BAB IX - TRUE

42 20 6
                                    

Tiga siswi yang masih duduk di bangku kelas X tengah sibuk bergelut dengan laptop. Sesekali mereka mengecek buku paket Bahasa Indonesia lalu kembali mengetik  ke laptop.

"Kelly, kok kemarin ngak datang ke rumah sih! kan bawaannya kayak sekedar Mei jenguk gue!" omel Sherly.

Kelly menatap Sherly. Digaruknya alis yang tidak gatal.

"Gimana cara ngomongnya ya?" 

"Dari mana hayo!" goda Mei yang menghentikan kegiatan mengetiknya.

"I just met someone people!" 

Mei dan Sherly sontak menatap Kelly tak percaya.

"Ngapain?" tanya Sherly

"Secret!" jawab Kelly misterius.

"Terserah lo kalau gitu!" Mei tak ambil pusing, ia melanjutkan  kegiatannya.

"Eh tapi abis ini kita bakalan ke lapangan kan?" tanya Kelly memastikan.

Sherly menyergitkan dahinya berusaha mencerna perkataan Kelly barusan.

"Huft, kalian gak ingat apa! hari ini pencabutan nomor urut untuk calon Ketua dan wakil ketua OSIS!" jelas Kelly.

Mei menutup laptop, lalu berdiri guna merapikan barang-barangnya.

"Kalau sekarang gimana?"

"Se excited gitu ya?" tanya Sherly keheranan.

"Kita kan tim sukesnya kak Iqbal, masa datangnya belakangan!" 

Kelly terdiam nemikirkan sesuatu.

"Ih, tunggu apa lagi sih!" Mei menarik lengan Kelly dan Sherly.

🍂🍎🍂

Arhan muncul dari balik pintu, lalu bergegas menemui Eva yang ada di samping Lula.

"Gimana? udah siap buat pencabutan nomor urut?" tanya Arhan to the point pada Eva.

Eva menggaruk alisnya yang tidak gatal, berusaha memikirkan cara terbaik  menjelaskan pada Arhan kalau ia punya rencana menjadi wakil Iqbal kedepannya.

"Ehm, gini...." Eva berusaha merangkai kata.

Iqbal yang sadar akan situasi hanya sekedar membuang pandang ke sembarang arah.

"Gue rencananya....."

"Sayangnya tidak bisa! tetap pertahankan calon ketua, karena hanya wakil yang bisa direvisi sampai waktu pencabutan nomor urut tiba!" jelas Kak Ahmad yang juga belum masuk di dalam ruang Lab.

Arhan menyergitkan dahi, berusaha mencerna pernyataan kak Ahmad barusan.

"Jadi ceritanya lo mau pindah posisi?" selidik Arhan.

Eva mengangguk pelan sembari menggigit bibir bawahnya.

"Tenang Arhan! wong ngak jadi kok!" Ucap Lula yang sedari tadi terdiam.

"Terus gimana dong kak?" Iqbal panik karena tak tahu harus memilih siapa.

Eva ikut panik, dikerahkannya seluruh tenaga untuk berpikir.

Arhan menarik tas ransel yang melekat di punggung Eva. Secara tidak langsung ia menarik Eva guna  berdiskusi di sudut ruangan tanpa menyentuhnya.

"Eva ngak usah dipikirin! harusnya kita tetap bersikap profesional!" bisik Arhan.

"Tapi dominan suara itu mengarah ke Iqbal, kalau wakilnya ngak bener, gimana nasib organisasi ini kedepannya?" 

"Tuh, kan! belum juga pemilihan lo udah pesimis duluan!" Arhan berusaha menasehati.

Eva menghela nafas pelan. Lalu tersenyum menatap Arhan.

"Thanks Arhan!" 

"Eh kalian berdua!" teriak kak Ahmad.

Eva dan Arhan berbalik bersamaan.

"Cepetan kesini!" 

Lula menyikut Eva yang sudah berada di sampingnya.

"Jangan cepet baper ya!" bisik Lula.

"Apaan sih!"

Selang 5 menit,  Amel muncul entah darimana.

"Kak Ahmad cari saya?" tanya Amel sambil memperlihatkan pesan WhatsApp dari handphonenya.

"Iya!" 

"Gini, Amel, Iqbal sekarang lagi cari wakil. Dan dari berbagai orang yang sudah ditemui itu kurang cocok sama kriteria yang Iqbal cari. Dan finally kami pikir kamu cocok untuk ini!" jelas kak Ahmad.

"Aku?" tanya Amel tak percaya.

"Iya!" jawab Iqbal.

"Sorry, but i can't!'" 

"Amel kalau bukan kamu siapa lagi?" Sergah Iqbal dengan nada memaksa.

"Sorry, but i can't! gue ngak bisa jadi orang sibuk harus ngurus sana-sini. Kalian tau kan gue orangnya gimana?" Amel masih mengelak.

"Kalau gitu pertanyaan gue cuma satu, gue cuma pengen tau  kok bisa lo nolak tawaran ini?" tanya Iqbal, wajahnya sudah tidak bisa didekskripsikan.

Amel menatap Eva dan Lula secara bergantian. Seketika ia berdecih kesal.

"Karena lo egois! simpel kan?" 

Semua menatap Iqbal sebagai objek pembicaraan.

"Di pemilihan ini gue bakalan berubah!"

Amel menatap jam dinding di Lab.

"Udah waktunya ke kantin, takut mag gue kambuh. So gue duluan!" Amel beranjak pergi.

Iqbal mengikuti langkah Amel. Risih diperlakukan demikian, Amel akhirnya menghentikan langkahnya. Lalu berbalik menatap Iqbal.

"Stop paksa gue!"

"Tapi Mel!"

Teman-teman yang lainnya hanya terdiam menatap keduanya.

"Gue ngak suka pribadi egois kayak lo!"

"Lagian kita belum tentu juga naik sebagai pemenang kok!" 

Tatapan Amel seketika berubah, ia menatap Iqbal berusaha membaca arah pikiran Iqbal.

"Kalau gitu kita deal!" ucap Amel sembari mencari sesuatu di dalam tasnya.

"Serius?"

"Yap!"

"Oke kalau gitu, peran saya sudah selesai! sekarang saya kembalikan pada diri kalian masing-masing. Selamat bertarung, selamat berjuang dengan cara yang sehat, sekali lagi saya tekankan, saya tidak mendukung siapapun. Tapi saya mendukung semuanya untuk selalu tumbuh dan berkembang!" 

"Kalau gitu gue sama kak Ahmad cabut duluan gih!" pamit mantan ketua OSIS.

"Udah selesai debatnya? udah ngak ada yang diubah kan? soalnya saya capek kak harus ngulang terus biodata ini!" keluh anggota KPO yang sedari berdiri di depan printer.

"Ok thanks yah!" ucap Iqbal.

🍂🍎🍂

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

VALUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang