TEN √

88 5 0
                                    

Happy reading
..........

Akhir pekan pun tiba, sebagian orang akan mengistirahatkan tubuh mereka dengan bergelung dengan selimut atau pergi bersama keluarga. Setidaknya itu cara mereka melepaskan lelahnya.

Hari ini Ryu berdiam diri di rumah sama hal nya dengan yang lain, beristirahat. Setelah tiga pekan tak berurusan dengan berkas menyebalkan yang sayang nya mendatang kan uang pada akhir Ryu harus kembali bercumbu dengan sumber uang nya itu. Dan kini masa yang tepat untuk melepas semua lelahnya.

Satu bulan terakhir ini, Ryu dan Jae jarang bertemu sekali nya bertemu itu pun hanya saat tanpa sengaja berpapasan saja. Hubungan yang memang sudah retak kini semakin merenggang, celah celah kecil terlihat dengan jelas. Jika saja ada satu batu menghantam nya mungkin retakan itu akan pecah dan menjadi serpihan debu.

Jae berjalan menuruni tangga menuju dapur. Sekarang baru pukul enam pagi masih terlalu awal untuk bangun di hari libur seperti sekarang tapi entah kenapa Jae memilih untuk bangun pagi dan berkeinginan untuk memasak. Sampai di dapur sudah ada Bibi Jang yang berkutat dengan bahan-bahan makanan, Jae berjalan mendekat dan menyapa.

"Pagi, Bibi Jang," sapa Jae dengan hangat tak lupa senyum manis yang menghiasi wajahnya. Bibi Jang menoleh mendapati Tuannya berada di samping nya.

Bibi Jang tersenyum, "Selamat pagi, Tuan."

Jae menatap setiap bahan makanan yang berjejer di atas meja sembari memikirkan apa yang harus dia masak untuk sarapan.

"Tuan, bisakah anda melanjutkan memasak?" tanya bibi Jang tidak enak.

Jae mengangguk, "Tidak masalah, memang kenapa?" tanyanya.

"Saya lupa ada pekerjaan yang di perintahkan oleh tuan muda Ryu," jawab Bibi Jang.

Jae mengangguk mengerti, "baiklah," ujarnya. "Cepat kerjakan, Bibi tau sendiri bagaimana tuan muda itu." Jae terkekeh mengingat tingkah Ryu.

"Baik tuan, saya permisi dan anda berhati-hati lah." Selepasnya Bibi Jang pergi untuk melakukan pekerjaan yang di perintahkan Ryu.

Jae menatap kepergian Bibi Jang dengan bingung, "Aku hanya memasak, bukan pergi berperang."

Ngomong - ngomong soal Ryu, dari tadi Jae tak melihat kehadiran sosok suami nya itu. Tapi sudah lah.

....

Di sisi lain, Ryu tengah berkutat dengan alat gym yang ada di lantai tiga rumahnya. Rutinitas Ryu setiap akhir pekan adalah olahraga guna menjaga kesehatan dan bentuk tubuhnya. Terhitung satu jam sudah Ryu melakukan kegiatan sehatnya, sekarang pukul enam lewat dan ia menyudahi kegiatannya.

Ryu mengistirahatkan tubuhnya di sofa balkon, sembari menikmati matahari terbit dan merasakan sejuknya udara pagi yang membuatnya rileks. Di ambilnya air mineral di atas meja lalu menegaknya hingga tandas, kembali di tatapnya langit pagi yang mulai berubah warna.

"Hah...kenapa semua ini harus terjadi pada ku?"

Keluhan lelah lolos dari bibir tipisnya. Mata itu menerawang kembali kejadian beberapa waktu lalu, melihat sosok itu berdarah-darah di hadapannya dengan wajah sayu yang terlihat menyedihkan.

Di sudut terpencil hatinya, ada rasa sakit merayap menusuk dengan dalam menimbulkan rasa sesak. Dengan segera ia menepis itu semua dan kembali menumbuhkan kebencian yang begitu besar.

"Dasar manusia hina!" Sudah pasti hinaan itu untuk Jae, siapa lagi orang yang sangat di benci Ryu selain istrinya itu.

Ryu menyudahi waktu bersantai nya lalu membersihkan diri. Tak ada kegiatan penting pagi ini jadi ia akan menghabiskan harinya untuk bersantai dan tidur.

...

Di dapur Jae sudah menyelesaikan kegiatan memasak nya. Namun ia mondar-mandir tidak tenang, raut wajahnya tampak kebingungan.

"Haruskah aku memanggil nya?" tanya Jae entah pada siapa.

Kemudian Jae kembali menggeleng. "Tidak, tidak! Dia pasti menolak ku,"

"Tapi, jika tak di panggil apa dia akan sarapan?"

Jae mengacak rambut nya frustasi, bingung haruskah ia memanggil suaminya itu atau tidak.
"Aish, baiklah. Tenang Jae, tenang," ujarnya menarik nafas dalam.

"Aku harus mencoba nya." Lalu Jae pergi ke kamar Ryu untuk menyuruhnya sarapan.

Sampai di depan kamar Ryu, Jae menatap pintu besar di depannya ragu. Tapi Jae kembali meyakinkan diri.

"Baiklah, harus bisa."

Tok
Tok
Tok

"Ryu, ini aku. Turunlah dan sarapan diri bawah!" Jae sedikit berteriak agar suaranya terdengar sampai ke dalam.

Tak ada jawaban apapun dari dalam, Jae beranggapan jika suaminya itu masih tertidur. Mencoba membuka pintu dan ternyata tidak di kunci oleh si pemilik kamar. Pintu terbuka dan Jae perlahan menyembulkan kepalanya di sela-sela pintu.

Matanya mengedar mencari Ryu, namun tak di temukan kehadirannya. Jae memberanikan diri untuk masuk kedalam, setelah sekian lama tak pernah masuk kedalam kamar yang dulu Jae dan Ryu tempati. Rasa rindu menyeruak masuk, memutar memori kenangan yang masih terasa di sana.

Jae berjalan perlahan, memutari seisi kamar. Menatap satu persatu foto Ryu yang terpajang apik di dinding abu tersebut. Jae terus berjalan sampai di balkon, tempat yang memiliki banyak kenangan manis kebersamaan nya dengan Ryu-dulu.

Bertumpu pada pagar balkon, menghirup udara segar yang sangat menenangkan. Kepalanya menengadah menatap langit biru di atas tanpa awan, bibir nya tersenyum samar dengan memori yang masih terus berputar dalam ingatan bagaikan kaset rusak.

Mata Jae tertuju pada sudut balkon, tempat di mana dulu ia dan Ryu duduk bersama sembari menatap bintang. Tubuh keduanya di balut selimut tebal untuk menghangatkan diri, tingkah Ryu yang polos membuat Jae gemas sendiri. Ryu menanyakan banyak hal yang membuat Jae pusing harus menjawabnya.

"Jae, kenapa saat siang tidak ada bintang?" tanya Ryu sembari menatap keatas.

Jae menatap Ryu yang tidak menatap nya. "Siapa bilang siang tidak ada bintang?" Mendengar penuturan Jae, Ryu menoleh. Membalas tatapan Jae. "Tidak, aku tidak melihatnya," balas Ryu polos.

"Apa mereka bersembunyi?" sambung Ryu bertanya.

Jae terkekeh, "Tidak, Ryu sayang," desah Jae gemas dengan tingkah suaminya. Ryu tersipu karena panggilan dari istrinya.

"Bintang tidak bersembunyi, dia tetap di tempatnya-"

"Lalu kenapa aku tidak melihatnya?" tanya Ryu memotong ucapan Jae.

"Nah, makanya Ryu dengarkan penjelasan Jae dulu, oke?" Ryu mengangguk paham. "Oke."

"Bintang tidak pernah beranjak dari tempatnya, dia tetap di sana saat malam maupun siang, tentang kenapa saat siang bintang tidak terlihat itu karena cahaya matahari yang mengalahkan cahaya bintang.

Sedangkan saat malam, langit menjadi gelap dan bintang akan terlihat jelas, bagaimana Ryu mengerti?" Ryu mengangguk polos.

Jae tertawa gemas, "Jadi Ryu sudah paham?"

"Sudah, aku sudah paham," jawab Ryu yakin.

Mata Jae memandang Ryu penuh selidik jenaka. "Benarkah?" Ryu mengangguk cepat sebagai jawaban. "Hem, kalau begitu coba sekarang Ryu jelaskan apa yang Jae katakan tadi," suruh Jae.

Ryu gelagapan mendengar permintaan Jae, matanya menoleh kesana kemari untuk menghindari kontak mata dengan manusia di sebelahnya. Jae gemas, dengan cepat Jae menangkup kepala Ryu dan mencubit pipi tirus itu.

"Baiklah, tak usah. Jae yakin Ryu pasti sudah paham." Jae beralih memeluk Ryu penuh sayang.

"Jae yang terbaik." Ryu menyamankan posisi nya di pelukan Jae mencari kehangatan di sana.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara berat menginterupsi di belakang Jae.




















Tbc

REVENGE FOR THE FUTURE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang