09. Litani.

12 0 0
                                    

Kalau saja Adiknya Melka tidak menepuk-nepuk punggung Ghea sekarang, orang-orang yang ada di taman akan berasumsi ia di sakiti. Keduanya masih duduk berdampingan dan Ghea yang masuk ke dalam pelukannya.

"I know it's hard to hear this. It's okay," ia mengelus pundaknya.

Ghea menangis deras setelah mendengar cerita yang di ceritakan Noala. Rupanya Melka memang tidak baik-baik saja. Mimik wajah sendu dan dinginnya memang menyimpan luka pedih di baliknya. Serta, perlu di apresiasi kehebatan Melka menutupi segalanya. Manusia kuat itu tak pernah berbagi cerita, entah pada Ghea atau Adiknya.

Ghea semakin tersedu, dadanya sakit mengingat bagaimana Melka tersenyum, bagaimana Melka membalas segala pertanyaannya. Pantas saja ia tidak pernah marah tiap Ghea berkata "Ingin mati". Nyatanya, Melka pernah merasakannya. Jauh lebih hebat daripada Ghea.

"Melka gak pernah cerita?"

"Aku... Aku gak pernah tau soal penyakitnya. Melka gak pernah cerita."

Ia mengangguk mengerti.

"Gue pun gak pernah tau dia sakit. Penyesalan gua lebih besar, gue gak pernah berusaha untuk masuk ke dunianya."

Ghea yang masih terisak tidak sanggup membalas ucapan adiknya Melka. Sedangkan, Noala masih berusaha menenangkannya.

"Kamu..." Ghea mengambil nafas dan membuangnya.

"Gue kenapa?"

"Nama kamu siapa?" tanyanya melepas diri dari pelukan Noala. Sedangkan, Noala tertawa kecil.

"Gue Jenarma Noala."

Ghea meraih buku yang baru saja ia abaikan. Lalu, kembali membuka suara.

"Kamu tau dari mana Melka tumor otak?"

Noala diam saja. Ia menatap langit malam dan bintang yang menampakkan keindahannya.

"Jawab aku!" Ghea berdiri menatap Noala yang masih saja membukam mulutnya.

"Gue tau sendiri," jelasnya singkat.

Ghea memperhatikannya, "Kok bisa?"

"Gue punya penyakit jantung dari kecil," ia menggantungkan kalimatnya.

"Melka si bodoh itu, dia ngasih jantungnya buat gue. Manusia itu nurut sama nyokap gue yang kayak iblis," lanjutnya.

"Dan gue rasa, alasan gue sekarang deg-degan ketemu lo itu karena ini. Jantung ini, bukan gue. Ini Melka yang seneng liat lo," jelasnya, membalas tatapan kaget Ghea sembari memegang dadanya seolah menunjukkan jantungnya.

Sedangkan, Ghea jatuh di atas tanah dengan isi kepala yang semakin bertanya-tanya. Ia kebingungan dengan kebenaran yang baru saja di ungkap. Mau menangis pun tidak sanggup. Ia tidak punya tenaga lagi untuk mengeluarkan air matanya. Maka, yang ia lakukan hanya diam, mencoba menerima realita. Ia tak punya kuasa atas dunia dan takdirnya. Tidak hanya, Ghea. Begitu juga, Noala. Ia tidak tahu mau menyalahkan siapa, bingung melampiaskan amarahnya ke mana. Yang ia lakukan hanya meraih Ghea ke pelukannya. Berbagi ketenangan bersama serta sama-sama mencoba ikhlas atas kepergian Marellon Limelka, kesayangan mereka.

ASAMERTA | END. [MARK LEE]Where stories live. Discover now