Figuran 7 : Nggak Kok

104 9 0
                                    

[°°°]

Mentari berada di ufuk barat menandakan malam hampir tiba. Cahayanya menyorot hangat menghasilkan bayang hitam.

Seorang gadis memejamkan matanya sejenak merasakan kehangatan itu.

Di atas sepedanya, Eva menikmati hembusan angin sore yang sejuk. Bayang hitam senantiasa mengikuti kemanapun ia berpindah tempat dengan benda berkayuh itu. Sesekali hilang tatkala ia berada di balik benda yang lebih besar.

“Eh?” Tiba-tiba gadis itu menghentikan laju sepedanya. Ia meraba seluruh sakunya. “HP gue mana?” gumamnya mulai panik.

“Oh iya, gue cas tadi.” serunya lega. Tangannya bergerak menepuk keningnya. “Dasar pelupa.”

Setelah kendala kecil itu, Eva lanjut mengayuh pedal sepedanya keluar komplek perumahannya.

Di pos satpam, tak lupa gadis itu menyapa penjaga di sana.

Suasana sore ini begitu sahdu. Banyak orang berkeliaran di sekitar rumah yang di lewati Eva.

Gadis itu sendiri diperbolehkan keluar setelah pamit kepada mamanya dengan syarat beliau menitip guna dibelikan sebungkus tepung, kecap sachet-an dan sebungkus teh kantong. Eva tentu menyanggupi syarat itu.

Ia pamit setelah menerima uang.

Pedal sepeda terus dikayuh hingga tanpa sadar Eva tidak mengenali tempatnya memberhentikan sepedanya.

“Nyasar nih gue?” tanyanya entah pada siapa. Kepalanya menatap sekitar. “Oke, nggak papa. Tadi gue jalan lurus terus, nggak ada bekok sama sekali.” gumamnya menenangkan diri.

Saat akan mengayuh kembali sepedanya, tanpa sengaja netranya menangkap sosok yang ia kenal. Eva menatapnya lama. Hingga sosok yang semula keluar rumah dan hampir sampai di gerbang rumahnya itu kembali masuk akibat teriakan dari dalam ––Eva tebak–– rumahnya.

Eva turun dan berjalan sembari mendorong sepedanya. Ia diam di dekat pagar tak terkunci itu dan mengamati rumah bercat merah tua itu.

Halamannya cukup luas untuk rumah seukuran rumah itu. Kanan-kiri rumah terdapat jarak dengan pagar di sampingnya. Kira-kira dua meter.

Tanpa ia sadari seseorang yang tadi dilihatnya tampak keluar rumah lagi. Orang itu tampak berjingkat kaget mendapati Eva menatap ke arahnya.

Demikian Eva, ia sedikit tersentak. Lalu tak lama ia mengukir senyum tipis sebagai sapaan.

Orang itu berbalik hendak masuk ke dalam lagi. Eva yang melihat itu sontak melepaskan sepedanya dan mendorong keras pagar di depannya.

“Tunggu!” Setelah berhasil melewati halaman, akhirnya Eva berhasil menahan tangannya.

Orang itu menatap Eva datar. Ia melirik cengkeraman di lengannya lalu kembali pada Eva. Sedang yang ditatap tertawa canggung dan melepasnya.

Sorry.” Orang itu tetap diam.

Eva bingung. Ia mengulum bibirnya. Menatap acak sekitar mencari ide. Sembari bertepuk tangan pelan di bawah, Eva akhirnya membuka suara,  “Nggak ada yang.. perlu kita.. omongin gitu?”

“Nggak ada.” Suaranya terdengar dingin. Eva menghembuskan napas kasar. “Ayolah, Gab, jangan kayak gini.” pintanya.

Benar itu Gaby, Gabriella. Orang yang sulit diajak komunikasi oleh Eva. Syukurnya Eva tak sengaja menemukan rumahnya. Ini rezekinya pasti.

“Gini,” Eva menatap lantai teras keramik di bawahnya. “Kita duduk dulu deh.” usulnya. “Ya?”

Lama menunggu tanggapan akhirnya Gaby mengangguk.

Figuran!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang