[6] Max

14 6 0
                                    

"Monster?" Roy mengernyitkan dahinya. "Beneran? Kok kita gak tau?"

Bibi menggeleng pasrah, menandakan bahwa dia tak tau jawaban dari pertanyaan Roy barusan.

"Kalau ada kejadian kaya gitu lagi, kamu harusnya kasih tau kita," Ichan memberi jeda. "Mana mungkin kamu ngadepin sendirian."

"Kalian udah ngadepin monster itu sejak pertama kali dia muncul, sedangkan aku baru ngadepin monster itu sekali," Bibi memberi jeda. "Selama ini... dia tau nama kalian, gak?"

"Nama?" Ichan mengernyitkan dahinya. "Nama apa?"

"Ya, misalnya dia nyebut nama kalian dan bertingkah seakan dia kenal kalian," kata Bibi, menaikkan kedua bahunya.

"Aneh. Monster itu aja gak bisa ngomong, kayanya," celetuk Roy.

"Bisa. Dia bahkan nyebut namaku. Dia juga memperkenalkan nama Satyadi," ujar Bibi.

"Hah? Dia bisa ngomong?" tanya Ichan, tak percaya. "Pas depan kita cuma ngang ngong doang."

"Ngang ngong, tapi ngancurin isi kota."

Bibi hanya bisa menyengir kuda. Jika monster itu tidak berbicara selama ini dan tidak mengenal teman-teman pahlawan super lainnya, kenapa Bibi berbeda? Kenapa monster itu mau berbicara dengannya, mengetahui namanya, bahkan menegaskan kalau dia itu bukanlah musuh Bibi? Oh ya, jangan lupakan fakta bahwa monster itu sempat menyebut nama Satyadi.

"Apa rencana kita ke depannya?" tanya Ichan. "Kita gak bisa gini terus. Anamiba bakalan jadi apa kalau serangan terus dateng dari negeri Arawsok?"

"Sayangnya, kita belum tau apapun soal monster dari negeri Arawsok itu, jadi berisiko banget kalau kita nyerang balik," ujar Nino, pahlawan super yang memiliki kekuatan di mata. Matanya bisa melihat dimana saja letak kelemahan musuh. "Jadi, pertama, kita harus tau banyak soal negeri Arawsok dulu, kan?"

"Apa alasannya?" tanya Bibi, serius. "Kita bahkan belum tau apa alasan yang jelas mereka nyerang kita."

Drrt. Drrt.

Bibi merogoh saku celananya. Setelah membaca nama yang tertera di layar ponselnya, Bibi segera menggeser layarnya ke kanan, ke arah tombol hijau.

"Halo."

"Bi, kamu dimana?"

Bibi nengernyitkan dahinya. Suara Agnes terdengar panik dan terengah-engah dari seberang sana, dan Bibi tau, Agnes berusaha keras menahan suaranya agar tidak mencurigakan, entah kenapa.

"Ada apa?" tanya Bibi. "Suaramu aneh banget. Kenapa?"

"Gapapa, aku cuma pengen ketemu kamu," jawab Agnes. Suaranya bergetar. "Ke rumahku sekarang, ya? Ada ramuan baru."

Tidak masuk akal. Agnes tak pernah membuat ramuan sebelum melakukan pengecekan terhadap tubuh Bibi. Agnes juga jarang kali meminta Bibi yang datang ke rumahnya, biasanya semuanya hanya tergantung kehendak Bibi saja dan Agnes tak masalah dengan hal itu.

"Yaudah, aku sama Ichan ke sana sekarang. Soalnya, kita belum selesai ngomongin Arawー"

"Jangan. Pokoknya kamu aja. Jangan bawa temen," potong Agnes. "Aku tunggu secepatnya."

Bibi mengerti sekarang. Sepertinya, Agnes sedang berada di bawah tekanan. Jika Bibi benar, oknum itu berasal dari Arawsok lagi. Kali ini, entah apa tujuan Arawsok, bahkan sampai berani melibatkan Agnes. Namun, jika Bibi boleh berasumsi, sepertinya Agnes sengaja digunakan untuk memancing Bibi. Lagi-lagi, petunjuk mengatakan bahwa Arawsok memang ingin terhubung dengan Bibi. Ada yang Arawsok inginkan dari Bibi.

Namun, kenapa Bibi?

"Akhirnya dateng juga," ucap seorang pria yang tengah memegang rantai terhubung dengan kalung besi di leher Agnes. Pria itu memiliki wajah yang dilapisi batu, sama persis seperti bentuk dari monster raksasa yang selalu mengganggu Anamiba beberapa bulan terakhir ini. Hanya saja, pria ini cuma memiliki kepala yang terbuat dari batu, sedangkan tubuhnya seperti manusia normal.

Bibi berjalan mendekat dengan hati-hati, menatap Agnes yang kesulitan untuk bergerak dan mata yang berkaca-kaca. Pria tersebut menarik rantai tersebut dengan perlahan, membuat leher Agnes tertarik mendekat ke arahnya.

"Hati-hati milih lawan," ujar Bibi, menatap penuh amarah. "Aku gak akan ngasih ampun kalau sempet terjadi apa-apa sama perempuan itu gara-gara kamu."

"Perempuan ini?" tanya pria tersebut, menghentakkan rantai tersebut, membuat Agnes semakin merasa tercekat. "Aku gak akan lama. Aku ke sini cuma mau mastiin satu hal."

Bibi menatap tajam, menunggu kelanjutan ucapan pria tersebut.

"Kamu anaknya Muhis, kan?" tanya pria tersebut. "Bapakmu mati karena diracun. Masih ingat?"

"Apa hubungannya?"

"Satyadi ngasih kamu penawaran," ujar pria tersebut. "Kamu pindah ke Arawsok. Habis itu, Anamiba bakalan bebas dari serangan."

"Pindah ke Arawsok?" Bibi terkekeh sinis. "Ngeremehin aku? Aku pahlawan super Anamiba, bukan Arawsok."

"Kamu tau apa yang bakalan terjadi kalau kamu berani nolak Satyadi?" tanya pria tersebut. "Kamu gak tau sebahaya apa Satyadi, ya?"

"Gak," balas Bibi. Sepersekian detik, tangan kanannya dilapisi logam biru yang keras, tanda bahwa dia sudah siap untuk bertarung dan kesabarannya mulai menipis. "Pergi sekarang."

Pria tersebut tersenyum miring. Tak lama berselang, pria itu mendorong Agnes, lalu menarik rantainya dengan kencang, membuat Agnes mulai kesulitan bernapas dan sekeliling lehernya mungkin sudah lecet.

KLIK!

Bibi melebarkan matanya ketika dia merasa waktu berhenti. Pria tersebut diam di posisinya, tak berkedip sedikitpun bagaikan sebuah manekin, begitu pula dengan Agnes.

"Roy," gumam Bibi, tersenyum ke arah Roy yang ternyata sudah mengamati mereka sejak tadi dari kejauhan. Roy adalah pahlawan super yang memiliki kekuatan menghentikan waktu. Tak hanya Roy, ada Ichan si pahlawan super kekuatan telekinesis juga di belakangnya. Sepertinya, mereka sengaja mengikuti Bibi karena merasa ada yang tak beres.

"Giliranmu, Chan," kata Roy, dibalas anggukan oleh Ichan. Sepersekian detik, lelaki itupun melepaskan rantai itu dari leher Agnes, kemudian justru memasangkan rantai itu di leher pria berkepala batu tersebut. Setelah itu, Roy pun mengedipkan matanya, seketika waktu berjalan normal kembali.

Pria berkepala batu tersebut memberontak, berusaha melepaskan rantai itu dari lehernya. Ichan yang memegang kendali rantai itu, justru menyeringai lebar, menyukai pemandangan ini. Sedangkan Roy membantu Agnes untuk berjalan menjauh dari pria berkepala batu tersebut.

Bibi berjalan mendekat. Secepat kilat, tangannya yang masih dilapisi logam itu meraih leher pria tersebut, berusaha keras untuk menahan amarahnya agar tidak mencekik pria yang ada di hadapannya.

"Siapa kamu?"

"Lepasin aku."

"Aku tanya, siapa kamu," kata Bibi. "Jawab."

"Max," jawab pria itu. "Aku cuma orang suruhan. Lepasin aku."

"Suruhan siapa?"

"Satyadi."

"Satyadi lagi, ya..." Bibi mencekik Max, meskipun belum mengerahkan seluruh tenaganya. "Dia mau aku pindah ke Arawsok dan mengkhianati Anamiba?"

Max mengangguk.

"Denger baik-baik. Aku mau kamu sampaikan ini ke dia," Bibi mendekat, menatap kedua mata Max dengan lekat. Di kedua mata itu, Max bisa melihat amarah dan hinaan yang bercampur menjadi satu. Bibi menyeringai lebar, tampak sangat menyeramkan bagi Max. "Aku akan bunuh dia kalau dia masih berani ganggu Anamiba."

Sleeby Eyes [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang