"Kak Fal!!!"
Vido mencekal lengan Fal, yang masih saja berjalan cepat. Cekalan itu membuat langkah Fal terhenti bahkan nyaris terjungkal ke belakang jika Vido tak menahan tubuh tinggi semampai itu. Vido membalik tubuh Fal dan meraihnya ke dalam pelukan. Jelas terasa tubuh dalam pelukannya gemetar hebat. Vido mengeratkan pelukan pada tubuh Fal, yang masih tampak mungil baginya.
"Tenang, Kak. Tenang. Kak Fal kenapa?" ujar Vido dengan nada lembut seraya mengusap punggung Fal. Tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sekitaran. Bagi Vido, ketenangan Fal adalah fokus utamanya saat ini.
Fal berusaha menenangkan diri. Berusaha untuk tak berontak dalam pelukan Vido. Wangi parfum Vido, yang begitu dikenalnya, membuatnya perlahan sadar dari kepanikan. Dibalasnya pelukan Vido. Kedua telapak tangannya meremas kuat kemeja belakang Vido.
Vido melepas perlahan pelukannya. Menaruh kedua tangannya di atas bahu Fal. "Kak ...," panggil Vido agar Fal mengangkat wajah dan menatapnya. "Kita cari tempat untuk nunggu Abey, ya."
Fal mengangkat wajah dan menatap Vido. Menatap lekat wajah kekasih dari sahabatnya itu. Mengangguk perlahan dan pasrah saat Vido menuntunnya pergi ke salah satu kedai kopi terdekat.
...
"Makasih, ya."
Vido, yang tengah menikmati cheesecake, mengangkat wajah dan menatap Fal dengan sebelah alis terangkat. "Untuk apa?"
Fal, yang tampak lebih tenang, tersenyum tipis. "Makasih sudah nolongin gue. Abey beruntung punya pacar kayak lo, Vid. Makasih juga lo sudah mau nerima gue yang aneh ini."
Vido mengangguk dan tersenyum. "Sama-sama. Kak Fal kan, bagian dari kehidupan Abey, jadi gue harus terima keberadaan Kak Fal juga. Masa iya, gue pacaran sama Abey tapi enggak mau terima orang-orang terdekatnya."
Fal tersenyum lagi. Meraih kopinya dan meneguknya.
"Fal!!! Lo enggak apa-apa?"
Fal dan Vido menoleh ke arah sumber suara. Tampak Abey, dengan wajah paniknya tengah berdiri di hadapan keduanya. Pemuda itu akhirnya berhasil menemukan keberadaan sahabat dan kekasihnya.
Abey memeluk Fal. Mengusap-usap surai legam milik Fal. "Lo kenapa? Vido bilang kalian ketemu Maria, terus kenapa lo lari? Kenapa lo panik?" tanya Abey dengan nada lembut penuh kekhawatiran.
Fal terkekeh dalam pelukan Abey. Diurainya pelukan dan menarik Abey untuk duduk. Menyodorkan segelas air mineral. "Minum dulu."
Abey meraih gelas dan menandaskan isinya. "Lo kenapa?" tanya Abey seraya menatap Fal.
"Sapa dulu Nyonya Abey dong, Ardan Benyamin. Datang-datang malah peluk gue. Mau diamuk Nyonya apa?" Fal berusaha terlihat santai di hadapan Abey.
Abey menatap tajam Fal. "Enggak usah mengalihkan pembicaraan, Faldhita Raditya. Gue tanya serius, lo kenapa?" tanya pemuda itu dengan tegas namun masih dengan nada lembutnya.
Fal tersenyum. "Gue enggak kenapa-kenapa. Lo buruan abisin minum lo. Kita pulang. Gue capek. Mau istirahat."
Abey menghela napas. "Oke. Gue tunggu penjelasan lo nanti, Faldhita Raditya." Abey menoleh ke arah Vido. "Nyari tempatnya jauh banget sih, Yang. Aku tadi salah masuk tempat sampai dua kali loh," protesnya pada Vido.
Vido menaikkan kedua alis hitamnya. "Baru dua kali. Masih bagus enggak ku tinggal pulang. Bisa pulang jalan kaki kamu."
Abey mencibir. "Naek ojol lah. Ngapain jalan kaki."
Vido memutar kedua bola matanya. "Dompet situ kan, lagi saya sita. Lupa, ya?"
Abey terdiam sejenak. "Ah iya. Yang, sudah dong nyita dompet aku nya. Masa iya cuma dikasih duit bensin doang sama duit makan."
Vido mendelik dan menggelengkan kepala. "Enggak. Enggak percaya gue sama lo. Nanti lo beli burung lagi kalau gue balikin tuh dompet. Gaya lo segala beli burung, bisa piaranya saja enggak. Sudah gitu dibegoin lagi sama yang jual burung."
Fal menghela napas panjang. Tersenyum tipis. Seenggaknya, dua orang agak sinting di depan gue ini, bisa bikin keadaan gue lebih baik. Seenggaknya, gue bisa tenang dan enggak terlalu mikirin dia. Kenapa gue harus ketemu dia lagi? Kenapa dia harus kenal dengan Maria?
...
Maria menatap gawainya. Mengerutkan dahi saat mendapati bahwa tak ada satupun pesannya, yang berhasil terkirim untuk Fal. Hanya centang satu berwarna abu, yang menghiasi pesannya.
"Fal ke mana, ya? Tumben banget chatnya centang satu."
Maria berusaha menghubungi Fal melalui panggilan telepon. Tak ada tanda bahwa telepon tersambung.
Maria mendengus. Berdecak kesal. "Padahal cuma mau tanya kenapa tadi kabur begitu saja, malah enggak bisa dihubungi. Tanya besok sajalah di kampus."
Maria akhirnya menyerah dan meletakkan gawainya di atas nakas. Memilih berbaring di tempat tidur dan memejamkan mata. Maria cukup merasa lelah setelah menghabiskan waktunya seharian dengan kawan lamanya itu.
...
Keesokan harinya ....
"Enggak mau kuliah nih? Yakin? Lo mau bolos? Lo sakit?"
Abey menatap tak percaya ke arah Fal, yang masih asyik bergelung di dalam selimut. Bahkan gadis itu abai akan kehadiran Abey di dalam kamarnya, sebuah hal yang sangat jarang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Kamar seorang Faldhita Raditya adalah teritorial suci miliknya, tak ada seorang pun kecuali Sang Mamah, yang diizinkan untuk masuk.
Fal bergumam tak jelas seraya menarik selimut agar menutupi seluruh tubuhnya. Kian rapat memeluk guling.
"Ngomong apa lo? Benaran ini mau bolos? Yakin? Enggak rugi?" Abey kembali berusaha meyakinkan Fal.
Fal berdecak kesal. Disibaknya selimut, yang menutupi kepala. Sedikit memperlihatkan kepala gadis bermata tajam itu, walau hanya sebatas kedua mata. Tampak anggukan kepala dari balik selimut. Tanpa suara.
Abey menghela napas. Mendekat dan duduk di sisi tempat tidur. "Kalau lo sakit, kita ke dokter saja, yuk."
Fal menggelengkan kepala. Masih berdiam diri.
Hening mendominasi setelahnya. Fal hanya diam dan menatap Abey. Begitu pula dengan Abey.
"Gue kuliah dulu kalau gitu. Nanti selesai kelas gue ke sini lagi. Lo mau gue bawain apa?"
Fal kembali menggelengkan kepala. "Enggak usah. Gue lagi enggak mau makan apa-apa kok."
Abey tersenyum. "Atau mau gue bawakan Maria?"
Pandangan Fal menajam. "Enggak usah. Gue enggak mau ketemu dia lagi, Bey."
Abey menaikkan kedua alis hitamnya. "Kenapa? Kalian berantem lagi?"
Fal menghela napas. "Enggak apa-apa. Nanti gue cerita kalau sudah waktunya. Tapi, gue ada alasan untuk berhenti berteman dengan Maria."
Abey mengangguk. Berusaha paham akan keputusan Fal, walau ada sedikit rasa kecewa dalam hati. "Oke. Gue berangkat, ya."
Fal mengangguk. "Hati-hati. Jangan ngebut."
Abey mengangguk dan keluar dari kamar Fal. Menutup kembali pintu kamar sahabatnya itu. Menatap sejenak pintu, yang memisahkan dirinya dengan Fal. Menghela napas dan berlalu.
...
"Yang, aku mau tanya sesuatu. Kamu selesai kelas kapan?"
Abey, yang baru saja memarkirkan motor antiknya di pelataran parkir kampus, segera menghubungi Vido. Ada yang luput dari pandangannya kemarin. Alasan kenapa tempat bertemu Fal dan Vido berpindah cukup jauh dari tempat semula.
"Oke. Nanti aku jemput kamu, ya." Abey mengakhiri hubungan telepon dan bergegas turun dari motornya. Berharap hari segera bergerak menuju petang.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Faldhita (GxG Story)
Romance"Seharusnya hidupku berjalan senormal yang lain, tapi mereka membuatku memilih jalan yang berbeda." Faldhita Raditya