Chapter 8: Kehangatan Es Krim

33 2 0
                                    

Valerie's P.O.V

Walaupun aku agak bingung, aku mengiyakan ajakannya untuk makan es krim. Tempat es krim itu buka hingga jam sepuluh dan waktu itu belum setengah sembilan, jadi kami masih bisa memesan dan duduk di sana.

"Kau mau rasa apa?" Tanyanya.

"Aku mau Choco Chip." Balasku.

"Oke, aku belikan ya, kau duduk saja di sana." Katanya. Aku nurut saja dan memilih meja di pojokan, mungkin karena sudah malam, tempat es krim itu tidak ramai, hanya ada dua orang pengunjung lainnya selain aku dan Glenn di sana.

Setelah membeli es krim, ia datang ke meja dan menyodorkan es krim Choco chip kepadaku sementara dia sendiri membeli es krim rasa vanilla.

"Kau suka rasa vanilla?" Tanyaku. Kupikir ia akan memilih rasa yang lebih berwarna. Toko es krim ini memiliki sekitar dua puluh varian rasa, dari semuanya itu, ia memilih rasa yang paling umum.

"Aku suka sesuatu yang sederhana." Balasnya sambil memasukan es krim ke mulutnya.

"Kau lucu sekali." Kataku sambil tertawa kecil dan memasukan es krim ke mulutku.

Melihat tawaku, ia tersenyum.

"Ah, akhirnya kau tertawa juga, aku senang kalau kau senang."

"Hm, apa maksudmu?" Tanyaku.

"Tadi kau terlihat sedih, jadi kupikir aku harus membuatmu senang dulu sebelum mengantarmu pulang." Balasnya.

Seketika itu aku baru sadar, alasan dia membawaku ke tempat es krim adalah untuk menghiburku.

Mengetahui hal ini, entah kenapa dadaku terasa hangat. Walaupun es krim di mulutku terasa dingin, namun aku merasakan kehangatan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

"Tadi kau sempat bilang bahwa kau iri dengan keluargaku. Tapi Valerie, kau lupa kalau kau sekarang sudah punya aku."

Glenn mengulurkan tangannya dan menggenggam tanganku sambil menatapku dengan mata birunya yang indah.

"Lagipula keluargaku tidak sesempurna yang kau pikir, Valerie." Kata Glenn dengan senyum pahit.

"Oh ya, Glenn. Apa alasan keluargamu bisa pindah ke Indonesia?" Tanyaku untuk mengalihkan percakapan.

Mendengar pertanyaanku ini, Glenn terdiam sebentar seolah sedang memikirkan sesuatu sebelum akhirnya menjawab.

"Papaku memiliki tugas pekerjaan di sini, makanya kami semua pindah. Mamaku dulu adalah seorang perawat di Belanda tapi dia berhenti kerja untuk menemani papa dan kami di Indonesia." Balasnya.

"Oh, begitu." Aku tidak menanyakan pertanyaan lanjutan karena menurutku itu adalah alasan yang masuk akal.

Jika keluarga Glenn bisa membeli rumah mewah seperti itu dan memasukan putranya ke salah satu kampus swasta terbaik di Jakarta, artinya pekerjaan yang dimiliki ayah Glenn cukup baik.

Setelah selesai makan es krim, Glenn mengantarkanku pulang.

"Sampai bertemu di kampus, Valerie." Katanya sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi.

***

Perkuliahan pun dimulai dan sekilas, tidak terlihat sesuatu yang aneh. Pelajaran berjalan seperti biasa dan Glenn juga bersikap sama seperti sebelumnya.

Bedanya, hari itu kegiatan klub dimulai dan klub Bahasa Inggris beroperasi setiap hari Rabu jam empat sore dimana pada jam itu, sudah tidak ada lagi kegiatan perkuliahan. Jadi aku bisa mengikuti kelas dan Glenn juga satu kelas denganku saat di klub.

Selama kegiatan berlangsung, aku dan Glenn selalu bersama. Kami makan bersama, jalan - jalan bersama dan melakukan kerja kelompok juga bersama.

Tanpa kusadari, walaupun sudah dua minggu aku kuliah, aku sama sekali belum punya teman dekat lain selain Glenn.

Hal ini membuatku mendadak berpikir. Apakah ini hal yang baik? Maksudku, Glenn memang sangat baik denganku, tapi aku bahkan tidak punya satu teman perempuan di hidupku selain Evelyn.

"Valerie, apa kau tidak apa?" Glenn yang menyadari bahwa aku terlihat sedang memikirkan sesuatu melihatku dengan tatapan cemas.

"Tidak apa - apa. Aku hanya sedikit lelah. Aku akan ke kamar mandi dulu untuk cuci muka." Kataku sebelum meminta ijin kepada kakak pemandu sesi dan berjalan menuju ke kamar mandi.

Ketika sudah di sana, aku tidak cuci muka karena aku tidak ingin makeup ku rusak, jadi aku hanya cuci tangan saja.

Ketika aku berbalik, aku tiba - tiba melihat Naomi berdiri di depanku dengan wajah yang terlihat kesal.

Dia memandangiku dengan tatapan sinis. Aku tidak begitu memperdulikannya dan akan berjalan keluar ketika ia menghadang jalanku dan memaksaku untuk berhadapan dengannya.

"Heh, kenapa sih lo deket - deket Glenn mulu. Ga punya temen lain apa lo!" Katanya dengan nada yang menyebalkan.

"Memangnya apa urusannya dengan kakak?" Balasku. Walaupun aku pendiam dan tidak pandai bergaul, aku bukanlah gadis yang bisa di tindas seenaknya.

Aku memandangnya dengan tatapan tajam dan sepertinya reaksi ku yang tidak terlihat terintimidasi ini cukup mengejutkannya.

Hah, memangnya dia pikir semua orang yang pendiam itu bisa seenaknya ditindas?

"Denger ya, mendingan lu menjauh deh dari Glenn, lu tuh ga pantas buat dia!" Balasnya.

"Memangnya kakak siapa? Kakak tidak tahu aku atau Glenn. Apa yang membuat kakak berpikir bahwa kau lebih pantas berada di dekat Glenn?" Tanyaku dengan nada sinis.

"Wah, berani banget lo ya sama kakak tingkat sendiri. Liat lo, gue buat hidup lo sengsara nanti!" Katanya.

"Coba saja kalau bisa." Kataku sebelum aku keluar dari kamar mandi meninggalkan Naomi yang terlihat geram.

Setelah itu, aku kembali ke kelas dan karena aku sulit untuk menutupi ekspresi kesal ku, Glenn dengan cepat menyadarinya, tetapi ia menunggu hingga kami berdua berada di mobil sebelum mulai bertanya.

"Valerie, tadi aku melihat wajahmu kelihatan kesal waktu kembali dari kamar mandi. Ada apa?" Tanyanya.

Aku berpikir sejenak untung mempertimbangkan apakah aku harus menceritakan ini kepada Glenn atau tidak.

"Cerita saja, tidak apa - apa, aku tidak akan menghakimimu." Kata Glenn.

"Tadi aku ketemu lagi dengan kakak tingkat yang menjadi sekretaris di klub Inggris, Naomi. Dia menyuruhku untuk menjauh darimu." Mendengar hal ini, ekspresi Glenn yang tadinya terlihat kuatir langsung berubah menjadi dingin.

"Hah? Dia mengatakan itu?" Katanya dengan nada yang terdengar sedikit kesal.

"Ya, dia bilang kalau aku tidak pantas untukmu dan ketika aku membela diriku, ia bilang ia juga akan membuatku menyesal."

Aku mengungkapkan semua yang terjadi kepada Glenn dan ketika aku menatapnya dengan jelas, aku dapat melihat bahwa aura Glenn sudah berubah.

Seketika ia terlihat sedikit menyeramkan. Tidak ada senyum di wajahnya, gang terlihat hanya raut ekspresi kesal.

"Glenn, apakah kau baik - baik saja?" Sekarang gantian aku yang menanyakan pertanyaan itu kepada Glenn.

"Ya, aku baik - baik saja Valerie." Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipiku.

"Kamu tidak usah khawatir atau memikirkan hal ini, ya." Katanya.

"Di dunia ini, kamu adalah orang yang paling pantas untuk berada di sampingku."

Tatapannya melembut ketika ia mengatakan hal itu lalu ia menarik kembali tangannya.

"Soal Naomi, aku akan pastikan bahwa ia tidak bisa menyakitimu."

VALERIE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang