05: Tombstone

73 14 5
                                    

Gelap—

Sean—lelaki manis itu hanya bisa mendeskripsikan sekelilingnya dengan kata itu. Gelap. Tapi ia bisa melihat. Bisa melihat batu-batu berserakan di sekelilingnya. Batu-batu yang dia tak mengerti batu apa itu. Batu yang diatasnya bertuliskan sesuatu—tapi ia merasa samar membacanya.

Dua orang berdiri tak jauh darinya. Seorang laki-laki dan yang satunya lagi adalah wanita. Sean melihat mereka, melihat dengan jelas dan mencoba merekam dalam memori otaknya. Ia mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan keduanya.

Seorang lelaki dengan rambut merah oranye seperti warna api, bola matanya yang berwarna coklat cerah dan pakaian yang—ia tak bisa menjelaskannya. Padahal ia melihatnya, tapi ia merasa ia samar untuk mengingatnya. Apakah otaknya tidak bisa diajak berkerja sama? Sementara wanita itu, wanita yang sangat cantik dengan ukiran wajah yang begitu sempurna.

Bak bangsawan Inggris abad ke Sembilan belas. Itu menjelaskan segalanya. Rambut hitamnya tergerai, agak ikal, wajahnya yang begitu rupawan dengan hidung mancung mungil dan bibir merah maroon serta mata yang terlihat ... kesepian. Sean tak mengerti, mata kirinya mengeluarkan air mata tepat ketika bulir bening itu jatuh di kedua kelopak mata wanita cantik itu.

Mereka berdua diam. Tidak ada yang berkata sepatah katapun tapi Sean merasa ia akan baik-baik saja, meski ia adalah orang penakut.

Sean kembali melihat ke sekelilingnya. Ia baru menyadari batu-batu itu, mereka berbentuk seperti puzzle. Sean bukan seseorang yang pintar, tapi ia merasa ia tahu bagaimana cara menyusunnya. Batu-batu yang bertulisan itu.

Ini mimpi.

Sean meyakinkan dirinya sendiri. Tapi batu-batu itu terasa begitu berat. Ia tak bisa mengangkatnya. Ia menatap pada lelaki di sebelah wanita cantik yang berdiri tak jauh darinya—mencoba meminta bantuan. Lelaki itu tersenyum, senyuman yang terlihat sinis.

"Kau bisa mengangkatnya." dia menatap dalam. Jauh ke dalam bola mata Sean, hingga Sean bisa melihat di bola mata coklat terang itu pantulan dirinya sendiri. Seperti cermin.

Terangkat—

Sean bisa mengangkatnya, meski masih terasa berat. Sean mulai menyusun satu persatu batu itu. Batu-batu yang diatasnya terdapat nama-nama yang tak asing di benaknya.

Siapa?

Nama siapa?

Ia tersenyum ketika menyadari tinggal satu batu lagi yang harus ia susun dan puzzle itu akan menjadi lengkap. Ia mengangkat batunya dan—

Mata Sean terbuka, napasnya terdengar memburu dan ia menatap ke sekelilingnya. Ini bukan tempat gelap dengan batu-batu tadi. Ini kamar Sehun.

Ia melihat ke samping kanannya, ada Sehun di sana. Tertidur dengan sangat lelap. Sean menghela napasnya, ia akan tertidur kembali. Tubuhnya terasa sangat lelah.

Berasa de javu.

Dia mengulang mimpi yang sama. Ingin memaki dalam hati, tapi ia mengulang kembali ketika ia mengangkat satu per satu batu yang ada di sana, menyusunnya dengan ingatan miliknya sebelumnya. Terasa jauh lebih mudah.

Namun—

Ketika ia akan meletakkan batu terakhir.

Matanya terbuka kembali. Ia terbangun. Melihat sekelilingnya dan kembali dihadapkan dengan langit-langit ruang kamar Sehun. Sean mencoba tertidur lagi.

Kenapa?

Ia harus mengulang menyusun puzzle ini dari awal. Ini konyol dan ia tahu pasti ia takkan pernah bisa menyelesaikannya kecuali jika ia tertidur selamanya. Ia menatap dua orang yang menjadi petunjuk terakhirnya. "Siapa kalian?" dan pertanyaan itu meluncur juga.

GHOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang