05. Asamerta

10 0 0
                                    

Baru saja Melka memanaskan motor. Sesuatu terjadi padanya. Tiba-tiba Melka terjatuh sembari memegang kepalanya dan membanting motor. Ia jatuh terduduk di atas tanah, sedangkan Ghea yang panik menaruh bunganya asal dan mendekat.

"Mel, kamu kenapa?" tangannya bergetar hebat. Bukan Melka, melainkan Ghea. Ia kepalang panik melihat Melka yang tiba-tiba meringis kesakitan.

"Ghe...," lirihnya.

"Sabar, Mel. Kita kerumah sakit, tahan sebentar."

Ia bangun dari duduknya, ingin meminta pertolongan pada beberapa orang yang masih ada di taman. Tetapi, saat mencoba bangun, Melka menahan pergerakannya.

"Ghe... jangan tinggalin aku."

"Iya, Mel. Aku di sini,"

Sadar Melka menahannya, Ghea mengurungkan niat untuk mencari pertolongan. Berniat menemaninya beberapa menit dan segera mencari pertolongan.

"Ghe-" ia terdiam, menatapnya dengan wajah pucat. Sedangkan, Ghea menahan tangisan dan memeluknya.

"Sakit...," lanjutnya.

Ghea menangis, pertahanannya runtuh sepenuhnya. Ia panik setengah mati. Melka yang selama ini terlihat kuat dan dingin, malam ini ia terlihat rapuh. Ghea kehilangan akal sehatnya.

"Aku disini, aku ada sama kamu. It's okay, everything will be fine kayak yang selalu kamu bilang. Bertahan, Mel. Sebentar aja,"

Ghea berteriak meminta tolong dengan keras dan melihat sekeliling taman. Tak lama beberapa orang datang menghampirinya, serta Melka yang mulai melemas di pelukannya.

"Pak, saya mohon bantu temen saya," ucap Ghea sembari mencoba mengangkat Melka yang masih menahan sakit.

Beberapa orang mendekat, membantu mengangkat Melka yang sudah melemas. Juga, datang seseorang yang menawarkan diri untuk mengantar Melka ke rumah sakit. Saat diperjalanan, ia masih menahan sakitnya. Sedangkan, Ghea masih setia memeluk Melka. Untuk saat ini perjalanan terasa panjang baginya, padahal jarak dari taman ke rumah sakit tidak terlalu jauh.

"Mel, sabar ya. Kita sebentar lagi sampai,"

Entah, sudah berapa kali ia mengatakan hal itu, Ghea tidak peduli. Ia hanya ingin Melka tetap sadar dan mendengar ucapannya.

Namun, saat sudah sampai di depan rumah sakit. Melka sedikit kehilangan kesadarannya. Karena itu, Ghea berteriak memanggil suster disana. Panik dan resah menyerangnya saat Melka di bawa ke ruangan UGD (Unit Gawat Darurat) dengan tergesa-gesa. Tangisnya semakin kencang saat melihat Melka menatapnya dan memanggil namanya dengan lirih.

"Ghe... Tolong hidup lebih lama..."

Maka, yang bisa ia lakukan hanya berdoa dan memohon pada Melka untuk bertahan. Sampai tepat di depan ruangan, Melka masuk sendiri dengan beberapa perawat disana. Juga, disusul dokter yang ikut tergesa-gesa.

Ia hanya menunggu di depan ruangan, melupakan seseorang yang menolong mereka sejenak. Sibuk berdoa, suaranya serak dan berat dari biasanya. Benar-benar bisa membuat orang yang mendengarnya ikut merasakan betapa pedih tangisannya.

Lalu, tak lama seorang dokter keluar dari ruangan. Hati dan otaknya berada diambang sadar dan tidak sadar. Kemudian, ia langsung berdiri menghampiri dokter untuk mengetahui bagaimana keadaan Melka di dalam sana.

"Gimana, dok? Teman saya baik-baik aja, kan?" tanyanya, masih dengan tangisan yang menghiasi.

Dokter itu diam, sungguhan rasanya seperti melayang dari tanah disaat-saat seperti ini.

"Sebelumnya saya mau bilang, saudara Melka sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bertahan."

Dokter itu menahan ucapannya dan menunduk.

"Sayangnya, ia mulai menyerah sebelum kami tangani. Kami minta maaf dan turut berduka cita."

Dunianya berhenti begitu saja. Ia tidak lagi mampu menahan beban yang ada, bahkan untuk berdiri saja tidak sanggup. Ghea jatuh terduduk lemas setelah dokter mengatakan semuanya.

Namun, dokter membawannya bangkit dari duduk, menahannya dan berkata. "Kamu Ghea, kan?"

Ghea tidak menjawab.

"Saudara Melka menyebut kamu sebelum menutup mata sepenuhnya. Saya harap kamu kuat melihat Saudara Melka untuk terakhir kalinya," dokter itu melanjutkan perkataannya sembari mengelus pundak Ghea, menyalurkan sedikit semangat untuk bertahan. Walau tahu itu tidak membantu.

Lalu, masuk lah Ghea sendiri ke ruangan. Jantungnya benar-benar terasa terhenti saat melihat kain putih menutupi ranjang. Ia hanya mampu mendengar detikan jam yang entah dari mana asal suaranya. Kemudian, pecah total tangisannya saat ia membuka kain putih dan melihat Melka terbujur kaku di sana.

Hancur sudah segala yang ia pertahankan. Mati harapannya, hilang perasaannya. Serta untuk meminta ia tetap bersamanya pun tidak bisa, Tuhan berkehendak lain.

Ghea tak bisa apa-apa lagi. Benar katanya, Kita tidak bisa melakukan apapun kalau hati sudah lelah memberontak. Maka, hanya menangis dengan deras yang bisa ia lakukan. Sedikit menyalahkan takdir yang menurutnya tidak adil untuk Melka dan dirinya. Tapi kembali lagi, siapa kita di dunia? Hanya sekadar manusia yang tak bisa memberontak. Entah pada Tuhan atau seisi dunia.

ASAMERTA | END. [MARK LEE]Where stories live. Discover now