BAB 20 ~ Despair

2.1K 44 0
                                    

Dua bulan telah berlalu sejak insiden di mana Radit menghajarnya. Aksa terus menjalani hari-harinya dalam pencarian yang tanpa henti untuk menemukan keberadaan Ara. Keresahan mendalam dan rasa bersalah yang tak terlupakan terus menghantuinya.

Meskipun Aksa telah melakukan segala upaya untuk menemukan Ara, namun keberadaan wanita itu tetap tidak ditemukan. Bahkan saat dia berusaha memohon Vera, sahabat Ara, untuk memberitahu di mana wanita itu berada, Vera menolak memberikan informasi apa pun. Vera tetap keras dalam pendiriannya dan tidak mau membantu Aksa, meskipun dia juga khawatir tentang keadaan Ara yang tengah berbadan dua.

Suatu malam, Aksa duduk sendirian di ruang kerjanya, meratapi kegagalan pencariannya. Tangannya gemetar saat dia menelepon salah satu dari orang-orang yang telah dia perintahkan untuk mencari Ara.

"Tuan Aksa," sambut suara pria itu dengan hati-hati dari seberang telepon.

"Apa ada perkembangan?" tanya Aksa, suaranya penuh kecemasan dan harapan.

Pria itu menghela nafas berat. "Maaf, Tuan. Kami telah mencari dengan segala kemampuan yang kami miliki, tetapi kami belum bisa menemukan jejak apapun. Dia seperti menghilang begitu saja."

Aksa merasa lengan kirinya melemas, dan dia merasa terjatuh dalam gelombang keputusasaan. "Kalian harus terus mencarinya. Tidak peduli apa pun yang terjadi. Jangan hentikan pencarian kalian."

Tapi meskipun dia telah memberikan perintah yang jelas, dan para pencari berdedikasi melanjutkan pencarian, Ara tetap tidak ditemukan. Kegelapan yang menyelimuti hati Aksa semakin dalam. Kekhawatirannya untuk Ara tumbuh seiring berjalannya waktu, dan rasa bersalahnya membuatnya semakin kacau.

🍁🍁🍁

Keesokan paginya Aksa memutuskan untuk mengunjungi Vera, dalam harapannya bahwa sahabat wanita itu mungkin akan membantunya. Aksa mencoba merayu Vera dengan harapan yang hampir memudar.

"Vera, kumohon beritahu aku di mana Ara berada?" tanya Aksa, suaranya rendah dan penuh keputusasaan.

Vera, dengan ekspresi wajah yang penuh dengan rasa kasihan terhadap pria itu. "Aksa, aku tidak bisa memberitahumu. Ara telah menjalani waktu yang sulit, dan dia butuh ruang untuk pulih dari rasa sakit yang kau berikan," ucap Vera dengan tetap mempertahankan pendiriannya.

Aksa merasa sesak. Air mata hampir saja menggenangi matanya. "Vera, aku merindukan Ara, dan aku merasa sangat bersalah atas apa yang telah terjadi. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja. Tolong, bantu aku untuk bertemu dengannya."

Vera menggeleng tegas. "Aksa, aku tahu kau merasa bersalah, tapi Ara yang meminta agar kami tidak memberitahumu. Dia butuh waktu untuk sendiri."

"Sampai kapan?"

"Aku tidak tau. Mungkin sampai dia benar benar siap untuk bertemu denganmu lagi. Sekali lagi maaf aku tidak bisa membantumu."

Dengan hati yang hancur, Aksa meninggalkan rumah Vera, merasa semakin terpuruk dalam penantian yang tanpa akhir untuk Ara. Dia merasa hancur oleh keputusan Vera, yang menolak memberikannya petunjuk untuk menemukan kekasihnya.

Seiring berjalannya waktu, kondisi Aksa semakin memprihatinkan. Kantung mata yang hitam semakin terlihat dalam, menunjukkan bahwa tidur telah menjadi barang langka baginya. Ketika dia tidur, dia terus-menerus terbangun, memikirkan tentang keberadaan Ara dan apa yang telah terjadi.

"Sudah beberapa malam aku tidur dengan mata terbuka," keluh Aksa pada dirinya sendiri, merasakan kelelahan yang menghantui.

Untuk menghindari kekosongan yang menyergapnya, Aksa sibuk dengan pekerjaannya. Dia bekerja tanpa henti, kadang-kadang tanpa istirahat dan makanan yang cukup.

LimerenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang