Will membuka matanya yang terpejam entah berapa lama. Ketika pandangannya yang semula agak buram sudah bekerja sempurna, dia menyisir ruangan di sekeliling yang sudah tidak asing lagi. Ditambah suara ribut wajan yang beradu dengan spatula mengingatkannya pada begitu banyak momen yang masih tersimpan di kepala. Kenangan atas ibunya.
Kedua kaki Will beranjak dari tempat tidur. Selepas menyingkirkan selimut yang menutupi separuh tubuhnya, pemuda itu berjalan meninggalkan kamar, masuk ke area dapur yang kebetulan berhadapan dengan kamarnya.
Dalam posisi berdiri di ambang pintu, Will mematap figur seorang wanita yang sedang memasak sesuatu. Seketika Will melangkah cepat dan memeluk wanita itu dari belakang, dengan sangat erat seakan takut kehilangannya lagi.
"Kenapa, Will?" Charlotte—ibunya bertanya dengan wajah heran. "Ck, kalau mau peluk Ibu nanti-nanti saja. Ibu lagi masak tahu! Kalau wajannya terbalik, bagaimana?"
Will masih tidak melepas pelukannya, malahan tubuhnya bergetar dan isakan jelas terdengar. Charlotte yang kebingungan segera mematikan kompor meskipun masakannha belum matang, dia melepas pelukan Will dan membawa anaknya itu ke ruang tengah.
"Ada apa, Will?" Charlotte bertanya pelan. Satu tangannya menyeka air mata yang mengalir di pipi Will.
"Ibu...." Will masih terisak. Melihat hal itu, Charlotte lekas memeluk anaknya, menepuk pelan punggung Will mencoba untuk menenangkannya.
Bukannya mereda, Will malah makin menangis menerima perlakuan itu.
"Ibu di sini, Will." kata Charlotte. "Ibu enggak pernah ke mana-mana, Ibu selalu berada di dekatmu."
Will tidak tahu berapa lama ia menangis di dalam pelukan ibunya. Charlotte tidak pergi, senantiasa menenangkan Will yang masih terisak.
Setelah menit-menit berlalu, Will melepaskan diri. Ibunya tersenyum.
"Kenapa menangis, Will?"
"Aku kangen Ibu," lirih Will.
Charlotte tersenyum. "Padahal ibu enggak ke mana-mana. Kenapa kangen?"
Will menggeleng, tidak bisa berkata-kata.
"Ya sudah kalau gitu, Ibu lanjut masak lagi, ya? Habis ini kita sarapan sama-sama." Charlotte beranjak dari sofa.
"Bu," Will memanggil. Charlotte yang sudah berjalan beberapa langkah lantas berhenti, menomeh ke arah anaknya.
"Kenapa, Will?"
"Ibu akan selalu ada di dekat aku, kan?"
Charlotte mengangguk. "Iya, Will."
"Kalau gitu, aku juga akan selalu berada di dekat Ibu. Aku enggak mau jauh-jauh dari Ibu."
"Untuk yang itu, enggak bisa Will," kata Charlotte, senyuman yang begitu menenangkan terpatri di wajah cantiknya. "Kamu harus pulang."
"Pulang ke mana, Bu? Aku sudah pulang, ini rumahku, rumah yang ada Ibu," balas Will.
Charlotte berjalan mendatangi Will, lalu duduk di sebelah anaknya itu. "Will, dengarkan perkataan ibu. Kamu harus pulang."
Mata Will kembali berkaca-kaca, air mata siap tumpah lagi.
"Setelah sarapan, kamu harus janji sama Ibu, kamu harus pulang."
Dengan pipi basah oleh air mata, Will mengangguki ucapan ibunya.
Charlotte tersenyum, mengelus punggung putra semata wayangnya, lalu berjalan ke arah dapur.
Tak lama Will kembali mendengar suara wajan yang beradu dengan spatula, disertai wangi harum masakan yang menggugah selera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Effect [BXB 21+]
Random[BXB, 21+] Tepat di hari kepergian ibunya, William Shin dihampiri seorang laki-laki asing bernama Aaron Ramsey. Laki-laki itu menunjukkan sebuah email kepada Will yang ternyata dikirim oleh ibunya beberapa bulan lalu. Email itu berisikan sebuah perm...