"Kayanya, aku masih perlu banyak latihan. Auh!"
Agnes hanya menghela napasnya. Bibi meringis kesakitan ketika Agnes menekan bagian perut Bibi yang mulai membiru dengan es batu untuk meredakan sakitnya.
"Kamu yang terlalu sembrono. Kalau dipikir-pikir, nyerang dari deket itu emang berisiko banget," ujar Agnes. "Udah gitu, kamu juga gak coba manggil temen-temen pahlawan super yang lain. Untung aja kamu gak sampe patah tulang."
"Tapi, Nes," Bibi mengubah posisinya menjadi duduk. "Monster itu kenal aku. Dia juga sempet bilang, aku bukan musuhnya."
"Apa?" Agnes mengernyitkan dahinya. "Ngaco."
"Beneran. Orang dia nyebut namaku, loh."
"Dia tau kamu? Tau darimana?"
"Gak tau," ujar Bibi. "Satyadi. Dia minta aku inget-inget nama Satyadi."
"Mungkin, dia cuma mau ngalihin perhatian kamu doang. Buktinya, kamu teralihkan dan dia berhasil mukul kamu," kata Agnes. Agnes pun bangun dari posisinya, lalu berjalan menuju dapur yang tak jauh dari ruang tengah. "Jangan sembrono. Tetep hati-hati."
"Kenapa aku gak dapet kekuatan telekinesis aja?" tanya Bibi, berjalan mendekat ke arah Agnes, memperhatikan gerak-gerik Agnes yang baru saja membuka pintu kulkas. "Rasanya, kekuatanku lemah banget. Payah."
"Apa?" Agnes menyipitkan matanya, tak terima. "Kekuatanmu itu kekuatan yang kuat. Kamu bahkan dapet dua kekuatan spesial. Bersyukur dikit, kek."
"Ya, lagian, kamu sendiri yang bilang, nyerang dari deket itu bahaya dan sembrono, sedangkan aku cuma punya kekuatan fisik super. Gimana caranya aku mukul dia kalau gak mendekat?"
"Ada banyak cara. Kamu bisa angkat sesuatu yang berat, terus lempar ke arah dia. Gampang, kan?"
"Terus, apa gunanya kepalan tangan logam kalau aku gak bisa mukul langsung di mukanya," cibir Bibi. "Kamu nih yang salah."
Agnes terdiam sejenak. "Iya. Aku masih banyak kurangnya."
Bibi terdiam ketika melihat perubahan ekspresi Agnes dan mulai merasa bersalah.
"Kurang apa?"
"Banyak. Salah satunya, masih belum berhasil nemuin ramuan yang tepat untuk rasa kantuk kamu," jawab Agnes. "Hari ini, kamu ketiduran dimana lagi?"
"Di dalam bus dan harus diangkat turun sama warga setempat."
"Andai aku bisa nganggep itu lucu."
Bibi terdiam. Setelah meneguk air mineral dingin dari kulkas itu, Agnes pun berjalan ke arah ruang tengah, duduk di atas karpet yang menempel dengan sofa di hadapan televisi. Agnes memeluk lututnya, menatap lurus ke arah layar televisi yang menyiarkan berita harian.
Bibi ikut duduk di sebelah Agnes dengan punggung yang menyandar ke sofa. Bibi duduk di sebelah Agnes tanpa jarak. Bahu mereka seakan bertaut, saking dekatnya. "Aku cuma bercanda."
Agnes mengangguk.
"Kenapa kamu gak pernah ceritain tentang kamu?" tanya Bibi, tiba-tiba. "Aku gak pernah denger apapun soal kamu."
"Aku?" Agnes menunjuk dirinya sendiri. "Gak ada yang menarik soal aku."
"Cerita juga belum."
"Aku… apa, yah. Aku cuma anak yang dari kecil ada di panti asuhan," kata Agnes. "Aku orang yang biasa aja. Cuma beruntung punya otak pinter, jadi dapet beasiswa dan bisa sekolah yang tinggi, terus kerja di lab."
"Menarik," Bibi mengangguk mengerti. "Kamu udah kenal Kaisar Naotama sejak lama, dong."
"Iya, sejak aku remaja," kekeh Agnes. "Makanya waktu beliau udah gak ada, rasanya jadi beda banget."
"Aku juga ngerasain hal yang sama," gumam Bibi. "Gimana cara aktifin kekuatan penyembuhan?"
Agnes menoleh sekilas. Sepersekian detik, Agnes pun meraih pisau buah yang ada di atas meja ruang tengah, lalu menggores tangannya sendiri dengan pisau tersebut sehingga tangannya mengeluarkan darah segar. Agnes meringis. "Coba sembuhin."
"Ah, aku paling gak bisa liat darah," ujar Bibi, memejamkan matanya. "Kenapa kamu harus tiba-tiba gitu, sih?"
"Lah? Katanya mau coba aktifin kekuatan penyembuhan," Agnes memutar kedua bola matanya sebal. "Ayo, cepetan."
Bibi menghela napasnya. Setelah berperang kecil dengan dirinya sendiri, Bibi pun meraih tangan Agnes. Bibi menaruh telapak tangannya di atas pergelangan tangan Agnes. Tak lama kemudian, cahaya biru pun tampak, perlahan menutup luka Agnes dengan sempurna, seakan tak pernah ada goresan di sana.
"Aku tau, kamu bisa," ujar Agnes, tersenyum ringan.
"Aku juga tau, kamu bisa," balas Bibi, membuat Agnes menoleh. "Kamu pasti bisa segera nemuin ramuan yang tepat."
Agnes tersenyum lebih lebar, mengangguk.
Hening sejenak.
"Aku sedih patung Anezla hancur," kata Agnes. "Padahal, itu patung khas milik Anamiba yang paling terkenal. Tiap turis dateng, mereka selalu foto di depan patung Anezla. Sayangnya, patung itu udah hancur."
Patung Anezla itu berbentuk seorang perempuan yang memegang bunga. Sebuah patung ikonik milik Anamiba, simbol dari kesetiaan.
"Yah, itu cuma patung," kata Bibi. "Gak ada artinya juga, kan?"
"Enak aja. Anamiba dan Anezla itu gak terpisahkan," ujar Agnes. "Itu hadiah dari negeri Arawsok, pada tahun 40-an. Tapi, nyatanya, sekarang, mereka jadi alasan kehancuran patung yang mereka hadiahin sendiri."
"Kamu gak tau? Itu isyarat perang," kata Bibi. "Makanya, mereka hancurin hadiah dari mereka sendiri."
"Ah… aku baru paham."
Hening lagi.
"Gimana sih rasanya tiba-tiba tidur gitu?" tanya Agnes, penasaran. "Apalagi, di tempat umum."
"Tiba-tiba mata terasa berat, terus gak inget apa-apa. Bangun-bangun udah di rumah sendiri," balas Bibi. "Bener-bener teler."
"Sebenernya, aku gak pernah nyangka efek samping dari DNA super power bisa separah itu," kata Agnes, menghela napasnya.
"Mungkin karena pada dasarnya aku juga ngantukan parah," ujar Bibi. "Jadi, jangan nyalahin diri kamu."
Agnes tersenyum ringan.
"Aku dari dulu selalu kena marah karena ngantuk pas belajar, waktu ibuku jelasin materi pembelajaran, atau materi PR di rumah."
"Masa?"
Bibi mengangguk. "Aku selalu kena omel kalau aku ngantuk."
Agnes terkekeh. "Ya, semua orang juga bakalan ngomel kalau ada orang yang ngantuk di waktu gak tepat."
"Kejam," komentar Bibi, pelan. "Aku kan cuma ngantuk. Masa gak boleh?"
Pluk.
Agnes tertegun. Kepala Bibi bersandar di bahu Agnes dan suara napas Bibi terdengar jelas, terdengar rileks. Agnes bisa merasakan aroma shampoo dari rambut Bibi. Lelaki itu memejamkan matanya. Tak seperti biasanya yang tiba-tiba jatuh tertidur dengan kasar dan suara napas yang sesak, kali ini Bibi tidur dengan amat tenang.
"Bi," panggil Agnes.
"Hm."
"Kamu masih bisa denger aku?"
"Heem."
Biasanya, Bibi tak bisa mendengar apapun dan tak menyahut ketika dipanggil. Tiba-tiba, Bibi si ahli bela diri tampak menjadi Bibi si anak kecil yang mengantuk.
"Kalau gitu… gak mau tidur di sofa aja?" tanya Agnes, menelan salivanya, menelan segala kegugupan yang dia miliki saat ini.
"Lebih nyaman di deket kamu," jawab Bibi sangat pelan dan berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeby Eyes [Miniseri]
FantasíaNegeri Anamiba melindungi dan menjamin keamanan rakyat mereka dengan cara menciptakan pahlawan berkekuatan super. Namun, di balik serangan yang menyerang Anamiba, tersimpan rahasia di dalamnya. p.s • Sleeby Eyes ditulis pada 2023 • Cerita sudah tama...