Namanya Zifa

3 1 0
                                    

Dua hari telah berlalu, Letta sudah keluar dari rumah sakit dan menjalani kehidupannya seperti hari-hari biasanya. Tinggal seorang diri dirumah yang lumayan besar peninggalan orang tuanya membuat Letta kadang merasa kesepian. Belum lagi cobaan yang terpaksa ia cobain kadang membuatnya semakin merasa tak memiliki siapa-siapa dihidupnya. Tapi apa boleh buat, menyerah pun rasanya ia tak memiliki hak.

Tapi setelah hari ini, Letta pastikan tidak akan ada satupun penderitaan yang menimpanya. Letta berjanji pada dirinya sendiri akan menebus semua rasa bersalahnya pada Retta, dunia Retta terlalu kejam rasanya.

"Hufft, gimana bisa gue jadi kaya gini? Semuanya terlalu mendadak dan mustahil. Bahkan untuk sekedar narik nafas aja, kayaknya Retta harus relain separuh nafasnya yang lain hilang. Dulu gue bodoh banget, gimana ceritanya seorang antagonis yang hidupnya diceritakan gak pernah ada kebaikan didalamnya, dilain sisi dia sangat-sangat jauh dari apa yang orang lain punya. Kalau jadi dia, mungkin gue bakal lakuin hal yang sama, perjuangin satu-satunya yang jadi milik gue dari awal." Keluh Retta pada dirinya. Sekarang ia tengah menyiapkan bekal untuk ia bawa ke sekolah. Ya, hari ini ia akan mulai bersekolah.

"Sekarang gak ada lagi Retta yang lemah, letih, lesu, karena sekarang cuma ada gue disini. Aletta Kalira, gadis dengan seribu pesona dan cinta yang siap melawan apa saja yang merugikan untuk hidup gue." Tekad Aletta sebelum akhirnya memasukkan bekal itu kedalam tasnya. Setelah semuanya siap, ia segera keluar dadi rumahnya. Saat membuka gerbang, dirinya dikejutkan dengan kemunculan Sagara yang tengah duduk diatas motornya.

"Ngapain lo kesini?" Tanya Aretta pada Sagara.

"Jemput beban." Jawab Sagara enteng. Berbeda halnya dengan Aretta, ia sudah mengeraskan wajahnya.

"Mulai sekarang, lo gak perlu lakuin hal-hal yang ada urusannya sama gue, Gar. Lo gak perlu lagi ada dideket gue, gue udah gak butuh itu. Gue bisa lakuin semuanya sendiri."

Sagara terkekeh mendengar ucapan Aretta, "Yakin? Bukannya lo gak bisa apa-apa tanpa gue?"

Aretta mendengus mengingat dulu Aretta yang asli pernah mengatakan hal itu, "Gue yakin, urusin aja semua kemauan pacar lo itu."

"Gak usah ngedrama, udah cepet naik."

Aretta menggelengkan kepalanya, "Gue udah pesen gojek, mending sekarang lo pergi. Lo gak perlu anter-jemput gue lagi, Gar. Makasih buat kebaikan lo selama ini."

Sagara berdecak kesal, "Omongan lo kayak mau mati, gue gak suka. Udah cepet naik, batalin aja gojeknya. Dan lagi, lo itu tanggung jawab gue, semua yang lo lakuin harus ada persetujuan gue." Dengan tak sabar, Sagara menarik lengan Aretta mendekat. "Naik, nanti telat."

Mau tak mau Aretta mengiyakan paksaan Sagara, ia menaiki motor milik Sagara dengan cepat. "Buruan jalan." Katanya setelah duduk dengan baik.

Sagara menarik kedua tangan Aretta yang berpegangan dipundaknya, lalu ia arahkan pada pinggangnya. "Gue bukan gojek." Katanya lalu menjalankan motornya sesaat sebelum Aretta melepaskan pelukannya.

Beberapa menit kemudian, Sagara dan Aretta sudah sampai disekolah. Keduanya berjalan beriringan seperti biasanya, walaupun tidak memiliki perasaan pada Aretta, tapi Sagara berusaha berbuat baik pada gadis itu karena paksaan kedua orang tuanya. Ya, setiap perlakuannya pada Aretta sering kali diketahui orang tuanya, hal itu membuat Sagara mau tak mau selalu berdiam diri menerima setiap perlakuan Aretta.

Belum lagi keduanya sampai dikelas, tiba-tiba seorang gadis dari arah berlawan berteriak memanggil Sagara. Aretta mengerutkan kening mencoba menebak siapa gadis itu, sedangkan Sagara tersenyum lalu melepaskan genggaman tangannya pada Aretta.

"Selamat pagi, Sagara! Kamu baru dateng?" Sapa gadis bertag nama Zifa itu. Ia adalah pacar Sagara, pacar yang selalu diutamakan, diagung-agungkan, dan dibela mati-matian walaupun jelas salah.

Sagara mengangguk kecil, "Aku jemput Aretta dulu, Zi."

Mendengar itu raut cerita Zifa sedikit mengendur, diliriknya Aretta yang terdiam ditempat. "O-oh, jemput Aretta, ya. Pantes aja tadi pagi aku minta buat jemput aku gak bisa, padahal tadi motor aku mogok loh, Gar."

"Maaf, Zi. Kamu kan tahu kalo Aretta sendirian dan gak bisa bawa kendaraan, jadi aku harus jemput dia." Jelas Sagara membuat Zifa tersenyum kecil.

"Gapapa, aku tau kok. Dia kan tunangan kamu, pasti lebih kamu prioritasin lah."

Aretta memajukan dirinya hingga sejajar dengan Sagara dan berhadapan dengan Zifa, "Ini terakhir kalianya, Zif. Mulai besok, Sagara gak akan anter-jemput gue lagi. Lo bebas minta anter atau jemput dia, lo kan pacarnya. Gue cuma orang asing yang dipaksa deket sama dia, jangan mikir yang nggak-nggak. Disini, tunangan nggak ada apa-apanya sama pacar yang dicintai Sagara dengan tulus. Sorry kalo selama ini gue ganggu hubungan kalian, gue bener-bener gak bermaksud."

Sagara dan Zifa sama-sama terkejut mendengar perkataan Aretta, ini pertama kalinya gadis itu bersikap tenang dan tidak kalang kabut melihat kedekatan antara Sagara dan Zifa.

"Gue udah cukup muak sama semuanya, gue mutusin buat berhenti sampai sini. Setelah ini, tolong jangan sangkut pautin gue sama Sagara lagi. Dan permintaan gue ini bukan cuma buat lo, Zif. Tapi buat semua orang yang ada disini. Dan masalah pertunangan, gue bisa jelasin keadaannya ke bunda sama ayah, maaf kalau baru hari ini hal ini terjadi, Gar." Aretta segera berlalu meninggalkan banyak tanya dalam benak semua orang yang ada disana. Sebagian dari mereka percaya jika Aretta menyerah, tapi tak sedikit dari mereka yang mengira jika itu adalah salah satu drama yang akan Aretta mainkan.

"Halah, palingan itu cuma drama Aretta buat narik perhatian Sagara"

"Menurut gue sih nggak, semua orang punya batasnya"

"Iya, dan orang yang gak tau batesan adalah dia yang gak sadar atas posisinya"

"Maksud lo?"

"Cuma pacar tapi selalu bersikap seolah paling berhak atas Sagara dibanding tunangannya sendiri"

Transmigrasi Penulis NovelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang