🕸Hope_00||Masa Lalu✨

292 79 58
                                    

Jangan lupa tambahin cerita ini ke perpus kalian, dan jangan lupa juga buat tinggalin jejak kalian di karya ini dengan cara vote dan komen

Atau kalau nggak kalian bisa follow akun author, oke😉👍

Selamat Reading
.
.
.
.

'Bagaimana aku bisa menganggap rumah sebagai rumah, jika orang yang seharusnya menjadi rumah, malah meninggalkanku'

•••••

Plakk!

Suara tamparan terdengar nyaring di ruangan kelabu yang dihiasi perabot mewah. Terlihat seorang pria paruh baya berdiri tegak dengan tangan yang menggantung di udara, menatap nyalang pada seorang wanita yang terduduk di lantai dengan memegang pipinya yang kemerahan.

"Minggir! Jangan halangi aku!" hardik laki-laki berumur 30 tahunan tersebut dengan marah.

Seorang anak laki-laki yang mendengar suara gaduh di luar kamarnya, lantas keluar. Matanya  membulat tak percaya melihat pemandangan di depan matanya. Ibunya terduduk di lantai dengan menunduk sembari memegang pipinya yang memerah, dengan raut wajah cemas, ia pun bergegas menghampirinya.

"Mama!" teriaknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Indira memeluk Anggala erat, serta mengusap kepalanya lembut. Buliran bening seketika menetes di kedua sudut mata wanita beranak satu itu, karena melihat sang anak yang mendapati perlakuan kasar sang suami.

"Mama, tidak apa-apa. Jangan menangis," ia menjawab dengan tersenyum, lalu menangkup wajah putranya seraya menghapus air mata yang membasahi pipi gembulnya.

Anggala, dengan mata berkaca-kaca lantas melepaskan pelukan ibunya, dan berdiri di depan wanita itu, menghalangi sang ayah yang ingin mendekat.

Dia merentangkan tangan mungilnya yang sedikit gemetar. "Pa-Papa jangan sakitin, Mama!" pintanya dengan suara bergetar.

Laki-laki dengan kemeja biru langit itu menyunggingkan senyum tipis. Ia mendekat dan mencengkram dagu putranya kuat, kemudian menggoyangkannya kasar. "Heh, masih kecil sudah sok pahlawan," cemoohnya lalu menghempas dagu putranya kasar, hingga membuat bocah itu meringis kesakitan.

"Kamu jangan kelewatan, Pa!" teriak Indira kesal dengan menarik Anggala ke pelukannya.

Rian beralih menatap istrinya tajam. "Lebih baik, kamu urus saja putramu ini, daripada menghalangiku pergi," ujar Rian dengan tegas.

Tanpa menjawab perkataan suaminya, Indira bangkit dan menatap Anggala. "Sayang, kamu masuk kamar. Mama, mau bicara sebentar sama Papa," ucapnya, mengelus rambut Anggala dengan lembut.

Anggala menggeleng. Matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan ibunya erat, ada rasa khawatir yang tercetak jelas pada sorot mata coklat jernih miliknya.

Indira mengelus pipi gembul putranya, dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Sayang. Dengarkan Mama, ya?"

Anggala, dengan berat hati, menuruti permintaan ibunya. Ia masuk ke kamar dengan raut wajah sedih.

Indira menatap pintu kamar Anggala, kemudian menghela nafas panjang. Ia berbalik dan menatap Rian dingin. "Pernikahan kita ini bukan satu atau dua tahun, Pa. Tapi sudah sebelas tahun! Dan kamu, malah mengkhianatiku sampai punya anak di luar nikah?!" tegas Indira dengan lirih dan mata yang memerah menahan tangisnya.

Dia lalu tertawa garing sambil mengalihkan mukanya, sebab hatinya yang sangat sesak ketika menatap wajah sang suami. "Dan yang paling tidakku sangka, kamu." Ia menatap Rian dingin dan menunjuk tepat di wajahnya. "Kamu, malah selingkuh dengan sahabatku sendiri, Sania!"

Anggala's little hopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang