Samar-samar aku mulai mendengar suara di sekitarku, walaupun aku tidak tahu apa itu. Lalu aku mulai merasakan punggung tanganku yang sepertinya sedang dielus-elus, entah oleh siapa.
Aku membuka mataku dengan perlahan, mencoba untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Dan aku menyadari jika sekarang aku sedang berada di rumah sakit.
Bagaimana bisa aku di sini? Ah, sepertinya aku memang pingsan saat itu. Tunggu, sudah berapa lama aku pingsan?
“Shanka?”
Aku menoleh ke arah sampingku dan mendapati seseorang yang sangat diluar dugaan. Aku bisa merasakan suaranya yang terdengar khawatir dan terkejut saat memanggil namaku, dan aku juga bisa melihat tatapan matanya yang sendu.
Mas Wisnu berada duduk di samping ranjang tempatku tidur, sambil tangannya yang terus mengelus tanganku.
“Ada yang sakit? Saya panggilin dokter dulu ya?” katanya lalu menekan tombol berwarna merah.
Tak lama seorang dokter pun datang ke dalam kamar inap ku ini. Lalu mulai memeriksa secara fisik dan memberikan berbagai macam pertanyaan. Setelah sepuluh menit, dokter akhirnya pergi dari ruanganku dan digantikan dengan seorang suster yang masuk sambil membawakan nampan berisi makanan khas rumah sakit.
“Ayo makan dulu ya, kamu belum makan dari kemarin kan?” Mas Wisnu dengan sigap membantuku untuk duduk dengan nyaman.
Ia mulai mengambil sendok dan tiba-tiba tangannya sudah berada di depan mulutku, berniat untuk menyuapiku.
Untuk beberapa saat aku terdiam merasa aneh, walaupun begitu aku tetap membuka mulutku untuk melahap sesendok bubur yang tidak ada rasanya alias hambar.
Satu sendok, dua sendok, sampai aku tidak sadar jika bubur di mangkuk sudah hampir habis.
“Mas Wisnu kenapa bisa di sini?” tanyaku pada akhirnya mengungkapkan rasa penasaranku.
Mas Wisnu menghentikan gerakan tangannya. “Nemenin kamu, memangnya apa lagi?” katanya tidak menjawab pertanyaanku sama sekali.
“Ya, maksud ku kok bisa? Pasti Mama yang ngabarin Mas Wisnu ya?” tebakku.
Mas Wisnu hanya tersenyum tipis, setelahnya ia malah sibuk mengupasi buah apel. Aku pun tidak bertanya lagi, hanya melihati apa yang sedang dilakukan laki-laki di depanku ini.
“Aaa...” tangannya kembali menyuapiku sepotong buah apel. Aku pun memakannya.
“Mas...” panggilku.
“Dalem?”
Shit. Aku mengalihkan pandanganku saat Mas Wisnu menatapku dengan tatapan itu. Entah kenapa ia terlihat sangat tampan walaupun aku bisa melihat rambutnya sedikit berantakan.
“Mas Wisnu gak kerja?” tanyaku.
“Saya izin hari ini,” jawabnya.
“Kenapa?”
“Kamu masih nanya? Gak mungkin saya masuk kerja setelah lihat kondisi kamu yang kayak gini, yang ada saya malah gak fokus kerjanya,” katanya.
“Ohh...”
Aku meremas jari-jariku sendiri merasa gugup, tiba-tiba aku merasa canggung karena di sini hanya ada aku dan Mas Wisnu. Apalagi ruangannya pun juga terasa sepi. Mas Wisnu juga sekarang malah menatapku terus menerus, sepertinya ia takut aku akan menghilangkan dalam sekejap mata.
Lalu tiba-tiba Mas Wisnu menarik tanganku dan menggenggamnya dengan lembut. Aku terkejut sampai rasanya jantungku akan lompat keluar dari tempatnya.
“Jangan sakit kayak gini lagi, kamu gak tau seberapa khawatir nya saya? Sepanik apa saya waktu lihat kamu pingsan? Kalau emang udah waktunya makan, ya kamu makan. Jangan sampai kamu lewatin hal itu, kasian tubuh kamu. Saya gak mau lihat kamu kayak gini lagi, ini yang terakhir,” katanya dengan penekanan di akhir kalimat.
Aku hanya menunduk diam setelah mendengar perkataan Mas Wisnu, apa mungkin omelan? Karena aku jadi merasa seperti anak kecil yang sedang diomeli oleh Ibunya.
Terdengar helaan nafas dari Mas Wisnu, lalu salah satu tangannya mulai terangkat mengelus rambutku.
Hening, aku sampai bisa mendengar detak jantungku sendiri yang mulai berdetak cepat. Oh, ayolah! Kenapa aku malah berdebar seperti ini?
Aku segera menoleh saat mendengar suara ketukan dari pintu dan Mas Wisnu segera menghentikan elusan tangannya di rambutku beserta tangan satunya yang sedang menggenggam tanganku tadi pun segera ditarik. Ada sedikit rasa tak rela di dalam hati ku, hanya sedikit!
Tak lama pintu dibuka dan menampakkan Mama yang baru saja datang dengan tas besar di tangannya.
“Mama kok baru dateng?” tanyaku sedikit kesal, bisa-bisanya mama malah meninggalkan aku di sini berdua dengan Mas Wisnu.
“Mama sama Papa tadi pulang dulu ambil baju ganti kamu,” jelas Mama lalu menaruh tas besar yang aku tebak berisi baju-bajuku itu ke atas sofa.
“Papa mana?”
“Lagi ngurus administrasi sih tadi,” jawabnya lalu Mama menghampiriku dan Mas Wisnu.
“Kamu gak pulang, Nu?” tanya Mama.
“Nanti aja, Tante,” jawabnya.
“Aduh! pulang sekarang aja, kamu kan semaleman jagain Shanka. Gak makan gak mandi, lihat tuh rambut kamu aja acak-acakan kayak sarang burung!" omel Mama sambil menggelengkan kepalanya melihat penampilan Mas Wisnu yang mengenaskan.
Aku tertawa kecil melihatnya. Selama beberapa menit Mama dan Mas Wisnu berdebat, Mama terus menyuruh Mas Wisnu untuk pulang dan istirahat tetapi Mas Wisnu tetap dengan pendiriannya agar terus di sini menemaniku.
Akhirnya, Mas Wisnu pun kalah dengan wajah terpaksa nya yang terlihat lucu. Setelah pamit dengan Mama dan aku, tak lama Mas Wisnu pun pulang. Hanya berjarak lima menit saja, Papa pun datang membawa kantung kresek yang berlogo salah satu minimarket.
“Papa lama banget, sih?” kesal Mama.
“Hehe, Papa tadi ke minimarket depan dulu beli kopi sama cemilan,” katanya.
Lalu kami bertiga mulai membicarakan banyak hal, tentang penyakitku dan kapan aku pulang, lalu bersambung ke yang lainnya. Papa juga bercerita tadi sempat bertemu dengan salah satu teman kantornya di lobi rumah sakit, pantas saja lama sekali.
“Pa, kemarin waktu aku pingsan, siapa yang gendong aku?” tanyaku penasaran.
“Ya Papa dong!” jawabnya tetapi kemudian Mama langsung mencubit papa.
“Halah! Kamu kemarin kan panik sampai nangis-nangis, mana kuat kamu gendong Shanka juga!” kata Mama.
“Yang gendong kamu kemarin itu Wisnu,” lanjut Mama yang berhasil membuatku terkejut.
“Kok bisa?”
“Kemarin kan Wisnu mau ngunjungin kamu, tapi tiba-tiba kamu pingsan terus Wisnu langsung lari nangkep kamu. Aduh, kayak di drama drama gitu deh kalian!” kata Mama terlihat mesem-mesem sendiri.
Aku pun teringat kembali sesaat sebelum aku benar-benar jatuh pingsan. Aku memang melihat siluet laki-laki, awalnya aku mengira itu Papa. tapi ternyata itu Mas Wisnu.
Astaga. Kenapa Mas Wisnu tidak bilang saja tadi? Aku kan ingin mengucapkan terimakasih kepadanya.
“Gimana, Shan?” tanya Mama tiba-tiba.
“Apanya?”
“Keputusan kamu tentang Wisnu, kamu udah lihat sendiri kan sikap dia ke kamu kayak gimana. Mama emang gak bisa maksa, tapi Mama sangat mengharapkan kamu bisa menerima dia,” ujar Mama.
Aku hanya diam tidak menjawab sama sekali, pikiranku pun menjadi rumit lagi. Apa mungkin jika aku menerima Mas Wisnu, semuanya akan baik-baik saja?
bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower Heart
FanfictionShanka kembali pulang ke rumah orangtuanya setelah dua tahun lamanya ia tidak pernah menginjakkan kaki di tanah kelahirannya itu. Banyak hal yang terjadi, salah satunya adalah tetangga rumahnya yang juga baru saja pulang dari luar pulau. Seperti ben...