Asher mengenggam mantap sebuah pistol jenis Colt 1911 di tangannya. Helaan nafas terdengar beberapa kali bermaksud menenangkan diri, dia gugup. Ini adalah pertama kalinya Max mengajari dia menggunakan senjata. Tadi ayahnya itu sudah menjelaskan bagian-bagian senjatanya, lalu hal dasar yang harus diketahui. Ayahnya juga bilang jika dia harus tenang dan fokus. Dia juga sudah melihat Max mencontohkannya langsung. Tapi tetap saja. Tangannya kini malah gemetaran. Dia berbalik menatap Max.
"Daddy, I can't do this!" Max tersenyum maklum, dia menepuk bahu putra bungsunya bermaksud memberi kekuatan.
"Aku melakukan ini semata-mata agar kamu bisa melindungi diri kamu sendiri, aku dan semuanya akan tetap melindungimu sampai kapanpun. Hanya saja dengan kamu yang bisa melindungi diri kamu sendiri akan membantu kamu menjalankan kehidupan kedepannya. Kamu tidak bodoh Asher. Kamu pasti tahu apa yang aku lakukan." Asher terdiam. Dalam hati membenarkan apa yang Ayahnya katakan. Dia tidak mungkin bergantung sepenuhnya pada perlindungan dari keluarganya. Dia akan dewasa dan dia harus bisa melindungi dirinya sendiri dan mungkin pasangannya nanti.
"Baiklah Dad, aku akan coba!" Ujarnya yakin. Max mengusak surai legam putranya seraya terkekeh pelan yang dibalas senyuman lebar oleh anak itu.
"Ingat anakku!" Ujar Max tegas, dengan jarinya mengarah pada lingkaran yang merupakan target untuk tembakkan anaknya
"Kamu tidak boleh ragu, yakinlah pada diri kamu sendiri. Fokus, dan cobalah."
Asher mengangguk mantap, senjatanya mulai diangkat kembali. Dengan mata menyorot lurus pada target di depannya. Menarik nafas panjang sebelum benar-benar menekan pelatuknya.
Dor!
Max tersenyum bangga saat timah panas itu berhasil menghancurkan target pertama. Asher menghela nafas lega. Cukup tidak menyangka akan mengenai target di percobaan pertama.
"Target kedua Asher!" Ujaran dengan nada tegas dari Max membuat Asher kembali memfokuskan pandangan pada target kedua. Sedikit lebih jauh dan ada dua lingkaran yang menjadi targetnya.
Dor!
Dor!
Suara tembakan kembali terdengar. Dan lagi-lagi tepat sasaran. Benar-benar luar biasa. Max mendekat pada si bungsu. Membantu anak itu melepaskan kelengkapan latihan menembak untuk pemula dari tubuhnya. Mengusap keringat yang nampak membasahi kening putranya yang terekspos.
"Cukup untuk hari ini." Asher mengangguk disertai senyuman. Dia puas dengan hasil latihannya. Max pun begitu. Dia bangga dengan putra bungsunya. Juga sedikit lega, setidaknya dengan begini putranya bisa lebih hati-hati.
Mereka berjalan beriringan meninggalkan arena latihan, sepanjang jalan menuju keluar nampak beberapa bawahan Max yang terlibat di dunia bawah. Menunduk hormat kala sang tuan melewatinya. Memang saat ini mereka berada di salah satu markas Torricely. Bukan markas utama, hanya berisi sekitar 36 orang saja. Dan kebetulan dekat dari mansion Max jadilah dia membawa putranya berlatih disini.
"Habis ini pulang?" Tanya Asher seraya melirik ke arah Max yang juga tengah menatap ke arahnya. Pria itu mengulas senyum lalu mengangguk singkat.
"Kak Sean dirumah gak?" Tanya anak itu lagi, kali ini Max berfikir sejenak.
"Sepertinya tidak," sahut Max. Seingatnya sebelum pergi ke sini sulungnya itu bilang dia akan pergi ke kantor. Ya kemungkinan besar masih disana.
"Aku ingin mengunjungi kakak boleh?" Max mengangguk tanpa ragu. Membuat anak itu kesenangan. Entahlah dia akhir-akhir ini suka sekali menempeli ketiga kakaknya. Dan hari ini dia berencana merusuhi kakak sulungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞
Ficção AdolescentePernah mendengar soal transmigrasi jiwa? Mungkin itulah yang dirasakan seorang pemuda yang kini menempati tubuh seseorang yang kehidupannya seperti figuran? Bayang-bayang yang dianggap angin lalu dan tidak pernah nampak keberadaannya. Tapi sepertiny...