengan malu-malu. "Kamu mau nebak, enggak?"

Alya kelihatan tertarik. "Satu kelas sama kita, ya?"

Rana menggeleng. "Tapi pernah sekelas," tambahnya.

"Kelas sebelah?"

Rana mengangguk. Kelas Rana dan kelas sebelah masih sama-sama kelas unggulan di SMA ini.

"Siapa, ya?" Alya sepertinya belum bisa menebak.

"Aku kasih tiga petunjuk, deh!"

"OK!"

Waktu istirahat masih tersisa lima belas menit lagi, tetapi ini lebih dari cukup untuk Rana berbagi rahasia besar yang ia simpan sebulan terakhir.

***

Dia pandai bermain musik

Rana tidak tahu sejak kapan laki-laki itu mulai mencuri perhatiannya. Karena mereka sudah kelas dua belas, dia tidak pernah berekspektasi apa-apa akan kehidupan sekolah yang sangat membosankan. Seperti rata-rata siswa-siswi yang menghuni kelas unggulan lainnya, bahkan ekskul yang Rana pilih adalah olimpiade.

School ExperienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang