Chapter 6: Kau Paling Manis

45 4 0
                                    

Glenn's P.O.V

Aku menarik tangan Valerie dan membawanya keluar dari kelas.

"Tunggu, Glenn." Katanya setelah kami berhasil keluar dari kelas.

"Oh, maaf Valerie, apakah aku menggenggam tanganmu terlalu erat?" Tanyaku.

"Bukan soal itu, tapi kau yakin kau mau ke perpustakaan denganku? Bukankah lebih menyenangkan pergi ke mal bersama mereka?" Tanya Valerie kepadaku. Mendengar pertanyaannya aku menggelengkan kepalaku.

"Tidak, lebih menyenangkan jika bersamamu. Walaupun itu di perpustakaan sekalipun." Balasku.

Mendengar jawabanku, kupikir Valerie akan tersenyum dan pipinya akan merona seperti sebelumnya, namun ia hanya menatapku dengan ekspresi heran.

"Baiklah, jika memang itu maumu. Terserah kau saja." Balasnya.

Aku tersenyum. Itu adalah salah satu hal yang aku sukai dari Valerie. Dia bukanlah wanita yang banyak drama. Dia selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya dan bukan seseorang yang ribet.

Kami berdua berjalan ke perpustakaan. Sepanjang jalan aku beberapa kali memperhatikan Valerie.

Valerie cantik sekali. Mau dilihat dari sudut manapun, dia sangat cantik. Walaupun banyak perempuan yang cantik juga di sini maupun di Belanda tempatku berasal, tidak ada yang seperti Valerie.

Dari antara mereka, Valerie yang paling manis.

Kami akhirnya tiba di perpustakaan dan Valerie mendaftar masuk untuk kami berdua. Setelah itu, dia berjalan menuju ke rak - rak buku dan memperhatikan buku itu satu persatu dengan teliti.

Akhirnya, ia berhenti di depan rak buku fiksi dan aku melihatnya mengambil salah satu buku fiksi karya dari Dan Brown.

"Hm, kau suka baca buku semacam itu ya, Valerie?" Tanyaku sambil kami berdua berjalan menuju ke tempat duduk untuk orang - orang yang ingin membaca buku.

"Ya, aku lebih tertarik dengan buku non fiksi sebenarnya. Buku - buku yang berkaitan dengan self improvement dan psikologi. Tapi, jika aku sedang ingin baca novel fiksi, aku biasanya membaca buku semacam ini." Balasnya.

"Oh, begitu ya. Wah, ternyata Valerie selain cantik juga pintar ya." Pujiku.

"Kau bisa saja." Dia tersenyum kecil sambil mulai membuka bukunya. Beberapa saat kemudian, Valerie sudah mulai fokus dengan bukunya dan terlihat ekspresi serius di wajahnya.

Dari awal, aku sudah tahu bahwa Valerie adalah gadis yang lebih intens dari kebanyakan gadis lainnya, tetapi dia benar - benar terlihat lebih intens saat sedang membaca.

Walaupun begitu, dia tetap terlihat manis.

Aku menemani Valerie di perpustakaan sekitar satu jam, setelah itu, kami pergi ke kantin untuk makan siang.

"Valerie, apakah kau bawa bekal dari rumah?" Tanyaku dan ia menggelengkan kepala.

"Terkadang Bi Ina akan memasak bekal untukku, tapi hari ini sepertinya dia sibuk dengan beberapa hal. Aku akan jajan saja." Balasnya.

"Oh, kalau begitu, aku akan membelikanmu makanan ya." Kataku.

Mendengar tawaranku, Valerie tampak terkejut.

"Ah, tidak usah, aku merasa tidak enak jika kau harus mengeluarkan uang untukku padahal kita hanya teman." Katanya.

Hm, teman?

"Tidak apa, Valerie. Sudah kau duduk saja yang manis dan beritahu aku apa yang kau inginkan." Kataku. Walaupun ia tampak ragu, namun akhirnya ia mengalah juga.

"Oke, baiklah, kalau begitu sekarang aku mau nasi dengan ayam geprek mozarella." Katanya.

"Oh, kau suka makanan yang pedas ya, baiklah. Tunggu di sini ya, aku akan membelikannya untukmu."

Aku berdiri dari kursi dan berjalan menuju salah satu stall di sana yang menjual ayam geprek sesuai permintaan Valerie.

Beberapa saat kemudian, aku kembali dengan membawa dua porsi makanan tersebut.

"Terima kasih, Glenn." Katanya sambil tersenyum.

"Sama - sama Valerie. Ayo kita makan." Balasku.

Aku mulai makan makanan yang sama dengannya tetapi ternyata makanan ini lebih pedas dari yang aku kira.

Ini adalah pertama kali aku makan makanan ini dan walaupun dia diberikan keju mozarella di atasnya tetap saja ini sangat pedas bagi orang Belanda sepertiku yang terbiasa makan makanan yang tawar, asin atau manis.

Karena aku tidak ingin terlihat lemah di hadapannya, aku menutupi rasa pedas ini dengan memesan segelas susu.

Tapi walaupun aku sudah berusaha menutupinya, Valerie dengan cepat menyadarinya.

"Apakah kau kepedasan?" Tanyanya.

"Hm, sedikit. Tapi tidak apa - apa. Makanan ini tetap enak." Balasku.

"Glenn, kau tidak perlu memaksakan dirimu. Kalau kau memang tidak suka atau terbiasa dengan makanan di sini, kau tidak harus memakannya."

"Tidak apa, Valerie. Terima kasih sudah memperhatikanku." Balasku.

Seketika, aku melihat pipinya merona lagi dan aku tersenyum kecil.

Jika aku bisa melihat senyumanmu ini, aku tidak masalah merasa kepedasan.

Setelah makan siang, kami kembali ke kelas dan melanjutkan pelajaran seperti biasa. Setelah itu aku mengantarkan Valerie pulang seperti hari - hari sebelumnya sebelum aku pulang ke rumahku sendiri.

Rumah yang dibeli oleh papaku di Indonesia adalah rumah yang terbilang cukup mewah.

Lokasinya sebenarnya cukup jauh dari kampusku, apalagi kalau aku harus mengantar Valerie dulu. Biasanya perjalanan pulang ku menghabiskan satu jam.

Tapi tidak apa, demi Valerie, aku akan melakukannya dengan senang hati.

Setelah aku sampai rumah, aku membuka pintu dan melihat ayahku di ruang tamu. Ia sedang membaca buku dan ketika ia melihatku, ia langsung mengalihkan pandangannya dari buku ke arahku.

"Bagaimana kuliahmu?" Tanyanya dengan nada dingin.

Aku menghentikan langkahku dan menatapnya.

"Oh, biasanya kau tidak pernah peduli dengan hal - hal semacam ini. Apa yang sedang kau pikirkan, papa?" Tanyaku.

"Bagaimana dengan gadis itu? Gadis yang selalu kau ceritakan kepada mamamu. Apakah dia sesuai harapan?" Tanyanya lagi.

"Tentu saja, soal itu tidak perlu diragukan lagi."

Aku berjalan dan sebelum aku menghilang dari pandangan ayahku, aku berbicara.

"Dia akan datang ke sini nanti, jadi kuharap kau tidak membuatnya merasa tidak nyaman."

Aku tidak sapat melihat ekspresi papaku pada saat ini tapi aku yakin dia mengerti apa yang kumaksud.

"Hah, aku? Harusnya dia lebih khawatir denganmu." Papaku berbisik setelah aku pergi.

Aku berjalan ke arah dapur dan melihat mamaku baru saja selesai membuat makan malam.

"Ah, Glenn, kau sudah pulang. Pas sekali, cepat ganti bajumu dan kita akan makan malam bersama." Kata mama.

"Tentu saja, mama." Aku baru saja akan berjalan naik dan melihat Beatrice, adik perempuanku yang berusia empat belas tahun sedang duduk di tangga.

"Apakah kau akan membawa gadis itu ke rumah?" Tanyanya.

"Hm? Tentu saja, dia akan datang untuk makan malam bersama kita akhir pekan ini." Balasku.

"Oh, apakah dia yang nanti akan menjadi kakak iparku?" Tanya Beatrice lagi. Sebelum menjawab, aku berjalan menuju tangga dan mengelus kepala adik kecilku ini.

"Ya, dia yang nanti akan menjadi kakak iparmu, Beatrice. Akan aku pastikan itu."

VALERIE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang