06. Tentang dia dan dunianya.

13 0 0
                                    

Ku balik satu lembar selanjutnya, sembari menahan jatuhnya air mata. Mengingat waktu terakhir kami berjumpa.

Saat Melka memegang kepalanya kesakitan, serta aku yang membawanya ke pelukan. Tangis pedih serta pilu yang di saksikan malam. Genggaman itu, masih terasa rasanya di tangan. Sebelum akhirnya ia masuk ke ruangan dingin itu dan mengatakan sesuatu.

"Tolong hidup lebih lama."

Masih ingat bagaimana angin malam yang menyeruak menusuk kulit tangan. Bagaimana hiruk pikuk yang ramai terdengar padahal aku di sana berusaha tegar. Serta, Melka yang berjuang untuk tetap sadar. Pada akhirnya aku sendiri di depan pintu sembari menggenggam seribu harapan tanpa malu. Padahal, sebelumnya berkata ingin pergi tanpa kembali. Tapi, kini memohon dan melayangkan doa untuknya. Sebab, ia layak hidup tanpa merasa sakit. Walau pada akhirnya Tuhan benar-benar mengabulkan doaku, Melka benar-benar pergi meninggalkan rasa sakit dan aku. Lalu, aku bersusah payah menelan fakta bahwa selama ini Melka sakit tanpa ku ketahui. Ia meninggalkanku sendiri dengan sepi yang menyekik.

Aku berusaha tegar sembari memegang buku yang mulai terlihat usang. Buku yang di maksud Melka sebelum ia benar-benar pergi dari dunia. Benar adanya. Serta, cerita di dalamnya. Tentang ia dan dunianya.

Aku menarik nafas sebab sesenggukan dan segera melanjutkan bacaan. Kemudian, mengetahui fakta bahwa Melka tidak pernah baik-baik saja. Entah dengan dirinya sendiri, mau pun keluarganya. Di sana, Melka tidak menyebut keluarganya membunuhnya atau semacamnya. Hanya ungkapan kata biasa.

Bagai malam sepi dengan angin dingin malam purnama, serta aku yang mengharapkan Amerta. Bisakah rumah ini secerah Mangata?

Setelah membacanya, aku tahu. Jelas tahu dan paham maksudnya. Melka selama ini sendiri dengan sepi yang menemani. Belum lagi ia memperjelas di lembar selanjutnya.

Just because the whole world love me, doesn't mean i feel loved by him.

Serta, kata selanjutnya yang mampu membuat dadaku sesak saat membacanya.

In another universe, my head silent and doesn't hurt every time i see the world.

Aku menaruh buku, menutup wajah. Mengambil nafas sebab tak kuat membaca tiap kata yang ada di sana. Sakit rasanya, terbayang bagaimana Melka hidup selama ini. Bagaimana ia bertahan melalui lukanya dan bagaimana ia mendapatkan lukanya?

Lalu, tiba-tiba seseorang duduk di samping ku. Aku bergeser memberi ruang. Ia duduk dan memperhatikanku. Karena sadar, aku mengangkat kepala dan menatapnya. Teduh adalah kesan pertama yang lewat dipikiran. Ia membuka suara.

"Marellon Limelka,"

Aku membelalakkan mata. Bagaimana orang ini bisa menyebut namanya?

"Gue adiknya."

Berhenti dunia rasanya. Sesak tenggorokan tak bersuara, aku terdiam seribu bahasa. 

"Tiri, tepatnya."

Dia menatapku. Serta, aku yang baru saja membenci tatapan itu. Mata merah menahan buliran air mata itu mengingatkan aku dengan Melka yang sedang menahan sakit dua bulan lalu.

"Gue tau lo bertanya-tanya. Bergerumul tali item tuh di kepala. Tanya aja, kusut nanti isinya."

Sial. Kenapa ia hampir sama dengan Melka yang ku kenal. Hanya saja wajahnya jauh lebih dingin dari Limelka, badannya jauh lebih besar, rambutnya jauh lebih tebal. Serta, ucapannya yang jauh lebih santai dari Melka.

"Ya udah. Gue yang kasih tau aja kalo gitu,"

Aku menunggunya.

"Udahan dulu nangisnya, gue gak sanggup liat orang nangis."

Lantas, langsung ku hapus air mata yang masih menghiasi mataku dan memintanya melanjutkan ceritanya.

ASAMERTA | END. [MARK LEE]Where stories live. Discover now