Entah apa penyebabnya, setiap hari yang aku lewati, aku merasa diriku semakin jauh dari kata beruntung. Bagaimana tidak? Setelah aku berlari setengah mati demi menghindari kejaran kelinci rawa yang entah kenapa bisa bergerak secepat itu secara mendadak, dan bersembunyi selama beberapa waktu di sebuah rumah kayu kecil di tepi rawa yang entah siapa dan apa tujuannya didirikan di sana, jurnal bersampul coklat ini terjatuh ke dalam lubang yang dipenuhi oleh genangan air ketika keluar dari persembunyian dan hendak keluar dari area itu. Namun, hal itu adalah pertanda yang bagus karena itu artinya aku sudah keluar dari area rawa. Tidak akan ada lagi kejadian diriku memasuki rawa dengan bodohnya di kegelapan malam. Cukup ini yang terakhir kali.
Mungkin sudah sekitar dua hari aku tidak menulis jurnal karena aku harus menunggu buku ini kering. Mana di sini cuacanya sebentar hujan sebentar tidak, membuatku harus bersabar dalam mengeringkan buku yang sudah setengah buruk ini. Aku bahkan rela tak membersihkan diri, membiarkan tubuhku penuh dengan kotoran lumpur yang mengering beserta debu yang menempel kuat. Beruntung persediaan set tinta yang aku bawa tidak bocor sedikitpun. Bisa gawat jika tinta itu tercampur dengan air, aku akan rugi banyak. Tulisan yang ada di jurnal bersampul coklat ini juga tidak memudar sama sekali. Apa ini karena kualitas tinta yang aku beli sangat tinggi? Biasanya ketika terkena tetesan air, goresan tinta yang ada di atas kertas bisa memudar, membias, bahkan tercampur oleh air.
Entah kenapa, aku juga tidak bisa menemukan sumber air selama berjalan, melainkan hanya mendapati sebuah genangan di lubang kecil yang kotor saja, yakni tempat di mana buku jurnal ini terjatuh dan basah total. Tapi aku bersyukur karena hujan yang sering turun ini memuat semua jenis kotoran di pakaian yang aku kenakan menghilang, walau masih ada beberapa yang lengket dan menjadi noda membandel. Mungkin akan aku buang saja pakaian ini dan membeli yang baru ketika aku pulang ke Pelabuhan Kota Rhea nanti. Lumayan, sudah lama, mungkin sekitar enam bulan, aku tidak berbelanja pakaian baru. Sudah saatnya aku menghabiskan tabungan hasil jerih payah diriku sendiri.
Ya, setelah aku berhasil keluar dari hutan yang dipenuhi dengan pohon berukuran abnormal beserta iklimnya yang tidak ramah lingkungan itu, aku berjalan terus hingga tiba di hutan yang lain. Sebenarnya aku sudah muak akan keberadaan hutan yang terus muncul, lebih tepatnya aku merasa trauma karena kejadian perempuan melayang yang menghipnotis diriku tempo hari.
Namun, penampakan luar dari hutan ini mengingatkanku akan latar tempat di sebuah film horor yang cukup terkenal dulu. Meskipun begitu, tampaknya di sini sangat aman dan damai.
Tanaman yang tumbuh di sini antara lain kumpulan bambu biru dan pohon pisang berwarna hitam. Ya, aku tidak salah tulis, dan kalian tidak salah baca. Pohon pisang hitam, benar-benar hitam, bahkan daunnya juga hitam. Anehnya, pohon ini malah memiliki perawakan aneh, mungkin lebih cocok untuk disebut sebagai pohon mangga, karena pohon pisang biasanya akan membusuk jika diterpa hujan terus-terusan, terbukti dari batangnya yang lain.
Setidaknya begitu, sebelum aku melihat daunnya yang ... mirip seperti pohon kelapa. Mungkin tanaman ini adalah hasil eksperimen versi lite? Bayangkan daun pohon pisang yang panjang, lebar, dan tertutup, sekarang malah tumbuh sangat panjang dengan beberapa ruas layaknya daun pohon kelapa.
Dan buahnya ... ehm ... tumbuh di bawah tanah, seperti ubi dan wortel. Aku baru mengetahui hal ini ketika aku tersandung bagian buah yang muncul sedikit ke permukaan tanah. Unik bukan? Aku harap ketenangan di hutan ini juga berbanding lurus dengan apa yang akan terjadi di dalamnya ketika aku masuk ke dalam hutan. Jangan sampai ada perempuan melayang yang bisa menghipnotisku, arwah kakek tua yang muncul secara tiba-tiba dan menunjuk ke arah yang membuat diriku berada di dalam bahaya, ataupun makhluk menyeramkan dan membuat trauma lainnya.
Satu lagi, tanaman bambu biru yang tumbuh di sini sangat aneh. Tapi bambu ini memberikan kesan yang menenangkan. Walaupun begitu, jangan pernah melihat "luarnya" saja tanpa tahu apa yang ada di dalamnya, kan? Bisa saja bambu ini akan membuat kulitmu gatal atau yang lain jika bersentuhan langsung, membuatku tidak menyentuh kumpulan bambu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Way to the Amulet [END]
AventuraAn Adventure Journal from Kango Pyrex Point of View. --- Cerita ini dibuat dalam rangka HUT WGA yang ketiga.