𝐂𝐇𝐀𝐏𝐓𝐄𝐑 𝟐𝟗 ☘️

19.6K 1.9K 87
                                    

"Tuan muda, tetap disini hingga Tuan Max datang saya mohon." Asher menggeleng pelan, tangannya menggenggam tangan Jonathan begitu erat seolah enggan membiarkan bodyguard kesayangannya itu pergi. Jonathan menghela nafas lalu mengusap wajah sang tuan muda yang basah karena air mata. Sejujurnya dia tidak ingin meninggalkannya namun, jika dia tetap disini dia tidak bisa memastikan keadaan di luar.

"Saya mohon tuan muda, saya harus pergi. Tuan muda jangan kemanapun. Usahakan jangan bersuara sedikitpun." genggaman itu dilepas oleh Jonathan lalu pria itu melangkah menjauh dari kamar tuan mudanya. Meninggalkan Asher yang semakin bersingsut di pojok walk in closet. Kedua lututnya dia peluk. Bibirnya dia gigit kuat berusaha tidak meloloskan suara sedikitpun.

Di fikirannya berseliweran bayangan buruk tentang apa yang terjadi. Dia tidak mengerti apa-apa. Sepulang menjenguk Sean dia langsung tidur. Namun, tiba-tiba Jonathan membangunkannya dan menyuruhnya bersembunyi. Terdengar suara berisik dari luar diselingi ledakan senjata api membuatnya semakin ketakutan.

Tidak ada siapapun disini selain para bawahan Max dan maid termasuk Jonathan. Max hanya menemaninya makan malam lalu kembali pergi katanya ingin mengurus sesuatu. Sean tentu saja masih di rumah sakit. Marchell dan Vorxe tidak ada dirumah sejak pagi. Dia tidak tahu kenapa. Dia benar-benar takut sekarang. Air matanya mengalis deras tanpa suara. Kilasan memori buruk tentang kejadian kelas kembali menghantuinya. Namun dia harus tetap tenang. Sebelang tangannya meremat dadanya yang terasa sesak lalu sebelahnya lagi dia gunakan untuk membekap mulutnya berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun.

Di tempatnya Jonathan berusaha menghalau musuh besar Torricely yang tiba-tiba menyerah mansion Max. Entah apa tujuannya tapi ini diluar dugaan. Anggota mafia Torricely hanya sekitar 30 orang disini. Dan sisanya hanya bodyguard biasa. Meskipun mereka memiliki kemampuan berkelahi dan bersenjata tapi tetap saja tidak sebanding dengan para musuh yang merupakan ahli terlatih.

Jonathan melawan dengan mata yang mengawasi musuh yang bergerak, berusaha untuk mencegah musuh masuk ke area kamar tuan mudanya.

"Bedebah! Apa yang kalian inginkan!" Max datang tergesa dengan tiga putranya. Ada William, Frederick dan Arthur yang juga ikut serta.

Mereka mengambil posisi berpencar mereka berlindung dibalik pilar-pilar kokoh mansion. Menghindari dengan sigap peluru yang melesat ke arahnya. Sesekali mereka berbalik menyerang menghujani para musuh dengan timah panas yang seketika menumbangkan. Mereka berusaha tetap berkomunikasi untuk berkoordinasi tentang strategi penyerangan. Bagaimanapun mereka tidak boleh gegabah, tidak boleh ada yang menyadari keberadaan Asher.

Pertarungan senjata jarak dekat maupun jarak jauh yang dilakukan para sniper handal dari dua belah pihak tak terelakan. Sean tidak peduli dengan lukanya yang belum sembuh. Dia dengan membabibuta menembaki musuh sesekali terlibat baku hantam dengan musuh.

Suara teriakan dan umpatan bersahutan memecah keheningan malam. Letusan senjata api bersahutan. Nafas mereka terenggah. Berusaha mencari celah untuk menenangkan pertarungan dadakan ini.

"Kak, kau di belakang!" Sean menoleh pada Vorxe, tanpa kata pemuda itu berlari ke belakang sesuai intruksi sang adik. Disaat seperti ini kerja sama benar-benar dibutuhkan. Mereka tidak boleh egois dan berusaha fokus.

Sean berlari menghampiri salah satu sniper, bertukar senjata dengan mereka. Bidikan Sean yang akurat berhasil menumbangkan musuh di jajaran belakang. Membuat Max lebih leluasa menyisir area depan bersama Frederick.

William di bagian sayap kiri berusaha mengcover serangan sekaligus membabad habis musuh yang mendekati area yang menuju ke kamar si bungsu.

Halaman luas yang semula asri kini terpenuhi hamparan selongsong senjata dan mayat yang teegeletak dengan darah yang menggenang.

𝐒𝐡𝐞𝐫𝐚𝐩𝐩𝐡𝐢𝐧𝐞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang