“Shan! Shanka!!”
Aku menoleh menatap seseorang yang berlari ke arah ku.
Itu kan... Mas Wisnu.
Ia berlari dengan sangat cepat, tak butuh waktu lama untuk sampai di hadapanku. Aku bisa melihat wajahnya yang berkeringat dan terlihat gurat khawatir terpatri di wajahnya.
Ia menghampiriku. “Shanka, kamu gapapa?” tanyanya.
Aku hanya diam, enggan untuk menjawab.
Lalu tiba-tiba ia berjongkok di hadapanku, aku pun terkejut.
“Eh? Mas Wisnu ngapain?! Berdiri gak!” kataku.
Mas Wisnu malah menyentuh kakiku yang tidak memakai apapun, lalu mengelusnya membuatku merasa geli. Wajahnya kini terlihat merasa bersalah.
“Maafin saya, saya tau saya salah karena gak membicarakan ini dengan kamu dulu. Saya tau pasti kamu kaget kan? Maaf ya, saya cuma gak mau kejadian seperti ini terjadi kalau tiba-tiba kamu dengar kita dijodohkan. Makanya tadi saya datang ke rumah kamu untuk melamar kamu, itu lebih baik dari pada dijodohin. Tapi ternyata saya salah, kamu masih tetap kabur kayak gini. Lihat kan, kamu sampai terluka kayak gini karena saya. Maafin saya ya, Shanka?”
Mas Wisnu menatapku dengan wajah sendunya, aku bisa melihat dari matanya yang memancarkan rasa bersalah dan khawatir secara bersamaan. Entah kenapa aku sedikit terkejut mendengar perkataannya yang ternyata cukup panjang. Bukan hanya itu, Mas Wisnu berkali-kali meminta maaf.
aku pun merasa tidak enak karena sudah bersikap kekanak-kanakan seperti ini.
“Iya, aku maafin Mas Wisnu. Aku cuma masih kaget aja karena ini semua terlalu tiba-tiba. Mas Wisnu sendiri tau kan kita belum lama kenal? Aku gak mau dengan keputusan Mas Wisnu yang terlalu terburu-buru untuk melamar aku nanti akan membuat Mas Wisnu menyesal. Lagi pun, aku juga masih kuliah, aku masih harus cari kerja dulu. Aku gak mau begitu aku lulus, aku langsung nikah gitu aja. Aku harus balas budi orangtuaku, aku gak mau jadi anak durhaka dengan ninggalin mereka gitu aja,” kataku sambil menatap Mas Wisnu.
Tiba-tiba Mas Wisnu menggenggam tanganku membuatku sedikit terkejut.
“Iya saya tau, kita memang belum kenal lama. Tapi saya gak akan pernah menyesal dengan keputusan saya untuk melamar kamu, Shan. Saya bisa mengerti kalau kamu gak mau nikah setelah lulus kuliah, saya gak akan memaksa kamu. Saya gak akan melarang kamu untuk apapun itu, itu semua hak kamu. Saya tau kamu khawatir dengan perjodohan ini, kita gak akan menikah secepat itu kalau kamu gak mau, saya bisa tunggu sampai kamu siap. Saya gak akan memaksa kamu, Shanka. Tapi saya berharap kamu bisa menerima lamaran saya,” katanya lalu mengeratkan genggaman tangan kami.
Aku menatap Mas Wisnu dengan rumit.
“Kenapa Mas Wisnu mau dijodohin sama aku? Mas Wisnu kan bisa menolak, Mas Wisnu bisa cari yang lebih dari aku,” ujarku.
Mas Wisnu tersenyum, senyum yang belum pernah aku lihat. Senyum yang membuatku hatiku tiba-tiba berdebar.
“Karena itu kamu, Shanka. Saya menerima perjodohan ini dan ingin melamar kamu karena itu kamu. Kamu mungkin gak tau, tapi kamu lebih dari cukup untuk saya, malah sangat lebih. Saya yakin jika dijodohkan dengan orang lain, mungkin saya gak akan terima perjodohan itu. Mungkin memang gak masuk akal kalau saya bilang saya sudah suka kamu dari lama,” katanya sambil terus tersenyum hangat menatapku.
Aku pun semakin berdebar mendengar penuturannya.
Suka? Dari lama?
“Mas Wisnu gak salah? Kita baru ketemu seminggu yang lalu..”
“Itu mungkin bagi kamu, Shanka. Tapi bagi saya beda, mungkin kamu gak menyadarinya. Tapi kita pernah bertemu dulu, pasti kamu sudah lupa,” katanya.
“Saya... tertarik sejak lama sama kamu. Kamu perempuan pertama yang membuat saya merasa berdebar-debar, kamu mungkin gak menyadari kalau kamu adalah perempuan yang sangat baik, sangat perhatian, sangat cerdas, dan itu yang membuat saya tertarik sama kamu,” lanjutnya yang berhasil membuatku merasa ada kupu-kupu di perutku.
“Kita pernah ketemu sebelumnya? Kapan?” tanyaku.
“Dulu, ceritanya panjang. Saya ceritakan nanti kalau kamu mau pulang,” katanya.
Dasar! Pasti ia sengaja membuatku penasaran seperti ini.
Aku pun mengangguk pasrah, lagi pula aku juga sebenarnya ingin kembali ke rumah tapi ternyata Mas Wisnu sudah lebih dulu menghampiriku.
“Pakai sepatu saya dulu,” katanya lalu mulai melepaskan sepatu hitamnya.
“Eh? Gak usah mas!” tolakku.
“Kamu gak pakai sendal begini, mending pakai sepatu saya aja,” ujarnya tetap memaksa ku.
Aku pun pasrah saat Mas Wisnu sudah menarik kakiku lalu memakaikan sepatunya ke kakiku. Aku menatapnya yang berjongkok di hadapanku.
Lalu aku menyadari sesuatu saat melihat lengannya.
“Ini kenapa? Kok bisa luka?” tanyaku menyentuh lengannya.
Mas Wisnu pun melihat lengannya sendiri. “Ah, ini... kayaknya luka karena keserempet tadi,” jawabnya dengan santai.
Aku pun melotot mendengarnya. “Mas Wisnu keserempet?! Kok bisa? Terus gimana? Ada luka lain gak selain ini?! Gimana sih mas masa gak hati-hati! Terus yang nyerempet kemana? Tanggung jawab gak dia?”
Mas Wisnu menatapku yang terus bertanya, lalu ia pun terkekeh.
Mas Wisnu pun bangkit lalu mengelus puncak rambutku. “Saya gapapa, lagi pula ini gak sakit kok. Saya yang salah juga karena tadi pas nyebrang gak lihat kanan kiri jadi keserempet,” jawabnya.
Aku menghela nafas lalu menatap luka di lengannya. Sepertinya tergores spion.
“Sakit kan pasti? Udah jujur aja deh Mas!”
Mas Wisnu tersenyum tipis. “Gak sakit, Shankaa. Dari pada itu, saya lebih cemas kamu kenapa-kenapa. Nanti kaki kamu saya obati ya?”
Aku hanya mengangguk saja. Mas Wisnu ternyata memang lebih cemas dengan keadaanku sampai ia tidak memperhatikan dirinya sendiri. Aku menjadi semakin bersalah.
“Yaudah, ayo pulang,” katanya lalu menggandeng tanganku.
Kami pun berjalan bersisian di trotoar. Aku bingung harus berbicara apa, sebenarnya pikiranku masih sangat rumit.
“Shanka, saya gak maksa kamu untuk menjawab lamaran saya sekarang. Kamu bisa pikirin itu nanti, saya gak mau kamu menyesal setelah menerima saya karena terpaksa. Saya bisa tunggu kamu sampai kapanpun itu,” ujarnya tiba-tiba.
Aku menatapnya dari samping. Pandangannya memang lurus ke depan tetapi aku bisa melihat senyum tipisnya.
“iya.. aku pikirin itu nanti. Maaf ya mas aku gak bisa jawab sekarang,” kataku.
“Gapapa, saya yang harus minta maaf karena tiba-tiba ngelamar kamu gini,” ujarnya.
Aku mendengus. “Aku bosen denger Mas Wisnu minta maaf mulu!”
Mas Wisnu pun menoleh. “Eh? Maaf─”
“Tuh kan mau minta maaf lagi!”
Mas Wisnu pun terkekeh. “Iya-iya, saya gak minta maaf lagi.”
Lalu Mas Wisnu menarikku untuk lebih mendekat kepadanya. Aku bisa merasakan jantungku yang semakin berdebar.
Sepertinya malam ini adalah malam yang panjang untukku. Dan entah kenapa aku berharap agar kami tidak cepat sampai ke rumah. Aku masih ingin terus berjalan bersamanya seperti ini.
bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower Heart
FanfictionShanka kembali pulang ke rumah orangtuanya setelah dua tahun lamanya ia tidak pernah menginjakkan kaki di tanah kelahirannya itu. Banyak hal yang terjadi, salah satunya adalah tetangga rumahnya yang juga baru saja pulang dari luar pulau. Seperti ben...