Will baru menyadarinya bila 'kamar sementara'-nya juga tidak memiliki kunci ketika dia hendak tidur di pukul 11 malam. Tidak tega membangunkan Marrisa untuk meminta kunci cadangan—karena kepala pelayan itu pasti sudah tidur, akhirnya Will memutuskan buat tetap tidur di sana. Semoga saja orang yang sebelumnya datang ke kamarnya ketika dia tidur tidak tahu bila malam ini ia pindah kamar. Dengan kepercayaan itu, Will akhirnya bisa tidur nyenyak—meskipun masih merasa was-was—sampai pukul 1 dini hari. Hingga di tengah cahaya remang kamar, tiba-tiba Will merasakan sesuatu yang menempel di bibirnya, sesuatu yang lembut sampai membuat seluruh tubuhnya merinding.
"Aku mencintaimu, Will. Sangat-sangat mencintaimu." Suara lirih itu terucap dengan jarak yang begitu dekat. Namun demikian, berkatnya Will bisa mengetahui siapa yang selama ini masuk ke kamarnya, yang mungkin saja selalu melakukan hal ini padanya.
Tanpa sadar, tangan kanan Will mencengkram seprei tempat tidur dengan begitu kencang, kemudian dia berkata parau, "P-Papa."
Tampak gesture keterkejutan dari sosok yang sudah berdiri menjulang di samping tempat tidur. Will buru-buru menyalakan lampu yang berada di nakas membuat cahaya kekuningannya berpendar lembut menyinari sekitar.
Sekarang, pandangan mereka bertemu. Will yang ketakutan, dan Aaron yang ... Will tidak bisa menebak tatapan seperti apa yang tercatat di wajah laki-laki itu.
"Maafkan saya, Will," ucap Aaron. Will masih tidak melihat raut apa pun, bahkan sebuah air muka penyesalan pun tidak.
"Saya tidak mau menjadi papamu, Will." Aaron berkata begitu. "Saya mencintaimu, tapi bukan sebagai ayah yang mencintai anaknya."
"Saya mencintaimu, Will." Selepas mengatakan kalimat ini, Aaron keluar dari kamar yang ditempati Will sekarang, tanpa mendengar pemuda itu membalas semua perkataannya.
Banyak perasaan yang kini sampai di diri Will. Namun dari semuanya, rasa takut lebih mendominasi. Pemuda itu terdiam dalam posisi yang tak berganti, selama menit berubah menjadi jam, dia tetap tidak bergerak.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Dan kalimat ini akhirnya terucap. Will menunduk, mengusap wajahnya kasar.
***
Pagi harinya, Will berusaha untuk bersikap biasa saja ketika bertemu dengan Aaron di ruang makan. Semuanya berjalan normal seperti hari-hari sebelumnya, begitu juga saat di mobil kala Aaron mengantar Will ke sekolah.
Will berharap semoga Aaron tidak mengungkit kejadian tadi malam. Meskipun sudah dilupakan, Will ingin sekali melupakannya. Karena merasa canggung untuk berpamitan, dia langsung membuka pintu mobil saat sudah tiba di depan gerbang sekolahnya, lalu menjauh dengan cepat.
"Muka lo kelihatan kayak orang habis kerja bakti, Will." Pino muncul dari dalam kamar mandi masih rapi dengan tas yang tergendong di punggungnya.
Will tidak menjawab. Ia sudah menduga karena setelah memergoki Aaron, dia tidak bisa tidur sampai pagi.
"Lo enggak tidur, ya, Will, semalam?" tanya Pino yang masih berjalan sejajar di sebelahnya.
"Hah?"
"Lo enggak tidur semalam?" Pino mengulangi.
"Oh, em ... iya, gue enggak bisa tidur semalam."
"Kenapa?"
Will kelihatan berpikir. "Pulang sekolah kemarin gue ketiduran, bangun-bangun udah tengah malam. Jadi enggak bisa tidur lagi."
Untungnya alasan ini dapat diterima oleh Pino, sehingga cowok itu tidak melontarkan pertanyaan lagi.
Keduanya mulai memasuki kelas yang isinya sudah hampir penuh. Nampak Bagas dan Dewa sedang adu panco di meja paling belakang.
"Pin," Will menghentikan langkah Pino yang hendak mendatangi Dewa dan Bagas.
"Kenape?"
"Gue boleh nginep di rumah lo enggak malam ini?" Spontan Will mengucapkan itu, tapi sebelum Pino menjawab, dia sudah meralatnya. "Enggak jadi, deh."
"Serius lo?" balas Pino. "Ada apa, sih? Lo enggak bisa tidur tadi malam bukan karena ketiduran pas pulang sekolah jangan-jangan, nih."
Pino tidak jadi mendatangi Dewa dan Bagas, dia malah menarik tangan Will ke mejanya. "Lo lagi ada masalah, ya?"
Will menggeleng. "Enggak, kok."
"Terus kenapa mau nginep di rumah gue?"
" ... gue bosen aja kalau malam enggak ada teman ngobrol."
"Ya udah nginep aja di rumah gue nanti malam," kata Pino.
"Enggak jadi."
"Lah, kenapa?"
"Kapan-kapan aja."
Pino mengangguk. "Bilang aja kalau mau nginep, ya. Nanti gue siapin kamar paling mewah di rumah gue."
Will membalasnya dengan tertawa kecil. "Iya."
Lalu bel yang menandakan jam pelajaran pertama akan segera dimulai telah berbunyi di seantero sekolah. Will dan Pino kembali ke meja masing-masing, begitu juga Dewa yang sedang meremas-remas otot lengannya yang baru saja menang adu panco dengan Bagas.
***
Aaron menjemput Will dari sekolah seperti biasa. Ketika melihat ketiga teman Dewa, Bagas dan Pino berjalan tanpa Will, Aaron lekas menelepon anak angkatnya itu, tetapi teleponnya tidak dijawab. Akhirnya Aaron memutuskan untuk turun dari mobil dan mendatang ketiga teman Will.
"Halo, Mister!" Pino sudah menyapa meskipun Aaron masih agak jauh dari posisinya berjalan.
"Halo, Pino," sahut Aaron saat tiba di depan pemuda itu. "Will tidak bersama kalian?"
"Oh itu, Mister, tadi setelah bel pulang bunyi dia langsung lari, katanya sih kebelet," balas Dewa. "Mungkin dia masih di toilet."
Aaron mengangguk-angguk. "Oh, oke. Terima kasih informasinya."
"Udah coba ditelepon belum, Mister?" seru Bagas. "Soalnya bel pulang udah dari tadi, sekitar setengah jam lebih. Seharunya dia udah enggak di toilet lagi," kata Bagas.
"Iya juga, ya," ujar Pino.
"Saya cek toilet dulu, deh. Saya tau dia kalau boker di toilet yang mana." Dewa mengusulkan diri, sosoknya berlari cepat menuju toilet langganan Will ketika ada panggilan alam di sekolah. Namun selagi menunggu Dewa membawakan informasi, Satpam yang memantau dari depan pos-nya memutuskan untuk bergabung dalam kelompok itu.
"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya Satpam pada Aaron. Namun Pino langsung bicara. "Pak, lihat si Will enggak? Bapak kenal Will, kan? Yang cakep itu, lho."
"Kenal-kenal," sahut Satpam itu. "Dia udah pulang dari tadi, naik ojek online."
Pino dan Aaron langsung berpandangan. "Serius, Pak?" tegas Pino.
"Bener. Tadi dia kelihatan buru-buru gitu. Ojek online-nya udah nungguin dari sebelum bel pulang bunyi."
"Kalian enggak ada yang tau Will ada rencana mau ke mana setelah pulang sekolah?" tanya Aaron pada Pino dan Bagas.
"Enggak, Mister, dia enggak bilang apa-apa," kata Pino, tapi kemudian dia mengingat sesuatu. "Tadi pagi Will sempat tanya ke saya sih, katanya mau nginep di rumah saya boleh apa enggak, tapi malah enggak jadi."
Aaron berusaha untuk menahan geraman. Will kabur?
"Saya duluan, ya. Kalau Will menghubungi kalian, tolong kasih tahu saya." Aaron memberikan sebuah kartu nama pada Pino, kemudian dia melangkah cepat masuk ke dalam mobilnya.
***
Kasih vote sama komen dongg biar ceritanya nggak sepi-sepi amat 😭
Jujur gue jadi nggak semangat buat nulis karena ngerasa nggak ada yang nungguin gue update😭 klo ada vote atau komen kan gue jadi tau klo cerita ini ada yang baca dan nungguin gue update.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Effect [BXB 21+]
Random[BXB, 21+] Tepat di hari kepergian ibunya, William Shin dihampiri seorang laki-laki asing bernama Aaron Ramsey. Laki-laki itu menunjukkan sebuah email kepada Will yang ternyata dikirim oleh ibunya beberapa bulan lalu. Email itu berisikan sebuah perm...