Abey duduk santai di atas motor antiknya. Sesekali menoleh ke arah jalan utama gedung perkuliahan di seberang sana. Memantau apakah Sang Kekasih sudah tiba atau belum.
Abey menatap sekitaran seraya sesekali menghisap batangan nikotin. Hal yang jarang dilakukannya kecuali jika beban dalam pikirannya mulai penuh dan mengganggu.
Abey mengerutkan kening. Seolah teringat sesuatu. "Sial!!! Kenapa gue bisa lupa kalau ini juga kampusnya Nana!!! Bego lo, Bey!!! Panik memang bikin gue mendadak jadi blo'on!!!"
Raut panik jelas tercetak di wajah tegas nan tampan seorang Ardan Benyamin. Segera diraihnya ransel, yang tergantung di setir motor. Mencari sesuatu untuk sekedar menyembunyikan wajahnya.
"Nyari apa sih? Dompet kamu kan, masih aku sita. Kamu punya dompet rahasia, ya?"
Sebuah suara mengalihkan aktivitas Abey, yang refleks menoleh. Tersenyum gugup. "Hai, kok enggak bilang kalau sudah sampai?"
Vido menatap tajam. Menunjuk wajah Abey dengan telunjuk lentiknya. "Jawab jujur, Bey!!! Kamu cari apa?"
Abey menghela napas. Berusaha untuk mengurangi kepanikannya. "Aku cari topi kok. Aku baru ingat kalau ini juga tempat Nana kuliah. Bisa gawat kalau dia lihat aku, apalagi kalau tahu aku jemput adik kesayangannya."
Vido mencibir. "Kak Na enggak ada jadwal hari ini. Kamu pikir aku sebego itu apa? Aku pasti cek dulu jadwal Kak Na."
Abey tersenyum dan mengangguk. Berusaha menahan diri agar tak menggusak surai kecokelatan milik Sang Kekasih. "Ya sudah, kita bisa berangkat sekarang?" tanya Abey seraya menyodorkan helm ke arah Vido
Vido mengangguk dan meraih helm. Memakaikannya dengan bibir sedikit maju. Tampak imut di mata Abey.
"Enggak usah manyun-manyun begitu lah, Yang. Enggak tahan aku."
Plak.
Vido melayangkan telapak tangannya ke arah punggung Abey. "Mau kena bogem kah?"
Abey meringis. Bagaimanapun, Vido tetaplah laki-laki, yang memiliki tenaga sama seperti dirinya.
"Buruan jalan!!!" perintah Vido begitu dirinya selesai mendudukkan diri di jok belakang. Abey yang masih meringis, segera mengikuti perintah Sang Kekasih.
...
Fal menghela napas. Menyibak selimut, yang sejak tadi pagi menutupi seluruh tubuhnya. Rasa lapar mulai menyapa pencernaannya. Ya, sejak pulang dari mall kemarin, lambungnya belum mencerna apapun kecuali sepotong kue dan segelas kopi, yang dipesankan oleh Vido.
Fal beranjak dari tempat tidur. Memutuskan untuk menyelesaikan masalah perutnya. Ya, Fal tak ingin dirinya sakit dan menyusahkan orang lain, terutama Sang Ibu. Walau kehendak hatinya, begitu kuat untuk tetap bergelung dalam selimut.
Fal meraih gawai pintar miliknya. Benda pipih itu dalam keadaan mati. Fal sengaja mematikan semua gawainya agar bisa bebas bergelung dengan pikirannya.
Fal menghela napas sebelum kembali mengaktifkan gawai pintarnya. Dirinya yakin seribu persen, deretan pesan dari Maria akan menjadi pemandangan pertama saat benda pipih itu menyala.
Fal meletakkan benda pipih berwarna hitam itu di atas nakas dan segera keluar dari kamar.
...
Maria mengaduk susu jahe miliknya dengan enggan. Tampak helaan napasnya begitu panjang tertarik beberapa kali. Wajahnya ditopang oleh telapak tangan kiri, membuat wajah mungil itu miring ke kiri. Tatapannya lurus ke depan namun jelas tampak tengah termenung.
"Fal ke mana, ya? Tadi enggak masuk. Aku hubungi susah. Apa Fal sakit, ya? Atau Fal marah? Tapi kali ini kenapa?"
"Pamali ngelamun sambil makan, nanti makanan lo dimakan setan, Peri Kecil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Faldhita (GxG Story)
Romance"Seharusnya hidupku berjalan senormal yang lain, tapi mereka membuatku memilih jalan yang berbeda." Faldhita Raditya