I. Dia si keras kepala

55 12 12
                                    

"Bangsat! Gue udah bilang jangan di sini!"

Kaki berbalut sepatu converse itu menendang kuat tumpukan kardus yang baru saja selesai ditata. Sementara seseorang yang menjadi sasaran kemarahannya hanya bisa menghela napas pelan. Berusaha agar tidak ikut tersulut emosi.

"Lo punya otak, kan? Atau omongan gue kemarin kurang jelas?" katanya dengan suara rendah.

Si lawan bicara -Dika- kembali menghela napas untuk kesekian kalinya. "Gue minta maaf buat ini. Tapi kita bener-bener butuh tempat ini, Kav. Kita dikejar deadline, dan tempat yang bisa kita pake cuma di sini."

"Alah bacot," Kava menginjak tumpukan kertas naskah yang berserakan di atas lantai sebelum berjalan ke sebuah kursi usang di tengah ruangan. "Sekarang juga gue minta lo pergi dari sini. Muak gue liat muka lo."

"Satu take lagi, abis itu kita pergi," ucap Dika mencoba bernegosiasi.

"Budek lo Dik?" cowok jangkung yang sejak tadi mencoba beberapa kostum dengan tiga orang lainnya berjalan ke arah Dika. Tubuhnya yang dibalut jubah hitam serta topi penyihir membuatnya terlihat seperti karakter tersebut. Terlebih pencahayaan ruangan yang temaram membuatnya terlihat semakin menyeramkan. "Kita udah sabar loh, pas tadi polisi dateng ke sini juga kita masih sabar."

"Lagian lo ngapain manggil polisi sih Dik. Kita gak jual narkoba kok, kita cuma lagi pesta rujak pake mangganya pak Agus." Cowok lainnya yang juga mengenakan jubah hitam menoel-noel pipi Dika, lalu tak lama menamparkan tanpa merasa bersalah.

"Buat polisinya, gue juga minta maaf. Tadi kita emang sempet rame, jadi ada beberapa warga yang ngira kita lagi ngelakuin sesuatu," ucap Dika seraya mengelus pipinya yang terasa panas.

"Terus?"

Kepala Dika bergerak menoleh ke arah Kava yang duduk sambil menyilangkan kaki di atas kursi. "Gue mohon, satu kali take lagi. Abis itu kita beneran pergi. Gue juga udah bayar kan?"

Mata tajam Kava memutar malas mendengar penuturan Dika yang menurutnya sangat tidak penting. Lantas memperhatikan sekeliling yang terlihat sepi. Berbeda dengan beberapa menit lalu yang hampir membuat gedung terbengkalai ini menjadi hidup seolah memang ditinggali seseorang.

"Anggota lo mana?" tanya Kava tanpa menatap Dika.

"Keluar cari makan. Tapi mereka bentar lagi balik, abis itu kita langsung take terus pulang. Udah."

"Lo pikir gue peduli?" tanya Kava sinis. Tangannya mengambil selembar kertas yang tersapu ke dekat kakinya akibat ulah teman-temannya yang berpose seperti sekte sesat.

"Kafa si buruk rupa," dahi Kava berkerut tidak suka ketika menemukan nama yang hampir mirip dengannya dideskripsikan dengan jelek dan mengenaskan. Dia lalu menatap Dika dengan sorot menuntut. "Yang nulis ini siapa?"

Dika meraih kertas yang Kava sodorkan, membacanya sekilas lalu menatap gusar sekeliling ruangan. Perasaannya mendadak tidak enak.

"Gue tanya siapa yang nulis?" ulang Kava sekali lagi.

"Salah satu anggota gue," balas Dika singkat.

"Gue juga tau bangsat! Namanya siapa?"

"Arin."

"Gue mau ketemu dia."

Dika melotot kaget. Dia sudah kenyang mendengar celotehan lima orang yang seenaknya mengklaim bangunan terbengkalai ini menjadi hak milik. Dika tidak sanggup jika harus berurusan lagi dengan mereka hanya karena sebuah naskah yang ditulis anggotanya. Terlebih hanya karena perkara nama.

"Kenapa? Ada yang perlu disampein? Gue bisa bantu biar lo gak usah buang waktu buat ketemu dia," kata Dika. Berharap Kava menerima tawaran yang dia ajukan, walaupun dia tahu itu tidak mungkin terjadi.

Bad ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang