H: The Cave

4 1 0
                                    

Aku sangat mengantuk sekarang. Jadi, jangan heran jika ada sedikit, atau mungkin banyak kesalahan tulis berupa huruf yang terbalik dan sebagainya.

Aku menyesal karena diriku tidak mengambil permata yang menancap kuat di dinding yang ada di dalam gua sebelumnya. Nanti kalian akan tahu alasannya, biarkan aku bercerita terlebih dahulu perjalananku yang sangat tidak menarik ini.

Setelah memutuskan untuk bermain aman dengan tak mengambil barang apapun yang ada di dalam gua sana, aku kemudian melanjutkan perjalananku. Tak banyak yang terjadi, hanya aku yang terus berjalan dan melewati kepiting yang tengah terbang dan merayap.

Aku melangkahkan kakiku tanpa henti, hingga pada akhirnya aku keluar dari hutan yang dipenuhi bambu biru dan pohon pisang hitam itu.

Aku bernafas lega, berharap semuanya akan segera berakhir dan penantian panjangku akan mendapatkan jimat suci itu akan segera terkabul.

Dan dari sinilah letak penyesalan diriku akan keputusan bermain aman sebelumnya dimulai.

Aku mencapai area hutan yang lainnya ketika bulan telah menampakkan dirinya. Hutan ini tampak hening, sunyi, dan tenang, membuatku curiga akan apa yang akan menunggu diriku ketika aku masuk ke sana.

"Andaikan saja aku membawa permata yang bersinar terang itu", pemikiran itu selalu melintas di kepalaku, bahkan sampai saat ini. Tidak ada lampu dan cahaya alternatif akan menyulitkan diri sendiri ketika tengah bertualang di alam bebas yang antah berantah lokasinya.

Ada dua buah patung berbentuk kukang yang letaknya berseberangan. Patung pertama adalah patung kukang yang letaknya ada di sebelah kanan, dengan batu yang memiliki ukiran gambar matahari dengan manusia di dalamnya. Ada pula kalimat aneh yang tidak bisa aku baca, mungkin itu adalah aksara dari masa lalu, ketika pulau ini masih dihuni oleh manusia primitif, pikirku saat itu.

Patung yang kedua adalah patung kukang yang letaknya berada di sebelah kiri, dengan batu yang juga memiliki ukiran. Bedanya, di ukiran batu ini digambarkan ada sesosok manusia raksasa yang mengamuk dan menyerang manusia, serta ada kalimat yang berbeda. Tapi aku yakin, kedua kalimat itu menggunakan aksara yang sama.

Daripada mengambil resiko, lebih baik aku menunggu matahari menampakkan dirinya saja. Aku tidak ingin kejadian di mana perempuan yang bisa melayang itu terulang lagi untuk yang kedua kalinya.

Aku akhirnya memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhku dan bersandar di pohon yang ada di luar hutan itu. Lebih baik tidak menyentuh apapun sebelum pagi tiba.

Setelah matahari terbit dari timur, aku pun terbangun dengan keadaan hutan yang awalnya gelap gulita sekarang penuh dengan cahaya. Nah, kalau begitu kan aku tidak akan takut lagi dengan kejadian sebelumnya yang mungkin saja bisa terulang kembali.

Aku menjelajahi hutan dan menemukan banyak hewan yang unik. Andaikan aku membawa kamera atau benda sejenisnya saat itu, sudah ku foto banyak-banyak ragam isi hutan itu.

Pertama, aku melihat banyak kukang yang bergerak dengan lambat memanjat batang pohon dan ranting. Mereka sangat lucu dengan wajah yang terlihat mengantuk setiap saat, bahkan ada yang tertidur sambil bergelantungan.

Kedua, ada jerapah berleher pendek. Hal itu membuat mereka terlihat menggemaskan. Jika bisa, aku akan membawa jerapah itu pulang dan menjadikannya sebagai hewan peliharaanku. Namun, semua bayang dan impian yang terlintas di benakku ini terpatahkan ketika aku melihat bagaimana jerapah itu bisa merobohkan dua batang pohon besar dalam sekali sundulan.

Ya, aku tidak salah tulis. Sekali hentakan kaki saja, dia bisa berlari layaknya angin. Gerakannya sangat cepat, begitu pula dengan kekuatannya yang besar. Saat dua batang pohon sudah rubuh, mereka masih mencoba merubuhkan yang lain. Apa mereka tidak memiliki kerjaan lain, ya? Masa habitat mereka sendiri dirusak.

Way to the Amulet [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang