[7] Unconditional

13 5 0
                                    

"Kamu terlalu baik, Bi. Harusnya kita bunuh dia di sini, bukannya biarin dia pergi," ujar Roy, memutar kedua bola matanya kesal. "Gimana kalau dia dateng lagi dan gangguin Agnes lagi?"

Bibi menoleh ke arah Agnes yang duduk di atas sofa sambil memegangi lehernya. Di leher Agnes, ada bekas rantai yang tampak lecet, bahkan luka sedikit.

"Ah, ya, kayanya kita pulang dulu," kekeh Ichan, sudah paham tanpa diberitahu terlebih dahulu. "Ayo pulang, Roy."

Bibi berjalan mendekat, lalu duduk di sebelah Agnes. Jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Cahaya matahari jingga menembus kaca jendela yang gordennya terbuka. Cahaya matahari jingga itu memandikan wajah cantik Agnes, membuat mata Agnes tampak berwarna semakin terang dari biasanya.

Bibi menyentuh leher Agnes. Sepersekian detik, cahaya biru pun keluar dari telapak tangan Bibi, menandakan bahwa lelaki itu sedang menggunakan kekuatan supernya untuk menyembuhkan rasa sakit yang Agnes rasakan di lehernya.

"Ternyata, aku ciptain DNA super power untuk nyembuhin diriku sendiri, ya," kekeh Agnes, membuat Bibi ikut tersenyum ringan. "Hem, yah, rasanya udah jauh lebih baik. Udah gak sakit lagi."

Luka itu perlahan tertutup. Bekas lecet pun kembali mulus. Cahaya biru itu pun hilang, tanda bahwa Bibi sudah berhenti menggunakan kekuatan supernya, meskipun tangannya masih menempel di leher Agnes. Perlahan, Bibi pun menarik leher Agnes, mendekatkan wajah Agnes dengan wajahnya. Bibi mencium Agnes dengan pelan dan sangat hati-hati. Namun, sepersekian detik, Bibi melepaskan pegangannya dari leher Agnes, lalu mengubah posisinya menjadi duduk normal.

"Sori, sori banget. Kayanya, aku terbawa suasana," ujar Bibi, merutuki dirinya sendiri.

Agnes hanya diam, tak membalas apapun. Mereka duduk dengan keheningan yang mulai bersarang, serta rasa canggung yang menjadi pemanisnya.

"Jadi…" Bibi membuka suara kembali. "Kita harus pacaran, kurasa?"

Agnes tertawa, menoleh ke arah Bibi yang tampak menatap khawatir. "Ya, kenapa enggak?"

Bibi ikut tertawa.

"Emangnya kamu beneran suka sama aku?" tanya Agnes.

"Ya," jawab Bibi, memberi jeda. "Banget."

"Kaya gak serius," cibir Agnes.

Bibi mengubah posisinya. Tubuhnya mendorong Agnes untuk setengah berbaring dan bersandar di tangan sofa, lalu lelaki itu menyentuh wajah Agnes dengan tangannya. Tangan yang tidak lagi dilapisi logam yang keras karena tiap bersama Agnes, rasanya selalu tenang dan dia tak perlu menggunakan kekuatan super apapun untuk melindungi diri. Dia selalu merasa aman.

"Kamu tau…" Agnes memberi jeda. "Beberapa hari ini aku mengamati perubahan tubuh kamu dan aku nemuin satu hal baru."

"Apa?" tanya Bibi.

"Rasa kantuk kamu mulai normal. Kamu udah gak pernah tiba-tiba ketiduran sembarangan lagi kan sekarang?"

Bibi terdiam. Benar juga. Selama beberapa hari ini, dia tak pernah ketiduran lagi di tempat umum. Dia memang lebih sibuk akhir-akhir ini karena harus latihan untuk tanding dan latihan fisik untuk super powernya sehingga dia tak menyadari kalau rasa kantuknya mulai kembali normal.

"Kenapa bisa?" tanya Bibi, menatap penasaran. "Ramuan terakhir kamu berhasil nyembuhin aku, ya?"

Agnes menggeleng. "Ada satu hormon yang mengalahkan sisi buruk dari DNA super power di badan kamu. Hormon oksitosin. Hormon cinta."

Bibi melebarkan kedua matanya. Agnes yang tersenyum di bawahnya tampak begitu manis, membuatnya jantungnya berdegup kencang. Kali ini, dia menyimpulkan satu hal.

Bukan hanya dia yang bisa menyembuhkan Agnes dengan kekuatan supernya.

Agnes pun mengobati Bibi. Bukan dengan kekuatan super seperti yang Bibi miliki, tapi dengan apa adanya perempuan tersebut.

Sleeby Eyes [Miniseri]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang