[15] NAWASENA THE RADEN

43 20 1
                                    

Di sebuah toko boneka, Raden melihat-lihat setiap rak yang di penuhi banyak boneka. Dia sangat bingung ingin memilih yang mana, pasalnya banyak sekali boneka yang lucu dan menggemaskan. Tapi harganya lumayan mahal sih.

Karena sudah sejak lama Raden ingin membelikan satu boneka beruang yang cukup besar untuk adik nya itu, Raden sudah menyempatkan diri untuk menabung dari jauh-jauh hari.

Dan akhirnya kesampaian juga dia membelikan nya. Raden mengambil salah satu boneka beruang yang berwarna coklat. Ukurannya lumayan besar, dan boneka nya juga sangat menggemaskan. Dia merasa Langit akan sangat senang mendapatkan boneka itu. Raden membeli satu boneka itu, setelah membayar dia pergi dari sana.

***

Di perjalanan Raden juga berhenti di sebuah toko bunga, dia membeli satu buket bunga mawar putih dengan ukuran sedang. Ketika buket itu sudah jadi, Raden mengambilnya sambil mencium aroma bunga itu. Terlihat saat ini Raden tersenyum manis, dia sudah tidak sabar untuk memberikan hadiah itu kepada adiknya.

Sebelum pergi dari toko bunga, Raden tidak lupa untuk membayar terlebih dahulu. Selesai membeli buket itu, Raden kembali berjalan menuju halte bus.

Setibanya di halte selanjutnya Raden turun dari dalam bus. Saat ini wajah nya sangat ceria, orang-orang yang melihatnya pasti akan mengira jika Raden ingin menyatakan cintanya pada seseorang, padahal aslinya buket dan boneka itu untuk adiknya sendiri.

Kini Raden sudah berada di depan rumah sakit, langkah kakinya mulai memasuki gedung itu. Dia melewati lorong demi lorong dan juga menaiki lift. Setelah lift terbuka lebar, Raden kembali melangkahkan kakinya menuju ke arah ruangan Langit.

Tepat di belokan lorong, Raden mengerutkan dahinya, wajahnya di penuhi banyak tanda tanya. Mengapa semua orang di sana menangis. Seketika itu juga perasaan Raden tidak enak. Raden mendekat secara perlahan, dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi.

Mendengar jawaban dari Mahes, membuat Raden terdiam. Air matanya mengalir deras dengan sendirinya, buket mawar putih yang dia pegang tadi kini terjatuh dilantai, begitu juga dengan boneka beruang yang ada di tangan kirinya.

Tanpa mengatakan sepatah katapun Raden memasuki ruangan Langit. Di sana dia melihat Langit yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Raden tidak ingin mempercayai nya, dia berharap itu hanyalah sebuah mimpi. Kini dia telah kehilangan adik terakhirnya untuk selama-lamanya.

Dengan tangan yang bergetar Raden mencoba untuk menyentuh pipi adik nya itu. Kulit nya sangat pucat, dan badannya juga sangat dingin. Raden mengelus pelan pipi sang adik, tidak henti-hentinya Raden menangis saat itu.

Sesak di dadanya kian membesar, sangat sakit, dia masih tidak rela adik nya itu pergi terlalu cepat. Saat ini semua anggota keluarganya sedang berduka atas kepergian Langit.

Padahal beberapa hari yang lalu Langit terlihat baik-baik saja. Tapi kematian tidak ada yang tau kapan datangnya. Kini mereka sudah kehilangan seseorang yang paling berharga di kehidupan mereka. Dan sekarang mereka harus belajar untuk merelakan dan mengikhlaskan kepergian Langit.

***

Saat ini pemakaman Langit sedang berlangsung. Mereka telah mengantar Langit ke tempat peristirahatan terakhirnya dengan baik. Sang ibu sedari tadi tidak henti-hentinya menangis, begitu juga dengan Annoy dan Nanta.

Setelah pemakaman itu selesai, semua orang pergi dari sana. Kecuali ke lima orang itu, Raden, Mahes, Jaya, Annoy dan Nanta. Mereka menatap ke arah makam Langit dengan air mata yang terus mengalir di atas pipi mereka.

"Langit pasti sendirian di sana." Ujar Nanta sambil menghapus air matanya.

"Ayo balik, udah mau hujan juga." Ajak Jaya yang melihat ke arah langit yang ditutupi awan gelap.

Bahkan alam saja menangisi kepergian kamu, Langit. Tenang disana. Aku akan selalu merindukanmu. Terimakasih karena telah hadir untuk melengkapi tawa kami. Langit, kami mencintaimu.

Annoy dan Nanta hanya mengikuti perkataan Jaya, sedangkan Raden dan Mahes masih berniat tinggal di sana. Jaya tidak memaksa nya, dia memberikan waktu untuk mereka berdua di sana, tapi Jaya juga memperingati untuk tidak pulang kehujanan.

Di sana tinggal lah Raden dan Mahes. Mereka berdua hanya menatap makam itu dengan tatapan lesu. Sebelum akhirnya Mahes membuka suaranya.

"Abang jangan tinggalin kita juga." Ujar Mahes tanpa mengalihkan pandangannya.

Mendengar perkataan Mahes membuat Raden menoleh ke arah Mahes. "Kenapa ngomong gitu?" Tanya Raden heran.

"Abang kira aku ga tau selama ini?" Sahut Mahes, menatap ke arah Raden.

Sejenak Raden berpikir apa maksud dari perkataan Mahes. "Abang ga akan ninggalin kalian, udahlah ga usah ngomong aneh-aneh." Ujar Raden yang langsung mengakhiri topik itu.

"Ntar kalo abang ikut Langit ke sana, kita semua bakal kesepian." Ujar Mahes, takut jika apa yang dia pikirkan terjadi.

Raden memeluk adiknya itu sambil mengelus pelan punggungnya. "Abang ga akan kemana-mana, kita bakal tetap selalu sama-sama di sini."

"Benar ya?" Tanya Mahes memastikan.

Raden melepaskan pelukan itu, yang kemudian mengangguk sebagai jawaban sambil tersenyum manis. Mahes sedikit merasa lega mendengarnya. Namun perkataan Raden selanjutnya membuat Mahes terdiam membisu.

"Seharusnya aku yang bilang gitu, mas. Berhenti nyakitin diri kamu."

Mahes terkekeh "Kamu benar," Menghela nafas dengan berat.

"Kita hanyalah luka yang berusaha untuk sembuh. Meskipun dengan menambah goresan luka itu sendiri."

Langit semakin mendung, suasana di sana juga semakin gelap. Sebelum hujan mulai turun, mereka berdua meranjak pergi dari sana. Di tengah perjalanan tetiba gerimis mulai turun, dan untungnya ketika hujan deras turun mereka berdua sudah berada di dalam rumah.

***

Saat ini langit sedang menangis dalam kegelapan dunia. Tidak ada cahaya penerang yang tertera di sana. Suasana di sana terasa begitu sangat dingin, rasanya semua perasaan sedih itu akan terlihat.

Rumah itu kini sudah kehilangan seseorang yang menjadi pondasi keceriaan, satu hal telah menghilang, dan yang tertinggal hanyalah kenangan. Rumah yang tidak seutuh seperti dulunya.

Satu tempat telah kembali kosong, meninggalkan banyak hal di dalamnya tanpa ada yang bisa menggantikan nya. Posisi itu hanya untuk pemilik yang telah meninggalkan nya, hanya dia yang bisa mengisinya lagi. Tidak ada kata ganti yang tertera di dalamnya.

Tempat tidur, meja belajar, buku, pakaian dan segala aksesoris lainnya yang ada di dalam kamar itu hanya akan manjadi sebuah kenangan untuk dikenang.

***

Ketika semua keluarga sedang duduk di ruang tengah, Nanta datang menghampiri mereka. Dia meletakkan satu kertas yang sudah terlipat beberapa bagian. Semua orang penasaran kertas apa itu.

Sebelum ada yang bertanya, Nanta sudah lebih dulu mengatakannya. Jika kertas itu adalah titipan dari Langit sebelum dia meninggal. Hanya sebuah kertas lusuh yang di penuhi banyak tulisan di dalamnya.

Tapi tidak hanya itu, Nanta juga meletakkan satu buku yang cukup tebal di atas meja.

"Dua hari lalu Langit nitip ini sama aku, tapi aku ga tau isi nya apa, soalnya aku belum lihat." Ujar Nanta.

Raden mengambil secarik kertas yang sudah di lipat lipat itu, dia melihat ada banyak rangkaian tulisan di atas kertas itu. Dia membaca setiap kata di sana dengan suara yang kecil namun masih bisa di dengar oleh yang lain. Mahes yang berada di sampingnya juga ikut membacanya.

Mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Raden, membuat semua orang kembali menangis.

Entah apa isi surat itu.









🏠🏠🏠
Rabu, 25 Oktober 2023

[01] Nawasena The Raden » Family Version [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang