Tak Bisa Berkutik

688 136 12
                                    

"Hai, Ester, apa kabar?"

"Simon?" Ekspresi wajah Ester masih tampak syok melihat wajah laki-laki di depannya.

"Kok, kaget gitu, sih? Kayak abis liat hantu aja!" kelakarnya sembari berjalan, lantas duduk di kursi teras.

"Kamu tau dari mana aku tinggal di sini?" Ester ikut duduk di kursi teras saling bersebelahan dengan pemisah meja kotak. Ia masih ingin mencari tahu jawaban dari sahabatnya, Simon Stefanus.

"Habisnya tega banget, sih kamu nggak ngundang aku. Emangnya aku udah nggak dianggap sahabat lagi ya?" Sepasang manik legam Simon perlahan redup. Walau bibirnya menyunggingkan senyuman, tetapi sangat kentara jika suasana hatinya sedang mendung.

"Bukan gitu, Simon. Semuanya Paman Juan yang atur. Aku cuma ikutin arahan aja. Lagian pernikahan ini kan terjadi karena—" Ester menunduk menautkan jemari tangannya yang dingin.

"Aku ngerti, kok." Simon berdeham canggung karena merasa tak enak hati membuat Ester muram. "Hm, by the way aku belum jawab pertanyaan kamu kenapa aku bisa tau kamu tinggal di sini?"

Ester mengangkat wajah diiringi anggukan. Wajahnya benar-benar menggemaskan ketika Simon memainkan rasa penasarannya. "Penasaran, ya?"

Kedua pipi Ester mengembung sebal, "Udah, sih  jawab aja. Nggak perlu bertele-tele. Nggak baik, loh bikin bumil kesel karena penasaran!"

"Ya, ampun sensitif banget sekarang!" Simon masih saja meledeknya sampai dibalaskan dengan decakan oleh wanita di sampingnya, "Oke, oke, aku jawab, nih! Jadi, tadi tuh aku ketemu mobil Paman Juan di jalan. Terus aku minta beliau berhenti sebentar karena aku mau nemuin kamu. Awalnya beliau nggak mau kasih tau, tapi pas aku bilang aku mau nemuin kamu buat yang terakhir kalinya, akhirnya dapet juga dong alamat ini. Untung nggak susah nemuin rumah ini saking bedanya arsitekturnya dari kabayakan desain rumah di sini." Simon menggaruk keningnya sembari menampilkan cengiran, "Wajar sih ya. Soalnya suami kamu itu kan arsitek."

"Aku malah belum tau itu," balas Ester tersenyum miris karena benar-benar tidak mengenal karakter maupun pekerjaan laki-laki yang menjadi suaminya.

Simon cepat membaca suasana hati teman baiknya sehingga ia perlu memberikan semangat. "Gapapa, nanti juga lama-lama kamu bakalan kenal luar dalam sama suami kamu. Aku harap, dia bisa bersikap baik sama kamu dan calon bayimu."

Ester hanya merespons dengan anggukan pelan.

"Ester, gimana perasaan kamu sekarang?"

"Harus ya dijawab?"

Simon terkekeh serak, "Boleh nggak, boleh iya."

"Jadi korban pemerkosaan, pelaku lepas tanggung jawab, dinikahin terpaksa ... terus sekarang malah satu rumah sama orang yang nggak dikenal sama sekali." Ester meringis seraya menepis butiran air mata yang nyaris jatuh dari sudut matanya.

"Kalo aja malam itu aku nggak ninggalin kamu, mungkin kamu nggak akan ngalamin nasib buruk kayak gini," sesal Simon merasa terpukul ketika mengingatnya, "andai aja aku udah mapan, aku yang akan nikahin kamu, Ester. Paling nggak, kita udah kenal lama sebagai sahabat. Aku juga nggak pernah masalahin siapa ayah biologis bayi kamu."

Simon akhirnya mengutarakan maksud hatinya. Kendati demikian, ia masih bisa menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaannya yang mendalam. Ia tidak mau merusak persahabatan yang telah mengikatnya.

"Ngomong apa sih kamu? Semuanya udah takdir yang aku terima. Lagian aku juga nggak bakalan mau nikah sama kamu." Ester menjulurkan lidahnya mencoba mencairkan suasana.

"Tapi aku serius, Ester!" Intonasi Simon sedikit menekan.

"Aku juga serius!" Ester merasa sudah tidak baik perbincangan antara mereka. Dan, ia juga merasa sudah cukup lama menerima tamu di rumah yang baru saja ditempati. "Maaf, Simon, ini udah malam. Sebaiknya kamu—"

Simon paham jika Ester sudah tidak nyaman, sehingga ia harus sadar diri. "Ah, ya, tunggu sebentar!"

Ester bangkit menatap Simon yang berlari ke depan gerbang. Di sana ada sepeda motor matic yang terparkir. Tak lama laki-laki itu kembali lagi seraya menenteng paper bag berisi sebuah kotak dengan hiasan pita merah. "Terimalah."

"Untuk?" Ester tampak bingung.

"Sebagai kado pernikahan. Meski bukan barang mahal, tapi aku tulus memberinya sebagai tanda persahabatan kita." Simon menyerahkan benda tersebut ke tangan Ester.

"Makasih. Harusnya kamu nggak perlu repot begini."

"Nggak ada yang repot, kok."

"Sekali lagi makasih ya."

"Oh, ya, aku juga mau sekalian bilang kalo mulai besok aku udah nggak ada di sini," tutur Simon menimbulkan tanya lagi di benak wanita berbadan dua. Sebelum Ester bertanya, ia kembali melanjutkan bicara, "Aku diajak sepupu hijrah ke Negeri Sakura. Berhubung ini kesempatan emas, ya aku terima!" lanjutnya antusias.

"Emang kamu udah bisa bahasanya?"

"Bisa."

"Coba gimana?"

"Aishiteru."

Sontak, senyum dipermukaan bibir Ester luntur seketika. Ia sampai mengalihkan pandangan dari bola mata Simon yang menatapnya sendu. Untuk beberapa saat keduanya terdiam dan kecanggungan antara mereka sangat kental.

"Aku yakin kamu pasti akan jadi orang sukses di sana," kata Ester sesaat kemudian menetralisir keadaan.

"Pasti aku bakalan kangen banget sama kamu, Ester." Jika boleh jujur, Simon ingin membawa wanita itu bersamanya. Menghabiskan malam panjang berdua sebelum meninggalkan Tanah Air. Namun, ia yakin tidak akan mendapat sambutan. "Ya, udah kalo gitu, aku pamit ya!"

"Makasih ya, Simon. Maaf, aku nggak bisa ajak kamu ke dalam." Kemudian Ester menepuk jidatnya tiba-tiba saat teringat sesuatu. "Astaga! Aku baru sadar belum kasih kamu minuman!" Ia sungguh merasa tak enak hati saking kagetnya didatangi kawannya sampai tidak memberikan suguhan, bahkan segelas air minum saja tidak ada.

"Santai aja. Lagian aku ke sini mau ketemu kamu. Bukan minta minum, apalagi numpang makan!"

"Tapi aku juga belum lihat dapur ada makanan apa nggak!" Ester meringis seraya menggaruk kening.

"Maklum, kamu juga kan penghuni baru di rumah ini. Hm, kalo gitu tolong bilang makasih sama suami kamu udah izinin kita ketemuan." Simon berjalan keluar, lalu merapatkan gerbangnya agar tidak merepotkan Ester. Ia masih belum beranjak dan malah menatap lurus ke Ester dari celah gerbang. "Tetaplah jadi Ester yang ceria dan kuat!" ucapnya setengah berteriak.

Ester menatap kepergian teman baiknya. Sebelum melaju, Simon melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan terakhir. Ester gegas memasuki rumah sambil menggenggam tali paper bag.

"Pacar kamu udah pulang?" Suara Lukas terdengar menggema karena suasana sangat sunyi. Laki-laki yang sudah mengenakan setelan tidur sedang duduk di sofa sembari menyesap kopi di cangkir.

"Udah. Hm, tapi aku nggak punya pacar. Yang tadi Simon namanya, dia itu teman aku." Ester menjawab seraya memberikan penegasan agar tidak dipandang rendah.

"Oh." Sangat singkat Lukas menimpali sembari melirik pada benda di tangan Ester.

Sebenarnya Ester sangat kesal dengan respons demikian. Setelah melontarkan pertanyaan yang tersirat tuduhan, Lukas malah acuh tak acuh dan sibuk pada ponselnya.

Merasa tak ada lagi yang dibahas, Ester berniat pamit memasuki kamar. Namun, baru saja beberapa langkah, Ester kembali dilanda rasa ingin tahu akut. Entah darimana keberanian itu datang, hingga sebuah kalimat yang berpotensi pertanyaan telak membuat laki-laki dua puluh delapan tahun tak bisa berkutik.

"Apa Abang Lukas udah punya pacar?"

.

Nah, kan ditanya balik auto mingkem 🙃

.

.


Mau baca duluan mampir ke KARYAKARSA ✅

Follow Instagram untuk kepoin cast character, spoiler part dan video ala trailer semua cerita 📲



Aliceweetsz || Kamis, 12 Oktober 2023

Aliceweetsz || Selasa, 10 Oktober 2023

Redeeming LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang