Pukul satu pagi. Bibi mendongak dengan tatapan tak percaya. Di posisinya saat ini, dia bisa melihat Anamiba bagaikan sebuah lautan api yang dipenuhi warna si jago merah yang membara. Gedung-gedung tinggi mulai runtuh, mobil-mobil berserakan, terbalik, dan terbakar. Entah apa yang sudah terjadi dengam Anamiba selama beberapa menit terakhir, tapi rasanya, serangan Arawsok kali ini lebih berbahaya dari serangan-serangan sebelumnya.
Serangan kali ini lebih tampak seperti serang yang memang berniat untuk membinasakan, bukan untuk sekedar menggertak.
Tak sedikit penghuni dari suatu rumah berdiri di luar sambil memeluk anak-anak mereka karena rumah mereka sudah terbakar. Orang-orang yang berjudi dan makan di pinggir jalan, bahkan anak-anak muda yang keluar dari distotik, baru saja ingin menikmati malam yang panjang dengan wanita beraroma anggur merah. Semuanya tampak panik, mulai curiga bahwa hari ini adalah hari terakhir mereka hidup di dunia ini.
"Ada berapa monster yang datang kali ini?" tanya Bibi, frustasi.
"Lebih dari satu," jawab Nino. "Tapi, melalui mataku, aku bisa liat… cuma ada satu monster yang punya wujud asli."
"Maksudnya?"
"Monster lainnya itu cuma bayangan dan dugaanku, tujuan keberadaannya cuma sebagai distraksi. Monster yang punya kekuatan penuh dan bisa nyerang kita semua adalah si monster raksasa," ujar Nino, pahlawan super yang memiliki kekuatan mata. Nino juga adalah pahlawan paling jenius di antara mereka semua.
"Satyadi," Bibi memberi jeda. "Monster raksasa itu namanya Satyadi. Entah apa yang dia mau, tapi dia selalu pengen terhubung sama aku. Jadi, tolong, biarkan aku yang bunuh dia. Tolong urusin sisanya."
"Kamu gila, ya? Kamu mau bunuh dia sendirian?" tanya Ade, tak habis pikir. "Bi, keputusanmu itu terlalu sembrono dan bodoh. Yang ada, kamu bisa mati di tangan Satyadi, bukan Satyadi yang mati di tanganmu."
"Kalian gak ngerti," geram Bibi. "Satyadi mau aku ikut sama dia. Kalau itu bisa nyelamatin Anamiba, ya aku bakalー"
"Bakal apa?"
Semua lelaki yang menyandang gelar sebagai pahlawan super itupun menoleh ke arah sumber suara. Agnes berjalan ke arah Bibi dengan wajah yang penuh amarah. Kedua matanya berkaca-kaca.
Plak!
Pukulan itu mendarat mulus di pipi kiri Bibi. Agnes menatap Bibi penuh kekesalan. Wajahnya merah padam menahan amarah. Bibi tak tau harus merespon apa. Pukulan wanita, pukulan yang paling menyakitkan bagi pria, karena tak hanya wajah saja yang terasa sakit, tapi setelah itu juga disusul dengan hati yang mendadak ikut terasa perih.
"Kamu masih sama aja, ya?" Agnes menekan suaranya, begitu dingin. "Masih sembrono kaya biasanya. Gak pernah hati-hati. Terlalu cepet bikin keputusan."
"Liat sekeliling, Nes. Anamiba udah jadi lautan api dan kalau emang yang Max bilang waktu itu bener, ada cara lebih gampang untuk bikin serangan ini berhenti sebelum Anamiba beneran hancur," ujar Bibi. "Gimana kalau kita coba lawan dan hasilnya tetep gagal? Kita semua mati dan Anamiba hancur?"
"Terus, menurut kamu, kamu yang mengkhianati Anamiba itu solusinya?" tanya Agnes.
"Ya. Opsi terakhir."
"Bahkan aku gak sudi untuk jadiin pengkhianatan sebagai opsi terakhir," ucap Agnes, berbalik badan. "Terserah kamu."
Agnes berjalan menjauh, meninggalkan Bibi yang hanya bisa menghela napasnya frustasi. Belum lagi, wajah teman-temannya yang tampak penuh kekecewaan sekaligus marah kepada Bibi, tak menyangka bahwa Bibi serius untuk mempertimbangkan ide terburuk itu sebagai solusi terakhir.
BUM!
Mobil yang masih dikendarai oleh pasangan itupun terlempar ke sebuah pohon. Dari balik kaca depan mobil, Bibi bisa melihat darah segar mulai mengalir dari wajah pasangan itu. Namun, untungnya, mereka masih bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleeby Eyes [Miniseri]
FantasyNegeri Anamiba melindungi dan menjamin keamanan rakyat mereka dengan cara menciptakan pahlawan berkekuatan super. Namun, di balik serangan yang menyerang Anamiba, tersimpan rahasia di dalamnya. p.s • Sleeby Eyes ditulis pada 2023 • Cerita sudah tama...