11

23 2 0
                                    

Happy Reading

~•~

~•~

~•~

“kenapa gini lagi?!!”

Seorang wanita paruh baya berteriak di depan putrinya.

“kenapa turun lagi?! Hah?! Kamu belajar nggak sih?!”

Wanita itu kembali memekik sambil menunjuk kertas di tangannya.

Sementara putrinya menunduk dalam menahan air matanya yang ingin menerobos keluar.

“otak kamu dipakai nggak sih?! Kenapa nilainya turun lagi?!”

Wanita itu mendekat ke putrinya yang kini gemetar.

“KAMU LIHAT! LIHAT! NILAI APA INI?! DELAPAN PULUH?!” ia berteriak sambil mendorong tubuh putrinya sendiri.

Ribuan makian keluar dari mulutnya, sungguh rasanya sakit sekali. Memori saat itu benar-benar masih teringat jelas di pikiran ku. Bukan pertama kalinya memang, tapi tetap saja rasa sakitnya tak kunjung reda, aku pun tidak pernah terbiasa.

Sedikitpun aku tak pernah terpikir dilahirkan untuk mendengar makian dari ibuku sendiri, apalagi sampai pukulan. Lukanya memang sudah hilang, tidak terlalu parah, tapi sakitnya masih terasa hingga detik ini.

Dan suatu kata kembali terlintas di ingatan ku.

"Jangan sampai tahun depan turun lagi, janji?!"

"Iya ma..."

Bodohnya aku malah mengiyakan hal yang tentunya tidak bisa ku lakukan. Entah apa yang akan terjadi setelah penerimaan rapot nanti.

Tanpa sadar aku memekik frustasi sambil menjambak rambutku sendiri hingga membuat beberapa rambutku rontok.

Pintu kamarku di ketok perlahan.

“mbak? Mbak teriak ya tadi?” katanya dari sebrang.

Itu Brian

“apa? Nggak tuh, salah dengar kali kamu.” jawabku sambil mengusap airmata yang masih tersisa di pipiku.

“ohh, kalo ada apa apa bilang.” katanya sebelum terdengar langkah kaki yang semakin samar.

Memang benar apa kata orang, anak pertama apalagi perempuan itu gengsi nya sundul langit, apalagi jika dengan keluarga sendiri. Anak pertama memang suka menyembunyikan rasa sakitnya sendiri, katanya karena anak pertama harus kuat. Tapi apa boleh buat? Anak juga manusia, mau anak pertama, mau anak tengah, anak terakhir, sama saja mereka memiliki emosi yang berakibat buruk jika terlalu lama dipendam.

Sejauh ini belum ada satupun yang bisa ku percayai sebagai tempat keluh kesah ku setiap hari.

«««•••»»»

“Hoy!” suara yang sangat ku kenali. Sepertinya ia memanggilku.

Aku berbalik.

“apaan?”

Tepat sekali Bayu berdiri di belakangku. Tangannya terulur memberi sepucuk surat, aku yakin itu surat dari seseorang yang izin hari ini.

“punya siapa?” tanyaku

“zulfah.” katanya kemudian meninggalkanku di tempatku berdiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Antara Pelangi dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang