1972
Setelah salat Subuh, Sayuti menemui Mak di dapur. Dia bermaksud membantu Mak menyiapkan kue-kue yang akan dijajakan, tapi sepertinya semuanya sudah beres.
"Masih ada yang harus dikerjakan, Mak?" tanya Sayuti sambil mengedarkan pandangan. Cahaya pelita di ruangan itu membias di wajahnya yang tampak segar setelah terbasuh wudu pertama.
"Udah beres semua, Nak. Ini sebentar lagi Mak mau berangkat."
"Pasti Kakak cuma pura-pura mau membantu, kan?" celetuk Saidah yang sedang mencuci peralatan-peralatan membuat kue yang sudah digunakan.
Sayuti hanya geleng-geleng tanpa menjawab apa-apa, karena perkataan adiknya itu ada benarnya. Dia tahu, Mak mulai berkutat di dapur setiap pukul 2 dini hari. Jika memang niat membantu, seharusnya dia bangun lebih awal.
"Mak, hari ini Uti bantu-bantu di pasar lagi, ya."
Gerakan tangan Mak yang sedang mengelap meja terhenti sejenak.
"Nggak usah. Istirahat saja. Kamu pasti masih capek habis perjalanan jauh."
"Udah bugar kembali, kok, Mak."
Mak meletakkan lapnya dan mendekati putranya itu. "Kalau pun nantinya kamu harus kembali berjualan kue bersama Mak di pasar seperti dulu, pelan-pelan saja. Kamu pasti butuh waktu untuk menerima semua ini."
Akhirnya Sayuti mengangguk samar. Sejujurnya dia memang belum siap menghadapi pertanyaan orang-orang terkait mengapa dia keluar dari Pucuk Jati. Pasalnya, banyak orang yang mengincar posisi di pusat kerajinan mebel itu, hanya saja lowongannya tidak selalu ada.
Setelah Mak ke pasar dan Saidah berangkat sekolah, rumah jadi berkali-kali lipat terasa lebih sepi. Hal ini lagi-lagi memancing otak Sayuti untuk mengais kotak-kotak kenangan.
Malam itu, selepas pandangan pertamanya dengan cewek yang lebih mirip bidadari, Sayuti tidak bisa tidur. Sesering apa pun dia mengubah posisi baringnya, matanya tak kunjung lelah. Malah semakin melek setiap kali terbayang senyum cewek itu.
"Kamu kenapa segelisah itu?" Burhan sampai heran melihat kelakuan sahabatnya itu. Sejak diterima kerja bersamaan, mereka juga langsung dipasangkan sebagai teman sekamar. Penginapan untuk pekerja dari luar Bone yang disediakan pihak Pucuk Jati berbentuk U seperti bangunan sekolah. Lalu disekat-sekat dengan ukuran yang terbilang sempit. Per sekatnya dihuni dua orang.
"Cewek tadi sore, siapa?" tanya Sayuti tanpa menoleh ke arah Burhan. Tatapannya justru larut ke langit-langit kamar. Di atas sana, wajah cewek itu terproyeksikan dengan jelas.
"Astaga! Jadi, dari tadi kamu kayak cacing kepanasan karena mikirin dia?"
Kali ini Sayuti menoleh, lalu mengiyakan pertanyaan Burhan dengan gerakan alis.
"Tapi serius, kamu nggak tahu siapa mereka?"
Sayuti menggeleng.
🍁🍁🍁
Assalamualaikum.
Mohon maaf sebelumnya, bab ini hanya berupa cuplikan. Kalau kamu penasaran dengan kelanjutan kisah Kinar bersama meja ajaib itu, silakan baca di:
* KBM App
* KaryaKarsaDi semua platform nama akunku sama (Ansar Siri). Ketik aja di kolom pencarian. Kalau akunku udah ketemu, silakan pilih cerita yang ingin kamu baca.
Cara gampangnya, langsung aja klik link yang aku sematkan di halaman depan Wattpad-ku ini.
Aku tunggu di sana, ya.
Makasih.
Salam santun 😊🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodohku Tertinggal di Tahun 1972
Romance🥇Juara 1 Unlock Your Storytelling Passion di KaryaKarsa. Versi audioseries tersedia di Noice dengan judul "Romansa 72"🥇 Nenek Muti memilih setia kepada cinta pertamanya dengan tidak menikah seumur hidup. Padahal, jelas-jelas cinta mereka terhalang...