1

73 79 1
                                    

👑 🐯 👑

👑 🐯 👑

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🎃🎃🎃

Aku mulai berpikir bahwa mungkin aku dikubur dalam keadaan belum benar-benar mati dan sekarang terperangkap dalam peti, ketika lenganku membentur kayu keras disampingku. Aku yakin dari baunya yang kini lamat-lamat mendominasi indra penciumanku.

Dalam ketakutan dahsyat aku berusaha meluruskan tangan, mendorong sekuat tenaga kayu yang berjarak hanya dua puluh senti dari wajahku, lalu bau tanah lembab yang kuat, mirip gas, menerjang ke dalam hidung, membuat oksigen yang sudah sangat minim semakin sulit untuk dihirup.

Aku menangis, tentu saja, meski aku sempat tidak yakin kalau mataku masih memproduksi air mata dalam kondisi tubuh setengah mati, tapi kemudian aku merasakan air mengalir di pipi. Aku mencoba menggerakkan lidah, rahang, berupaya mengeluarkan suara atau mungkin berteriak tapi tidak berhasil, tidak ada suara apapun yang keluar.

Aku coba lagi, lagi, sekali lagi dan lagi, sementara kehampaan yang menggepungku kian menjadi-jadi.

Di antara kengerian yang telah menyusup ke dalam tiap helaan napas dan aliran darah, aku mengingat hal-hal yang bisa membangkitkan harapan; Ayah belum sempat kubawa ke dokter mata untuk pemeriksaan katarak, ibuku ingin sekali kami sekeluarga mengelilingi kota kalau aku pulang kampung, atau adikku yang berniat mengajakku liburan ke Shibuya awal tahun.

"TOLONG AKU!!!"

Aku menangis sekaligus terperanjat saat berhasil mengeluarkan suara keras. Setitik harapan muncul saat sayup-sayup mendengar derap langkah di atasku, aku buru-buru berteriak lagi, sekencang-kencangnya, memukul-mukul peti. Namun harapan besar yang sempat muncul mengerucut, karena tidak ada lagi suara yang bisa aku dengar dari atas sana.

Tidak! Ibuku pasti tidak bisa menerima kematianku, beliau pasti akan berlama-lama di makan. Ibu pasti masih ada di atas, jadi aku berteriak lagi, memanggil-manggil Ibuku.

Sayangnya tidak ada tanda-tanda ada orang menyadari suaraku dari bawah sini, aku meratap, mengais pengampunan pada Tuhan. Akhirnya aku ingat, pada siapa seharusnya aku meminta pertolongan.

Aku ini manusia macam apa sih? Disaat di ujung maut saja masih lupa dengan Yang Maha Kuasa.

"Ya Tuhan, ampuni aku. Tolong selamatkan aku—" Aku tergugu dalam ketakutan tiada tara.

Pelan tapi pasti suhu tubuhku turun, seperti tersiram air es, menggigil. Kulitku mulai mati rasa, buru-buru kucubit tanganku, berulang-ulang. Kini jantungku juga sakit, nyeri luar biasa, seperti tertusuk belati. Aku sempat tidak bernapas selama dua detik, sebelum kembali menemukan oksigen yang jumlahnya semakin tipis.

Aku belum mau mati, tolong—kumohon Tuhan, tolong aku!

Sekali lagi aku berteriak; panjang, seperti lolongan. Aku harus terus berteriak karena hanya ini harapan satu-satunya sebelum aku benar-benar mati. Tanpa menyadari tubuhku bergerak, aku sudah telungkup dengan punggung kubentur-benturkan ke atas, kaki menendang dan tangan mendorong ke bawah. Aku harus bisa mengundang perhatian orang-orang di atas walau tipis harapan.

Sampai akhirnya gerakanku melamban, tulang-tulangku kaku, napasku hilang tiap tiga detik dan aku tergeletak dalam posisi telungkup.

Sepertinya aku akan mati—mati untuk kedua kali.

Akan tetapi di penghujung kesadaran dari proses kematian, aku mendengar suara-suara dari atas. Air mataku meleleh ketika suara-suara semakin bising, merasakan getaran benda dengan tanah di sekitarku. Akhirnya mereka menyadari aku masih hidup di bawah sini.

Aku tidak sempat melihat siapa yang membuka peti matiku, kesadaranku tiba-tiba terenggut begitu orang-orang itu menyentuh kulit wajahku. Aku dibawa ke rumah sakit setelah mereka yakin kalau tubuhku hangat seperti orang hidup dan aku bernapas.

Ya... aku hidup lagi.

[ ... ]

SPOOKTOBER - KTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang