A: The City

64 8 0
                                    

Tetesan air hitam perlahan memenuhi gelas berbahan kaca berukuran kecil, menimbulkan uap panas yang tak kelihatan wujudnya. Suara ombak yang menenangkan dan wewangian biji kopi yang kuat menjadi nilai tambah dari kafe yang terletak di tepi laut ini.

“Ini pesananmu, tuan.”

Aku menoleh dan mendapati seorang pelayan yang cukup cantik tengah meletakkan kopi pesananku ke atas meja, kemudian duduk di kursi kosong yang ada di sebrang meja. Kalau tebakanku tidak salah, mungkin dia masih seorang gadis. Dia juga orang yang aku incar selama ini.
Kini kami berhadapan satu sama lain.

Aku mengeluarkan sebuah kotak dan kumpulan kertas—yang  kusatukan dengan penjepit, kemudian menulis tanda terima di kertas itu, kemudian meminta gadis itu untuk menandatangani kertas itu.

“Terima kasih telah menggunakan jasa Sea Night Post, nona ...,” aku menggantung ucapanku.

“Panggil saja Edelweise.”

Ah ... jadi namanya Edelweise. Nama yang bagus untuk orang secantik dirinya. Aku takkan heran jika setiap hari Kuki de Cafe ramai akan pengunjung. Ketika aku mendapat jatah libur, mungkin aku bisa mengajaknya berkencan di Alun-alun Festival. Kedengarannya menyenangkan.

“Baiklah, nona Edelweise. Jika ada keluhan mengenai paket, nona bisa datang ke kantor Sea Night Post dengan membawa tanda terima ini.”

Edelweise mengangguk. “Maaf sebelumnya. Namamu siapa, tuan?”

Lihatlah. Betapa tidak sopannya diriku. “Perkenalkan, namaku Kango Pyrex, panggil saja aku Kang.”

Dia membulatkan mulut seraya membunyikan huruf “o”, kemudian melihat isi dari paket yang kuantarkan untuknya.

Aku sebenarnya sudah mengetahui apa isinya, hanya saja biarlah itu menjadi rahasia mengingat benda yang ada di dalamnya bukanlah harta berharga senilai tumpukan emas.

Dia kemudian pergi meninggalkanku seorang diri. Para pengunjung kafe juga mulai meninggalkan tempat ini karena hari sudah semakin gelap. Aku menyeruput kopi yang kupesan tadi. Rasa kental dengan sedikit susu memang menjadi kesukaanku.

Aku menatap keluar jendela, menyaksikan gulungan ombak yang menerpa pantai. Beberapa kapal juga terlihat masih berlayar menjauh dan mendekat. Aktivitas pelabuhan sepertinya takkan berhenti hingga kiamat tiba. Aku merasa beruntung karena mendapatkan pekerjaan sebagai pengantar paket Sea Night Post yang masih mempunyai jam kerja yang manusiawi.

Aku menghabiskan kopiku sebelum kembali ke kantor untuk melaporkan penyelesaian tugasku. Edelweise tampak tengah mengelap meja dan kursi. Aku melambaikan tanganku seraya keluar dari kafe.

Setelah menghela napas sejenak dan meregangkan tubuh untuk beberapa saat, aku melangkahkan kakiku menyusuri kota. Aku tak akan dimarahi oleh atasan karena berkeliling kota di luar jam kerja, bukan?

Tunggu sebentar. Rasanya ada yang aneh. Kenapa hari ini aku bisa mengantar paket dengan lancar tanpa hambatan? Biasanya, pasti akan ada satu atau dua masalah yang menghampiriku ketika mengantar paket.

Aku membuka tas, membongkar isinya dan mendapatkan sebuah bungkusan yang belum terkirim.

“Sial. Kenapa bisa ada yang tertinggal?” monologku.

Aku kembali menghela nafas setelah memeriksa alamat pengiriman paket itu. Pelabuhan Kota Rhea.

Sebenarnya aku sedang malas ke sana mengingat kasus pencurian semakin marak di sana. Bahkan paket yang tujuannya ada di sana aku tolak mentah-mentah. Tapi kenapa ada satu yang terselip di tasku?

Huft!

Mau bagaimanapun juga, paket ini tetap harus ku antar bukan? Lebih baik terlambat daripada nantinya Sea Night Post mendapatkan rating bintang satu dan aku dipecat untuk selama-lamanya serta di blacklist di mana-mana karena keteledoranku yang disebarluaskan oleh atasanku kepada koleganya.

Way to the Amulet [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang