06. Baruna sehat kok!

32 13 7
                                    

"Terkadang kita juga harus melupakan hal yang menyakitkan"
*
*

"Aduh, sakiitt, Bun!" Marella meringis kesakitan sambil mengusap-usap kupingnya yang merah akibat jeweran keras dari ibunya.

"Marellaa! Kamu itu malu-maluin, Kalian belum sah, udah berani melakukan pelukan didepan kita seperti itu. Kamu mau jadi apa, hah?!" Mattea menepuk punggung putrinya dengan sedikit kekesalan

" Ampun, banget, Bun! Rella kan nggak salah, aku ditarik paksa sama dia!" Marella merengek dengan wajah kesakitan.

"Udah, udah, Sky! Kasihan Marella! Jangan marah-marah terus," kata Skyla mencoba menenangkan suasana.

"Mungkin Marella cuma ingin menenangkan Baruna, Sky" sela Garvin dengan suara lembut.

"Iya, Bun! Semalem Baruna nganggep aku sebagai Marilla lagi," tambah Marella dengan nada memelas.

"Marella, kamu menjawab mulu setiap kali Bunda memberi nasihat" Mattea menegur dengan sedikit kekecewaan.

"Udah, Sky, udah! Maafin Baruna, ya, udah berbuat semena-mena terhadap Marella," Skyla berusaha menenangkan suasana.

"Eh, Sky, bukan kesalahan Baruna, ini pasti kesalahan Marella! Maafin kesalahan Marella, ya, Sky!" Mattea berbicara dengan tegas.

Tiba-tiba, Baruna mengigau lagi, memecah keheningan. Orang-orang di sekitarnya segera menghentikan perdebatan mereka dan mendekati lelaki itu yang terlihat bercucuran keringat dingin.

"Teman-teman kalian ada dimana??"

"Baruna, sayang... Baruna, bangun, Nak!" Skyla berkata dengan lembut, mengusap lembut kepala Baruna.

Baruna segera terbangun, matanya menatap langit-langit kamar rawatannya dengan tatapan kosong. Ia masih terbaring lemah di rumah sakit. Tak terasa air matanya menetes dan membasahi bantal yang ia pakai.

Lelaki yang baru saja terbangun itu memiringkan kepalanya, matanya mencari-cari sosok-sosok yang tampak khawatir di sekelilingnya.

Wajahnya pucat dan lesu, mencerminkan kelelahan dan penderitaan yang ia alami.

"Baruna... Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Garvin dengan suara lembut sambil menggenggam erat tangan putranya.

Baruna menggeleng pelan, mencoba memberi tanda bahwa ia masih dalam keadaan sadar meskipun terlihat rapuh.

Tatapannya mencari sosok-sosok yang biasanya selalu ada di sampingnya, namun tak satupun dari mereka yang tampak hadir.

"Pi! Teman-teman yang lain... Mereka kemana, ya? Kenapa mereka nggak menjenguk Baruna?" tanyanya dengan suara serak, kebingungan dan kekhawatirannya terpancar dari wajahnya yang lemah.

"Emmm, Baruna... kita shalat bersama, ya!" Skyla mencoba mengalihkan pembicaraan, mencari cara untuk menghibur Baruna.

Baruna mengangguk setuju setelah mendengar suara iqamah dari masjid di luar.

TACENDA SWASTAMINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang