04

643 50 1
                                    

Keesokan paginya, Veya sudah berangkat lebih awal. Sekarang baru jam 06.00, dan dia sudah berada di sekolah. Sangat rajin bukan.

"Ck, gak lagi deh gue tidur dini hari. Kurang tidur buat badan gue jadi pegel semua. Remaja jompo nih." Eluh Veya.

Ya, kemarin Veya tidur di jam 2 pagi. Sangat tidak patut untuk di contoh ya adik adik.

"Eh, tapi kemaren Veya asli dateng. Tapi masa dia gak ngomong apa apa, malah cuma diem mandang gue. Sial banget emang."

Di dalam mimpi, Veya sempat bertemu dengan pemilik tubuh ini kemarin. Bukanya memberi tau alasan kenapa Veya di tarik ke sini, dia malah cuma menatap Veya dengan senyum sendu.

Veya kembali berjalan ke kelas. Sesampainya di sana, kelas masih sepi. Hanya ada dia seorang. Ini masih terlalu pagi bagi para murid lainnya untuk datang.

"Tumben Vey udah dateng. Biasanya lo siangan"

Tiba-tiba ada suara seorang yang menyapanya. Dia Rio. Rio memang paling muda di antara inti Arxe, dia bahkan sekelas dengan Veya. Kelas XI Mipa 3, sementara yang lain berada di kelas XII Mipa 1.

"Lagi pengin aja. Lo juga tumben"

"Gue bukan tumben, emang selalu berangkat pagi kali"

Veya hanya menganggukan kepala. Rio mendudukkan dirinya di belakang bangku Veya.

"Lo berangkat sama bang Al?" tanya Rio.

Veya menolehkan kepalanya ke belakang. "Engga, gue bawa mobil sendiri"

"Kemaren lo pulang duluan? Kenapa gak ngasih tau gue atau yang lain?"

"Lupa, cape gua bosen juga di sana"

"Ohh gituu. Mau ikut ngga ke markas belakang?" ajak Rio, dia bosan di kelas.

"Boleh deh"

Mereka berdua lantas pergi ke markas kecil kecilan Arxe yang berada di rooftop. Tidak ada yang berani ke rooftop karena disana memang daerah para Arxe

Pintu rooftop perlahan terbuka, Rio berjalan ke arah sofa di ikuti Veya.

"Ko sekarang lo jarang gangguin Zen, padahal biasanya kalo ada dia lo yang paling exited" tanya Rio penasaran.

Veya mengerutkan keningnya. Dia gangguin Zen? wakil Arxe? serius? di novel tidak di ceriakan tentang obrolan ini.

Lalu kenapa Rio menanyakan? apakah ada bab yang di revisi oleh author novel ini setelah dia masuk? tanda tanya besar bagi Veya.

"E-engga ada apa apa kok. Takut kak Zen risih tau" Veya menjawab dengan nada sedikit gugup.

"Bisa ngerasa risih juga lo, hahaha" ejek Rio.

"Sialan lo!" Veya bergerak mencubit lengan Rio.

"Heh! sakit anjir, a-aduh aduh lepasin Vey!"

"Rasain lo, makanya jadi orang gausah ngeselin gitu"

"Ekhem"

Suara yang berasal dari belakang sofa, berhasil mengagetkan Rio dan Veya. Seketika mereka menghentikan aktivitasnya.

"Zen? ngapain lo disini" tanya Rio setelah berhasil melepaskan lengannya dari cubitan Veya.

Zen hanya memandang Rio datar. Ia lantas duduk di samping Veya. Jarak mereka dekat, dan itu mampu membuat Veya tak berkutik.

"Abang" Singkat Zen. Ia menoleh ke arah Veya. memandang sejenak gadis itu.

"Hehehe. Iya abang Zen, lupa gak pakai abang" Cengir Rio. Dia memang di suruh memanggil inti Arxe yang lain dengan sebutan abang, Biar lebih hormat ke yang lebih tua katanya.

Setelahnya hening, tidak ada percakapan lagi. Rio memutuskan bermain game online. Sementara Veya, ia berusaha mengalihkan pandangan dari Zen.

Veya gugup karena di pandangi terus-menerus oleh Zen. Zen yang merasa Veya gugup pun tersenyum tipis, sangat tipis.

"Relax Vey" ucap Zen pelan

Veya lantas menatap Zen, Ia sempat terpesona dengan wajah Zen. Sangat tampan.

Zen mengelus pelan pipi Veya yang membuatnya tersadar kembali

"H-halo bang" ucapan Veya terbata bata karena masih menahan gugup. Tak sanggup melihat ketampanan yang luar biasa di wajah Zen.

Zen tertawa kecil "Halo juga babe" ucapnya pelan

Cukup! Veya tak sanggup, Ia langsung berdiri dan berlalu keluar rooftop. Bisa bisa ia mati dua kali karena tak sanggup dengan ketampanan Zen. Agak lebay memang Veya ini

"Lah, ngapa tu orang?" heran Rio yang melihat Veya pergi dengan terburu buru.

Zen hanya memandangi gadis itu dengan senyum kecil. Gadisnya selalu lucu, apalagi tingkahnya tadi barusan.

Hah, dia mulai berandai jika ia menjadi pacar Veya. Itu pasti akan sangat lucu

"Bang lo ngapain senyum senyum sendiri?"

Zen berdeham, ia kembali memasang wajah datar. Tanpa membalas ucapan Rio, Zen pergi dari rooftop.

"Kenapa si orang orang? kok pada aneh tingkahnya" Rio terheran heran melihat tingkah dua manusia tadi.

ˏˋ°•*⁀➷

Veya berjalan di lorong sekolah, keadaan sekitar sudah mulai ramai. Mengingat jam sudah menunjukkan pukul 06.35 dan sebentar lagi bel akan di bunyikan. Dia akan kembali ke kelasnya.

"Btw, tadi kenapa si Rio ngomong kalo gue suka ngerusuh ke Zen? kok gue gak tau plot yang bagian ini sih?" Veya mengernyitkan dahinya berpikir keras agar bisa mengingat semua alur.

"Apa jangan jangan ada yang gue lewatin? si Veyana juga kenapa gak mau ngasih tau tentang kehidupannya dulu sih. Bikin otak gue tambah mumet aja"

Veya sedikit menghentakan kakinya lantaran dia di buat bingung dengan semua ini.

"Anjir lah, gue mau bolos aja" Veya berputar arah dan berjalan ke arah tembok belakang.

Sebelum memanjat tembok yang tidak terlalu tinggi, Veya memperhatikan sekitar dengan seksama. Dia takut ketahuan dan harus berakhir di BK.

"Ih! susah banget manjat pake rok"

Setelah beberapa usaha, akhirnya Veya berhasil melewati tembok tersebut. Dia akan pergi ke danau di dekat hutan kota.

Veya sempat meminta motor sport kepada ayahnya dan karin motornya baru tiba di rumah. Saat sedang berkeliling mencoba motor barunya dan melihat jalanan sekitar dia tak sengaja menemukan tempat itu.

Hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit dari sekolah. Dia memarkirkan motornya di samping pohon tidak jauh dari tempat danau.

Danau ini tertutup, masih banyak pohon rindang dan juga tanaman. Walaupun seperti itu tempat ini sangat bersih. Sepertinya belum ada yang tau tempat ini.

"Gue udah mati belum ya? gue pengin pulang anjir. Eh tapi waktu itukan gue cuma nabrak pohon masa iya langsung mati sih?"

Baru saja dia menempati tubuh ini sekitar  seminggu, dia malah sudah mengeluh. Apalagi jika harus tinggal di sini selamanya?

"Gue gak mau deket deket tokoh utama anjay, bisa bisa nanti gue alergi karena sifat mereka. Apalgi si Gevas, bisa bisanya di gay dan malah suka sama Hega? gak abis pikir sih gue"" ucap Veya panjang lebar.

Veya heran, masih banyak perempuan tapi kenapa Gevas lebih memilih menyukai Hega?

Veya membaringkan tubuhnya di pinggir danau. atasnya masih rimbun dedaunan pohon, kadi dia tidak akan ke panasan.

Angin semilir membuat tubuh Veya menjadi rileks dan membuat matanya terasa berat. Dengan perlahan matanya terpejam, suara kicauan burung menambah kesan ketenangan sehingga Veya menjadi tidur pulas.

----

Vote dan komen guys!!
Pantengin terus cerita ini ya!!

Figuran Numpang LewatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang