07. Tacenda.

11 0 0
                                    

Anak itu baru saja lulus Sekolah Menengah Pertama, tepatnya SMP. Marellon Limelka namanya. Nama yang bagus untuk wajah tampan bak peran utama di cerita fiksi remaja. Belum lagi orang tuanya kaya raya. Namun, siapa sangka kehidupannya tidak bermanusia?

Melka baru saja masuk di hari pertama SMA. Tetapi, ia harus menerima kabar baru bahwa Ayahnya akan menikah lagi dengan wanita lain. Padahal, belum lama Ibunya meninggal.

"Yah, Melka gak apa-apa selama ini hidup sendiri. Jadi, tolong jangan undang orang luar lagi."

Bukannya elusan kepala yang ia dambakan, justru pukulan keras yang Melka dapatkan. Entah bujukan setan mana yang wanita itu pakai sampai-sampai merubah Ayahnya bak iblis penuh siksaan. Walau sebenarnya, sebelumnya pun ia tidak pernah mendapat kasih sayang sang Ayah.

Karena itu, Melka harus mengalah, demi melanjutkan kehidupannya. Ayahnya menikah dengan wanita baru selain sang Ibu. Mau tak mau Melka hidup berdampingan dengan orang asing yang tak pernah ia inginkan.

"Ini adik kamu, Jenarma Noala."

Bocah SMA itu, memerah matanya menahan air mata. Rahangnya mengeras. Leher merah memanas, tenggorokannya tersendat.

"Aku gak sudi berbagi Ayah sama orang luar, Yah."

Maka, tamparan kuat setelahnya yang ia dapat. Semakin lama hidupnya jauh lebih keras dari biasanya. Sebab, tak ada lagi sandarannya. Setiap hari Melka semakin merasa ingin mati. Tamparan dan tendangan ia dapati. Bukan hanya karena gagal menjaga adik tiri, tetapi juga karena Ayahnya menganggap Melka tidak cukup berprestasi.

"Kamu liat adik kamu itu. Pinter, mau belajar. Sedangkan, kamu?"

"Bukan gak mau, Ayah aja yang gak pernah lihat aku."

Namun, Melka bukanlah anak yang menerima semuanya. Ia pemberontak walau jiwanya tenang bagai dasar laut. Tak peduli sebanyak apa luka di badan yang menghiasi, ia akan selalu mengungkapkan isi hati. Sampai setelah 3 tahunnya, sang Ayah mengurangi kebiasaan memukuli Melka. Hanya saja ia jauh lebih cuek padanya. Ayahnya itu lama-lama semakin menganggap Melka tidak ada. Walau pun masih tetap memberinya nafkah. Sedangkan itu, sang Adik bertekad mencoba masuk ke dunianya.

"Bang,"

Entah, panggilan ke berapa. Yang jelas bisa di hitung jari. Sebab, Melka selalu menghindari interaksi dengan si Adik tiri. Namun, kini Melka memilih menoleh.

"Masih gak mau anggap gue?"

Wajahnya datar, tak selera menatap adik tirinya itu.

"3 tahun saya jaga kamu dan berbagi segalanya. Bahkan, berbagi ayah juga. Menurut kamu saya anggap atau gak?"

Adiknya itu terdiam.

"Saya cuma gak bisa menelan fakta kalau ayah harus berbagi cinta sama wanita lain selain ibu saya. Belum lagi merubah sifat ayah sepenuhnya," Melka menghembuskan nafasnya kasar.

"Kalau kamu beda, manusia gak tau apa-apa. Gak bisa di salahkan," ucapnya sembari melihat kearah adiknya.

"Walau pun lo dipukul Ayah tiap gagal jaga gue atau kalah prestasi sama gue?"

"Itu kesalahan saya."

Anak itu mendekatkan diri dan duduk berdampingan dengan Melka di ruang tamu.

"Gue boleh jadi temen lo, bang?"

"Saya gak butuh,"

Mendengar penolakan ketus, adiknya itu bangkit dan pergi dari ruang tamu meninggalkan Melka yang menyesali perkataannya. Maka setelahnya, mereka tidak pernah lebih dari saling menyapa dan menatap mata tiap pagi. Mengabaikan perasaan yang menggejolak di hati. Sampai dewasa pun hanya bertukar sapa yang mereka lakukan, sibuk dengan kehidupan masing-masing.





"Kalau aja lo sedikit percaya dan terbuka sama gua, apa bisa suatu saat kita punya foto berdua?" –Jenarma Noala

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kalau aja lo sedikit percaya dan terbuka sama gua, apa bisa suatu saat kita punya foto berdua?" –Jenarma Noala.

ASAMERTA | END. [MARK LEE]Where stories live. Discover now