III. Kalau kata Arin, namanya Kavangsat

19 7 7
                                    

Sesuai dengan permintaan Kava dalam pesannya, setelah latihan selesai Arin bergegas pergi ke lapangan futsal yang kebetulan tidak jauh dari markas teater. Tanpa peduli dengan penampilannya yang sedikit berantakan serta raut wajahnya yang tampak lelah, Arin melangkah memasuki pintu masuk lapangan indoor. Di sana sudah terdapat beberapa orang yang terlihat sedang beradu pendapat. Arin juga bisa melihat Kava yang nyaris memukul seseorang yang tidak sengaja menyenggol lengannya.

Tidak ingin menginterupsi keributan tersebut, Arin memilih berjalan naik ke arah tangga dan duduk di kursi penonton. Memperhatikan orang-orang di bawah sana yang sudah mulai saling memukul.

"Bangsat lo! Kalo main yang fair sialan!"

Salah satu teman Kava yang Arin ingat bernama Bima berteriak tepat di depan salah satu cowok jangkung yang sudah babak belur. Dilanjutkan dengan mendorong kuat orang tersebut hingga menabrak beberapa orang lainnya yang juga hampir tumbang.

Arin meringis. Tangannya dengan cepat mengeluarkan ponsel dari dalam ransel dan mengotak-atik benda pipih tersebut. Mencoba mengalihkan perhatiannya dari keributan di bawah sana yang semakin memanas.

"Kita udah fair! Kalian aja yang emosian."

Arin kembali melirik ketika suara serak yang nyaris hilang itu berteriak membantah perkataan Bima. Tidak lama setelahnya, cowok paling pendek diantara geng Kava yang Arin ingat bernama Chiko menghampiri sang pelaku dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya. Satu tangannya terulur dan mengusap lembut pipi lebam sang lawan sebelum menamparnya dengan sekuat tenaga.

"Jelas-jelas lo semua yang curang, bangsat! Apa maksudnya sepatu kita dilumurin sama minyak kalo lo mainnya udah fair? Mikir dong, anjing!" kata Chiko seraya menoyor kepala cowok yang tampak sudah pasrah tersebut.

Dari tempatnya, Arin menelan ludah gugup. Tidak menyangka jika perkelahian yang selama ini dia baca dalam karangan fiksi kini dia lihat langsung di depan mata. Arin menggeleng, berusaha menghilangkan perasaan tidak menyenangkan ketika melihat orang-orang yang babak belur itu meludah darah.

Jemari Arin dengan cekatan mengetik beberapa kata di layar ponselnya. Belum sempat jarinya menyentuh ikon kirim, sebuah tepukan halus di bahunya membuat Arin refleks menjerit kaget.

Suara teriakannya yang cukup kencang itu membuat kumpulan orang di lapangan melihat penuh ke arahnya. Arin mengelus dada, berusaha menormalkan detak jantungnya yang berdetak kencang.

"Aduh pak, lain kali nepuknya pelan aja," kata Arin dengan nada sedikit memperingati.

Pria paruh baya yang sepertinya petugas kebersihan itu mengusap tengkuknya canggung. "Saya nepuknya udah pelan itu, Neng. Nengnya aja yang ngelamun, jadinya kaget gitu."

"Iya maaf pak. Ngomong-ngomong ada apa ya pak?" tanya Arin. Kepalanya dia tahan agar tidak menoleh ke arah lapangan. Karena sejak dia berteriak tadi, Arin bisa merasakan jika seseorang tengah menatapnya intens.

"Anu Neng, Nengnya sama siapa ya? Stadionnya bentar lagi mau ditutup. Jadi sebaiknya Nengnya beres-beres buat pulang," kata Pak Petugas sopan.

"Sama saya, Pak. Bentar lagi emang mau pulang."

Suara berat yang membalas perkataan Pak Petugas membuat Arin dan lelaki paruh baya itu menoleh ke arah asal suara. Kava berdiri di depan mereka sambil mengenakan jaket hitamnya.

"Oh siap kalo gitu. Nanti sampah sama barang-barangnya jangan lupa diberesin, ya. Jangan ada yang ketinggalan. Saya tinggal dulu Mas, Neng," ucap pak petugas sambil mengangguk bergantian ke arah Arin dan Kava.

"Telat," kata Kava singkat. Cowok itu tanpa perasaan menjitak kepala Arin cukup kuat.

"Aw, sakit," ringis Arin. Tangannya mengusap-ngusap kepalanya yang terasa berdenyut. "Lagian kamu gak nyebutin jamnya. Jadi bukan salah aku."

"Bacot lo. Jelek," katanya sebelum berbalik dan menuruni tangga lebih dulu.

Arin menganga tidak percaya. Dia memang sudah mengira jika Kava akan semenyebalkan itu, tapi dia tidak menyangka jika kadar menyebalkan Kava akan sangat tinggi. Berusaha untuk tidak terpancing emosi, Arin menarik napas panjang. Lalu berdiri dan menuruni anak tangga. Mengikuti ke mana Kava melangkah.

"Bos! Gak minum dulu?"

Teriakan Chiko hanya dibalas lambaian tangan oleh Kava. Cowok itu tetap berjalan ke arah pintu keluar sambil sesekali melempari Arin dengan kertas yang dibulat-bulat.

"Kamu bisa berhenti gak? Ini emang cuma kertas, tapi sakit juga kalo terus-terusan kamu lempar," kata Arin lelah.

Kava berhenti melangkah. Dia lalu berbalik dan melemparkan senyum miring yang menyebalkan pada Arin. "Resiko lo. Cewek jelek."

Arin hanya menghela napas. Mencoba menghiraukan perkataan menusuk cowok jangkung di depannya.

"Karena lo telat. Sekarang lo ikut gue," ucap Kava. Cowok itu kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya ke arah sebuah motor yang terparkir sendiri di pinggir lapangan outdoor.

"Ke mana?"

"Kostan gue."

"Hah? Ngapain?"

Kava menoleh. Satu sudut bibirnya terangkat ketika melihat raut bingung Arin. "Jadiin lo babu lah. Lo pikir gue mau apa? Make lo? Yang ada gue malah gak selera."

Arin merapatkan bibir. Dalam hati mengutuk Kava karena omongannya yang terlampau pedas. Lihat saja, nanti Arin akan membuat tokoh yang lebih mengenaskan dengan nama cowok itu di naskah dramanya.

"Yaudah sih gak usah ngeledek. Aku kan cuma nanya," kata Arin kalem.

Kava hanya mengangkat bahu tidak peduli. Setelah memastikan Arin duduk di boncengannya, cowok itu segera melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Cowok itu bahkan menghiraukan pukulan Arin di punggungnya yang memintanya agar memelankan laju kuda besi tersebut.

<><><>

Ketika Arin tiba di sebuah bangunan yang Kava sebut kostan itu, Arin tidak bisa untuk tidak berdecak kagum. Bangunan itu memang hanya terdiri dari dua lantai serta lima kamar saja. Namun interior yang dipilih membuat bangunan sederhana itu terlihat mewah. Terlebih lingkungannya yang sangat terawat dan bersih. Arin bahkan sempat ragu bangunan ini adalah kostan khusus laki-laki.

"Berantakan tuh, lo beresin sana. Abis itu gue mau tidur," ucap Kava setelah dia membuka lebar pintu kamarnya.

Dahi Arin berkerut bingung. Kamar Kava terlalu luas untuk ukuran kamar kost. Apalagi di sana terdapat TV LED, serta tumpukan playstation yang Arin tahu betul berapa harganya. Walaupun bisa saja barang-barang itu dibawa Kava, tapi tetap saja itu membuatnya heran sekaligus kagum.

"Kamu yakin ini kostan? Bukan rumah kamu?" tanya Arin tanpa menatap Kava. Matanya fokus memperhatikan playstation yang tampak menggoda untuk dimainkan.

"Kenapa nanya?"

Arin menggeleng. "Gak papa. Ini semuanya harus kuberesin?"

Kava tersenyum miring. "Lo tahu jawabannya, Manis. Oh iya hati-hati sama game gue, kalo rusak lo pasti gak bisa ganti."

"Mahal soalnya, lo kan gak mampu," lanjutnya berbisik di samping telinga Arin.

Arin hanya diam. Sama sekali tidak berniat membantah karena memang itu benar adanya. Gadis itu lalu membenarkan cepolan rambutnya sebelum memasuki kamar dan mulai membereskan ruangan tersebut.

"Sekalian ya," kata Kava sambil melemparkan handuk basah tepat ke wajah Arin.

"Ini juga," lanjutnya melemparkan kaos yang terdapat bercak darah.

"Gak sengaja. Sekalian ya," ujar Kava setelah dengan sengaja menumpahkan kopi di lantai yang baru saja Arin pel.

Arin menarik napas panjang. Gagang pel dia sandarkan pada tembok. Lalu berjalan ke arah nakas untuk mengambil ponselnya. Jemarinya dengan cepat membuka kontak Kava, lalu mengganti nama cowok itu yang sebelumnya sudah tersimpan.

'Kavangsat'

Arin mengangguk mantap. "Kalo gini kan sesuai antara orang sama namanya."

<><><>

Hai! I'm Koro😋

Selamat datang buat kamu yang membuka story ini. Aku harap kamu suka. Jangan lupa tinggalkan jejak biar kita bisa saling sapa🤗

Bad ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang