Chapter 03

87 53 3
                                    

Titah dari Tante Tania jelas tidak bisa dibantah. Aku dengan terpaksa── sebenarnya tidak terpaksa-paksa amat, menerima permintaan Tante Tania agar aku diantar oleh anak laki-lakinya yang bernama Wisnu.

Atau aku harus memanggilnya Mas Wisnu. Karena aku yakin ia lebih tua dari ku.

Kami berdua berjalan bersisian menyusuri jalanan komplek yang sepi. Padahal rumahku tidak sejauh itu, hanya terpisah beberapa rumah dan menurutku tidak masalah jika aku pulang sendiri. Lagi pula tadi saat berangkat pun aku juga sendiri dan tidak terjadi apapun.

Anehnya laki-laki di sebelahku mau mau saja menuruti Tante Tania, mungkin karena dia anak penurut dan sayang ibunya.

Tidak ada percakapan yang terjadi antara aku dan Mas Wisnu. Hanya ada keheningan dan kecanggungan yang mungkin hanya aku saja yang merasakannya.

Kami pun sampai di depan rumah ku.

“Makasih ya, Mas. maaf jadi ngerepotin,” ucapku lalu aku pun ingin mengambil alih paper bag yang dipegangnya.

Tapi Mas Wisnu malah menjauhkan paper bag tersebut, membuatku menatapnya bingung.

“Biar sekalian saya antar ke dalam,” ujarnya.

“Gak usah, Mas. Saya bisa kok,” kataku.

“Ini berat,” katanya.

“Gak berat kok, saya bisa sendiri. Siniin mas paper bag nya,” pintaku masih mencoba berusaha mengambil paper bag.

Dan Mas Wisnu pun masih tidak mau mengalah, ia malah membawa tinggi paper bag tersebut. Mentang-mentang aku pendek.

“Mas, jangan bercanda!” kataku mulai sedikit kesal. Lebih ke malu.

KOK MALAH JADI REBUTAN GINI??

“Makanya saya bawain aja ke dalam,” ujarnya tetap keras kepala.

Aku menghela nafas, jika di antara kita tidak ada yang ingin mengalah maka bisa jadi perdebatan ini tidak akan pernah selesai sampai pagi datang. Jadi aku memilih mengalah dan mempersilahkan Mas Wisnu untuk masuk.

“Assalamualaikum,” ucapnya yang aku jawab dengan salam juga.

Aku kira Papa dan Mama sudah tidur karena rumah terlihat sepi, tapi ternyata aku salah. Terdengar jawaban dari arah ruang keluarga, itu Mama yang datang dengan wajah berseri-seri. aku menyipitkan mata curiga.

“Eh, Wisnu! Sini-sini, taruh di meja aja,” kata Mama membawa Mas Wisnu menuju dapur.

Hmm, aku jadi semakin curiga.

Aku pun mengekori mereka berdua. Aku berjalan menuju kulkas dan mengambil minum sambil mencuri dengar percakapan antara Mama dan Mas Wisnu.

“Bilang makasih ke Mama mu ya, Nu. Nanti besok Tante suruh Shanka bawain opor ayam, besok soalnya Tante mau masak itu,” ujar Mama.

Aku yang mendengarnya langsung melotot terkejut dan tanpa aba-aba aku tersedak.

“Uhukk uhukk!”

Aku menepuk dadaku mencoba meredakan batuk ku. Tiba-tiba Mas Wisnu datang mendekati ku dan menepuk pelan punggungku.

Ya ampun mending pingsan aja lah aku!

Batuk ku akhirnya mereda, dalam hati aku sangat malu dan sedikit kesal. Kenapa Mama malah membawa-bawa namaku? Pakai segala mau menyuruhku untuk kembali ke rumah itu lagi juga.

Apa mama tidak tahu anak gadisnya ini sedang mati kutu karena seorang laki-laki?

Wajahku memerah, entah karena tersedak tadi atau karena malu. Apalagi Mas Wisnu menepuk punggungku.

Flower Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang