Chapter 08

13 2 0
                                    

“HUHU SHANKA!! MAAFIN PAPA YA!! PAPA SAYANG BANGET SAMA SHANKA!”

Aku memutar bola mata malas melihat kelakuan Papa yang sekarang masih memelukku dengan erat. Sedangkan Mama sedang membantu mengobati kakiku yang lecet.

Ternyata saat aku kembali ke rumah, keluarga Mas Wisnu sudah tidak berada di ruang tamu, mereka memutuskan untuk pulang. Mas Wisnu pun juga hanya mengantarku saja karena aku juga menyuruhnya pulang. Walaupun harus memaksanya dengan berbagai cara karena Mas Wisnu enggan untuk pulang sebelum memastikan aku baik-baik saja.

“Shanka.. maafin Papa dan Mama karena gak bicariin hal ini sama kamu. Papa dan Mama gak akan maksa kamu tentang ini, kalau perlu dibatalkan aja gapapa kok,” ujar Papa sambil mengelus puncak kepalaku.

Tiba-tiba Mama memukul lengan Papa sambil melotot. “Heh!”

Mama pun menggenggam tanganku. “Papa dan Mama khawatir kamu gak akan menikah, dulu kamu kan pernah bilang mau jagain Papa dan Mama selamanya. Sedangkan Papa dan Mama ingin melihat kamu juga bahagia dengan pasangan kamu, kamu satu-satunya anak kesayangan kami. Kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu Shanka, dan Wisnu adalah laki-laki terbaik itu. Maafin Mama karena gak ngomong sama kamu, gak nanya pendapat kamu. Maafin ya?”

Mama menatapku dengan sedih membuatku jadi tidak tega. Walaupun begitu masih ada rasa kesal, hanya sedikit.

Aku menghela nafas. “Iya, gapapa. Shanka udah maafin.”

“Tapi Mama masih berharap kamu bisa menerima Wisnu. Kamu kan sudah lihat sendiri Wisnu orangnya seperti apa, walaupun kamu baru ketemu sama dia. Tapi Mama sudah percaya sama dia, Mama percaya dia akan menjaga dan membahagiakan kamu,” kata Mama lalu tersenyum menatapku.

Memang jika dipikirkan, Mas Wisnu adalah laki-laki yang mendekati kata sempurna. Mapan, tampan, dan idaman. Walaupun aku baru beberapa kali bertemu dengannya, aku bisa mengetahui jika Mas Wisnu memang laki-laki yang sangat baik walaupun tampangnya terlihat galak. Kepribadiannya memang pendiam, terkesan cuek dan dingin, tapi itu hanyalah cover. Mas Wisnu ternyata memiliki cara sendiri untuk menunjukkan perhatian dan kepeduliannya kepada orang lain.

Mas Wisnu memang tidak banyak bicara, tapi ia selalu melakukan sesuatu yang membuat orang lain pasti akan merasa tersihir dengannya tanpa mereka sadari. Kalau bisa dikatakan, love language Mas Wisnu adalah acts of service.

Dan aku adalah orang yang lemah dengan perlakuan seseorang terhadapku, walaupun hanya hal sepele.

“Hm, kasih aku waktu buat mikir dulu. Aku gak mungkin gitu aja ngambil keputusan kan?”

Mama menatapku dengan mata berbinarnya. “Iya! Gapapa, kamu pikirin aja dulu ya!”

Aku memutar bola mata malas melihat Mama yang terlihat masih berusaha untuk menjodohkanku secara halus.

“Yaudah, aku mau ke kamar,” ujarku.

Aku bangkit dari dudukku, Papa pun membantuku berjalan menuju kamar. Padahal saat aku pulang ke rumah tadi, kakiku tidak terlalu terasa sakit, tapi saat sudah diobati sakitnya malah makin terasa. Aku jadi memikirkan bagaimana kondisi kaki Mas Wisnu, dia memberikan sepatunya kepadaku tadi dan membiarkan kakinya telanjang tanpa memakai apapun sebagai alas kakinya saat berjalan pulang bersama.

Papa dan Mama memelukku saat kami sudah sampai di dalam kamarku. Aku pun tersenyum tipis saat mereka berjalan keluar dari kamarku.

Huh! Hari ini ternyata sangat melelahkan untukku. Aku harus segera tidur untuk mengisi daya tubuhku.

Tapi ternyata hal itu tidak mudah, pikiran ku terus melayang-layang memikirkan kejadian tadi. Apalagi saat Mas Wisnu menghampiriku di halte busway. Itu pertama kalinya aku melihat Mas Wisnu sepanik itu dan sangat khawatir kepadaku.

Tiba-tiba aku teringat perkataannya saat itu, membuatku berdebar dan tersenyum senang. Walaupun aku masih sangat penasaran dengan satu hal, apakah kami sebelumnya pernah bertemu? Di mana dan kapan? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?

Tak terasa aku terus melamun dan lama kelamaan mataku mulai tertutup dengan diriku yang siap untuk memasuki alam mimpi.

[]

Aku terbangun dengan perut yang terasa sangat sakit. Dan aku baru ingat kemarin malam aku belum sempat makan karena adanya kejadian tidak terduga. Dan sekarang aku merasakan penyakit mag ku kambuh karena aku telat makan.

Dengan perlahan aku bangkit dari posisi tidurku, sekilas melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan lewat. Masih pagi.

Aku meringis kesakitan sambil berusaha berjalan pelan-pelan keluar dari kamar. Beberapa kali aku harus menghentikan langkahku.

Akhirnya aku bisa turun dari lantai dua dengan selamat. Aku melihat Mama yang sedang di dapur bersama Bibi, sepertinya sedang menyiapkan makanan.

Aku berjalan menghampiri mereka dengan pelan. “Mah...” panggilku dengan suara lemah.

Mama baru menoleh saat aku sudah memanggilnya tiga kali dengan suara lemahku ini.

Baru saja aku ingin berjalan kembali, tiba-tiba seluruh tenaga ku yang tersisa lenyap. Aku sudah sangat tidak kuat untuk menahan rasa sakit perutku ini.

Mama dan Bibi menoleh dengan mata membulat terkejut saat melihatku yang sudah jatuh terkulai lemas di atas lantai dapur. Mereka berdua menghampiriku dengan cepat.

Samar-samar aku bisa mendengar teriakan terkejut Mama dan panggilannya yang berulang kali mengucap namaku. Sayangnya aku sudah tidak kuat untuk merespon panggilan Mama.

Disaat aku sudah ingin menutup mataku, dengan samar aku bisa merasakan sentuhan di tubuhku yang terasa seperti diangkat. Aku tidak tahu siapa, mungkin Papa. Karena mataku sudah tertutup rapat. Dan aku jatuh pingsan.

bersambung.

Flower Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang