V. Kalian beneran pacaran?

15 7 3
                                    

Pagi harinya, Arin terbangun dengan perasaan jengkel luar biasa. Pasalnya, baru saja dia membuka mata karena terganggu dengan suara deruman mesin motor, seseorang tiba-tiba menyiram kepalanya dengan air dingin. Pelakunya? Tentu saja Kava di cowok menyebalkan.

Arin mendengus kesal. Mie sisa tadi malam yang belum sempat dia habiskan dimakan dengan brutal. Gadis itu benar-benar mengutuk Kava dalam hatinya. Pun dengan teman-temannya yang sejak tadi benar-benar berisik.

Getaran pada ponselnya membuat fokus Arin beralih pada benda pipih tersebut. Nama 'Kak Dika' tertera di layar persegi panjang tersebut. Tanpa pikir panjang, Arin segera meraih ponselnya dan menggeser ikon hijau.

"Halo, Kak. Kak, gimana caranya putus sama Kava?" tanya Arin cepat.

Terdengar suara helaan napas panjang di seberang sana. "Gue bilang juga apa, Arin! Dia itu gila, dan lo dengan PD-nya nerima tantangan dia! Emang gila lo."

Arin tersentak. Itu bukan suara Dika, tapi suara sahabat tersayangnya alias Yuri. Arin mendengus, mie yang tinggal sedikit dia putar-putar di dalam mangkuk. "Yuri, bantuin aku putus sama Kava dong."

"Ngaku dulu kalo lo salah."

"Iya aku salah. Maaf," jawab Arin lemas.

"Diapain lo sama dia sampe baru sehari udah minta putus?"

Arin bisa mendengar jelas suara sarat akan ejekan tersebut. Yang mana hal itu membuatnya lagi-lagi menghela napas lelah. "Pokoknya nyebelin banget. Aku gak mau. Kirain dia cuma bakal sok-sokan bikin aku suka sama dia, tapi ternyata dia malah bikin aku stres. Tolongin, Yuri."

"Nanti gue pikirin deh. Sekarang lo di mana, kita ada latihan jam dua nanti."

"Masih di kostannya Kava."

"Hah!? Lo ngapain di kostan dia?"

Belum sempat Arin mengeluarkan suara, ponselnya lebih dulu diambil oleh seseorang. Gadis itu menoleh cepat, seketika itu juga ekspresinya berubah kesal ketika melihat Kava dengan santai menarik kursi dan duduk dengan kaki yang sengaja diletakkan di atas meja.

"Temen lo gak gue pake kok, Yuri. Gak minat juga gue," kata Kava kalem. Matanya menatap Arin yang memakan suapan terakhir mie dengan ekspresi kesal. "Gue cuma memanfaatkan tenaga temen lo itu. Lumayan, bisa gue suruh-suruh."

Setelahnya panggilan langsung diputus sepihak oleh Kava. Cowok itu lalu melempar ponsel Arin ke atas meja. Arin yang melihat itu melotot tidak terima. Dengan buru-buru dirinya bangkit dan meraih benda pipih kesayangannya tersebut.

"Aku tahu kamu benci sama aku. Tapi gak usah ngebanting HP aku juga. Isinya masa depan aku semua," katanya sebal. Lalu kembali berbalik untuk mencuci piring bekas sarapannya dan juga anak-anak geng tidak waras yang menghuni kostan ini.

"Gue mau pergi. Pastiin sebelum lo keluar dari sini semuanya udah beres," ucap Kava.

Arin sama sekali tidak ingin berbalik. Dia masih sangat kesal pada cowok menyebalkan itu. Baru setelah Arin mendengar langkah kaki yang menjauh, Arin melirik ke arah jendela yang terbuka. Kava serta keempat temannya sudah siap dengan motor masing-masing. Lalu tidak lama setelahnya, mereka pergi meninggalkan kawasan kostan yang sengaja dibuat seberantakan mungkin.

"Aku sumpahin ban kalian kempes di tengah jalan yang tempatnya jauh dari bengkel."

<><><>

Termos berisi eskrim dan beberapa minuman dingin lainnya yang Dika sediakan untuk anak-anak teater sama sekali tidak membuat perasaan Arin membaik. Gadis itu masih terus merengut dengan kedua tangan yang memukul matras dengan kesal. Sesekali dia akan berguling-guling dengan kaki dihentak kesal ketika melihat postingan Kava di salah satu akun sosial medianya.

Bad ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang