1972
Bahkan setelah turun di tepi jalan dan berdiri menghadap ke rumahnya, Sayuti masih belum punya gambaran apa yang harus dikatakannya ke Mak. Di sampingnya, terletak sebuah meja dengan model yang tidak biasa. Meja itu yang menemani perjalanannya dari Bone, satu-satunya kenangan dari Pucuk Jati. Itu bukan sembarangan meja, tapi semacam prasasti yang melambangkan ketulusan cinta Sayuti terhadap seseorang.
Ah, bahkan pijakan pertama di kampung halamannya ini, Sayuti sudah teringat dengan cewek itu. Dia semakin tidak yakin hari-hari selanjutnya bisa baik-baik saja.
Sayuti meraup oksigen sebanyak-banyaknya dan memutuskan untuk segera masuk. Dia tidak mungkin terus-terusan berdiri di tepi jalan. Dia pun mengangkat mejanya dan bersiap menghadapi kenyataan. Memang, bukannya dia habis melakukan dosa apa-apa, tapi rasa bersalah itu tetap saja merumpun di hatinya.
"Assalamualaikum ...," ucap Sayuti sambil mengetuk pelan pintu rumahnya. Jam segini biasanya Mak sudah pulang dari pasar. Harusnya dia ada di rumah.
"Waalaikumsalam." Terdengar balasan dari dalam, disusul suara derap langkah mendekat.
Sayuti menelan ludah berkali-kali. Sebentar lagi pertanyaan itu pasti akan meluncur dari mulut Mak.
"Loh, Nak?" Sesuai dugaan, Mak tampak sangat heran karena selama ini Sayuti tidak pernah pulang di pertengahan bulan seperti ini. Selama sekian detik tatapan perempuan paruh baya itu tertuju ke meja yang dibawa anaknya. "Kok, tumben pulang di tanggal segini?"
Sayuti meletakkan mejanya terlebih dahulu, lalu mencium tangan Mak.
"Ini kamu yang bikin?" Mak tampak takjub dengan meja itu. Bentuknya memang tidak lazim, tapi terlihat bagus.
Sayuti mengangguk seraya tersenyum tipis.
"Mak bangga, deh. Kamu semakin mahir sekarang."
Kalimat itu membuat tenggorokan Sayuti kering. Rasanya semakin berat menyampaikan apa maksud kepulangannya ini.
"Eh, tadi kamu belum jawab pertanyaan Mak, kenapa tumben pulang tanggal segini?" Tatapan Mak mulai menyiratkan kekhawatiran. "Kamu nggak lagi ada masalah, kan?"
Sayuti buru-buru menggeleng, sebelum pikiran Mak semakin ke mana-mana.
"Terus?" Mak menyentuh lengan Sayuti. Sebagai seorang Ibu, tentu saja dia bisa merasakan ada yang tidak beres dengan putranya ini.
"Uti nggak kerja di Pucuk Jati lagi, Mak," jawab Sayuti akhirnya. Dengan nada pelan, tapi terdengar cukup baik di telinga Mak.
Mak tersentak. Untuk sesaat dia tampak kesulitan bicara. "Kenapa?" tanyanya akhirnya.
"Pendapatan agak turun akhir-akhir ini, jadi mereka terpaksa harus mengurangi karyawan."
"Loh, bukannya baru bulan kemarin kamu bilang pemesanan membludak, makanya nggak sempat pulang?"
Sayuti meremas jemarinya. Baginya yang sebelum ini selalu berkata jujur kepada Mak, mengarang alasan ini sungguh tidak mudah.
"Uti juga kurang tahu, Mak, tapi begitu kata mereka."
"Kalau Burhan?"
"Dia masih kerja."
"Jadi cuma kamu yang dikeluarkan?"
Sayuti menggeleng. "Ada beberapa orang lainnya." Ternyata benar, ketika kita memulai sebuah kebohongan, artinya harus siap menciptakan kebohongan lainnya. Bagi Sayuti, ini sangat tidak nyaman.
Mata Mak berkaca-kaca. "Kenapa tiba-tiba harus kamu, Nak?"
"Entahlah, Mak."
Mak menghela napas panjang. "Ya sudah. Barangkali rezekimu di tempat itu memang sampai di sini. Tuhan menakar segala sesuatunya tidak pernah lebih dan kurang."
Sayuti mengangguk samar seraya bernapas lega. Setidaknya dia sudah berhasil melalui momen ini. Meski setelah ini dia harus bersujud lebih dalam memohon pengampunan Tuhan karena tega membohongi perempuan yang telah melahirkan dan membesarkannya. Meskipun niatnya tidak buruk, berbohong ke orangtua tetap tidak bisa dibenarkan.
"Kamu mandi dulu sana, sambil Mak siapkan makanan." Mak mengelus lengan putranya. Dia memang tidak banyak mengajukan pertanyaan, tapi Sayuti bisa merasakan kegamangan itu di matanya. Setelah ini mereka harus kembali berhadapan dengan kesulitan ekonomi. Belum lagi soal rencana menyekolahkan Saidah. Tahun ini anak itu tamat SD.
Setelah Mak ke dalam, Sayuti pun mengangkat mejanya ke kamar yang bersebelahan dengan ruang tamu. Selama ditinggal, tidak ada yang menempati kamarnya itu. Saidah masih lebih senang tidur sama Mak.
Sayuti menempatkan meja itu di samping lemari. Sebisa mungkin posisinya nyaman karena pasti akan sering digunakan. Cowok berumur 20 tahun itu kemudian membuka jendela, membiarkan angin beraroma laut memasuki kamarnya.
Andai sedari awal dia mengindahkan peringatan Burhan, mungkin dia masih bisa kerja di Pucuk Jati. Andai mematikan rasa semudah yang mereka bilang, mungkin dia tidak akan diusir. Namun, semuanya tumbuh dari dalam, mengakar teramat kuat hingga dia tidak sempat mempertimbangkan konsekuensi yang harus dihadapi.
Semuanya berawal sore itu, ketika tatapan Sayuti tidak sengaja tertuju ke sosok bidadari.
🍁🍁🍁
Assalamualaikum.
Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan kelanjutan kisah Kinar bersama meja ajaib itu, silakan baca di:
* KBM App
* KaryaKarsaDi semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca.
Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.
Aku tunggu di sana, ya.
Makasih.
Salam santun 😊🙏
![](https://img.wattpad.com/cover/299987691-288-k770675.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Tertinggal di Tahun 1972
Romance🥇Juara 1 Unlock Your Storytelling Passion di KaryaKarsa. Versi audioseries tersedia di Noice dengan judul "Romansa 72"🥇 Nenek Muti memilih setia kepada cinta pertamanya dengan tidak menikah seumur hidup. Padahal, jelas-jelas cinta mereka terhalang...