Meskipun Aaron cuti, tentu saja Maya tidak demikian. Will kira, Aaron akan mengajaknya langsung ke rumah Maya, tapi ternyata malah ke kantornya yang masih ramai oleh para karyawan.
Seingat Will, dia belum pernah menginjakan kaki di sini, sehingga ketika tiba di sana, rasanya menakjubkan. Melihat orang-orang dengan pakaian bagus dan rapi membuat Will terbayang-bayang selama sesaat, apa dia bisa bekerja di sini? Bukannya kegeeran, tapi bila dia meminta kepada Aaron, bisa saja laki-laki itu langsung mengabulkannya.
Will berjalan di sebelah Aaron yang sesekali mengangguk ketika beberapa orang menyapanya. Tatapan mereka tampak bertanya-tanya ketika melihat kehadiran Will yang melangkah bersisian dengan Aaron.
Ketika tiba di meja Maya, perempuan itu langsung terkesiap. Agak terkejut mendapati bos-nya yang katanya izin cuti selama sebulan tiba-tiba muncul.
"Maya, apa anak kucing itu masih ada?" Aaron langsung bertanya demikian.
"Anak kuning?" Maya telihat agak bingung, tapi kemudian dia tersenyum setelah paham apa yang dimaksud oleh bos-nya. "Ada, Pak."
"Saya mau adopsi, untuk Will," kata Aaron. Will yang berdiri beberapa langkah di belakang Aaron tersenyum ketika mendapati Maya menoleh dengan senyuman ramah ke arahnya.
"Hai, Will."
Will membalas agak kaku. "H-hai."
"Gimana kondisi kamu setelah keluar dari rumah sakit?" Maya mendorong sebuah kursi untuk Will duduk, sementara Aaron dibiarkan berdiri.
"Baik, Mbak." Will duduk dikursi itu. "Makasih kursinya."
Maya mengangguk ramah. "Kucingnya enggak saya bawa, Pak." Dia melirik arloji yang melingkar di tangan kanan, mengecek pukul berapa sekarang.
"Saya bisa minta tolong adik saya buat bawa kucingnya ke sini, tapi dia pulang sekolah setengah jam lagi," kata Maya. "Kalau bapak sama Will enggak keberatan, kurang lebih 1 jam lagi kucingnya baru sampai, gimana?"
Aaron menoleh ke arah Will dan menunggu jawabannya bersama Maya.
"Apa enggak ngerepotin Mbak? Enggak enak nanti sama adiknya Mbak Maya," ucap Will.
Mbak Maya mengibaskan tangannya tanda tak masalah. "Enggak apa-apa santai. Selama dikasih upah, dia pasti mau disuruh-suruh."
Will menatap Aaron yang mengangguk sekali ke arahnya. "Ya udah deh, Mbak. Enggak apa-apa aku nunggu."
Maya tersenyum senang. Dia langsung mengirim chat pada adiknya lalu menghampiri Will untuk menunjukan sebuah vidio anak-anak kucing yang begitu menggemaskan.
"Kamu mau yang putih polos atau yang kayak corak sapi? Sisa dua ini aja, sementara yang tiga warna udah dipinta sama teman saya," kata Maya.
"Dua-duanya lucu, Mbak. Tapi kayaknya yang corak sapi aja."
Maya mengangguk, lalu mengirim chat lagi kepada adiknya.
Wil menoleh ke arah Aaron yang ternyata sudah tidak ada di posisinya. Dia menghilang. Will menoleh ke sana kemari, tapi tidak menemukan siapa-siapa kecuali Maya yang kini sudah menghadap layar komputer untuk mengecek beberapa email yang masuk.
"Papa ke mana, Mbak?"
Maya langsung meninggalkan mejanya dan mendatangi sebuah pintu, mengetuknya beberapa kali sambil berucap, "Pak?"
"Suruh Will masuk, Maya." Suara Aaron terdengar dari dalam ruangan itu. Will yang juga mendengarnya langsung mendatangi pintu sementara Maya kembali ke posisi awal.
Saat tiba di dalam. Will tidak kaget bila ini adalah ruang kerja Aaron. Persis seperti bayangannya ketika membaca novel tentang kisah cinta antara karyawan dan bosnya. Ruangan ini sangat luas dengan sebuah sofa yang disusun hingga membentuk huruf U. Di salah satu sofa yang panjang, Aaron terlihat tertidur dengan tangan terlipat di dada. Matanya terpejam dengan napas yang teratur. Namun demikian, Will tahu jika pria itu tidak tertidur, sehingga yang dilakukannya hanya duduk diam seraya memandangi apa saja yang terlihat di ruang kerja Aaron.
"Apa kamu mau berkeliling, Will?" Tiba-tiba Aaron bersuara, posisinya masih tiduran.
Will menoleh ke arah papanya itu. "Enggak, Pa."
Aaron tidak bersuara lagi, oleh karena itu Will memutuskan untuk duduk lebih santai dengan bersandar di punggung sofa. Dia menatap Aaron, dan sedikit terpukau dengan tinggi badan laki-laki itu. Sofa yang menjadi alasnya tidak cukup panjang untuk menampung seluruh tinggi badan Aaron.
Alis Will agak mengernyit ketika dari posisinya duduk, bisa dia melihat kening Aaron berkeringat. Padahal ruangan ini sudah sangat sejuk dengan adanya pendingin ruangan. Ditambah lagi jika dilihat dengan lebih seksama, wajah Aaron memang terlihat pucat sejak di pemakaman tadi.
Will memutuskan untuk beranjak, lalu berlutut tepat di sebelah wajah Aaron. Dengan agak ragu lelaki itu menyentuh kening Aaron dan merasakan sengatan rasa panas yang menjalari telapak tangannya. Aaron betulan sakit.
Tindakan selanjutnya yang ingin Will lakukan adalah beranjak menemui Maya dan menanyakan soal obat demam apa yang biasa Aaron minum. Karena jujur Will agak kurang paham dengan masalah obat-obatan. Yang ia tahu hanya obat untuk sakit kepala dan obat batuk serta pilek. Namun kelihatannya Aaron tidak memiliki gejala demikian.
Namun belum sempat Will melangkah, tangannya sudah lebih dicekal oleh Aaron.
"Kamu mau ke mana?" tanya Aaron. Walau pun sedang sakit, raut wajahnya tampak biasa saja.
"Mau ke Mbak Maya, minta tolong cariin obat buat Papa."
"Oh," Aaron mengangguk sembari melepaskan cekalan tangannya. "Ya sudah, tolong ya, Will."
Will bergegas menemui Maya dan minta saran obat apa yang harus ia berikan pada Aaron. Maya dengan tenang meminta Will untuk tunggu saja di ruangan Aaron, sementara obat akan ia yang carinya.
"Tolong ya Mbak Maya," kata Will ketika Maya beranjak dari tempat duduknya.
"Okay, Will. Saya cariin dulu ya obatnya."
Will mengangguk dan kembali ke ruangan Aaron. Saat masuk, posisi papanya itu yang tidak berubah, tetap berbaring di sofa, tetapi tubuhnya tampak beberapa kali bergidik seperti kedinginan.
Sayangnya Will tidak tahu bagaimana cara mematikan pendingin ruangan di tempat ini, pun dia tidak melihat benda apa pun yang bisa membantu Aaron meredakan rasa dinginnya.
Secara sepontan Will mendatangi sofa tempat Aaron berbaring, lalu ikut merebahkan diri di bagian pinggir yang masih menyisakan sedikit bagian untuk ditiduri. Kemudian Will memeluk Aaron berharap dengan ini rasa kedinginan Aaron akan berkurang. Namun tiba-tiba Aaron malah balik memeluknya, tidak begitu erat, tetapi cukup membuat wajah Will menempel pada dada Aaron.
"Tubuhmu hangat, Will." Aaron bersuara pelan, tapi Will tidak meresponnya. Begitu juga tidak menolak pelukan Aaron yang membuat tubuh keduanya saling menempel.
Tiba-tiba suara ketukan pada pintu terdengar, disusul suara Maya. Aaron kelihatan tidak tertarik untuk melepaskan Will, tetapi Will bergerak-gerak ingin bangun. Akhirnya Aaron meloloskannya dan membiarkan Will membuka pintu, lalu mengambil alih sebuah nampan berisi sebuah obat dan segelas air mineral. Maya tidak masuk, setelah memberikan bawaannya pada Will dia kembali ke mejanya lagi.
Will meletakan nampan di atas meja, Aaron sudah berubah posisi menjadi duduk dan langsung meminum obatnya. Kemudian dia menghela napas dan menatap Will.
"Duduk di sini, Will." Aaron menepuk bagian sofa tepat di sebelahnya. Will mengangguk saja, duduk di sebelah Aaron, sampai kemudian dia merasakan satu bahunya disandari sesuatu. Kepala Aaron. Laki-laki itu sudah memejamkan matanya sekarang. Lalu sebuah ucapan, sangat pelan meluncur dari bibir Aaron, "Aku mencintaimu, Will."
---
Bener-bener gak dibaca lagi setelah ditulis, jadi mohon maaf kalau ada typo dan kalimat yang gak enak dibaca🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Effect [BXB 21+]
Random[BXB, 21+] Tepat di hari kepergian ibunya, William Shin dihampiri seorang laki-laki asing bernama Aaron Ramsey. Laki-laki itu menunjukkan sebuah email kepada Will yang ternyata dikirim oleh ibunya beberapa bulan lalu. Email itu berisikan sebuah perm...