Bab 27

120 11 0
                                    

Hujan deras di musim panas. Aroma lembab memenuhi indra penciuman. Sahara duduk di dalam gua, berteduh dari hujan. Memang inilah yang biasanya dia lakukan jika hujan tiba di WildArea.

Nasib tinggal dengan para hewan membuatnya ikut hidup seperti hewan. Tidur dibawah langit saat cerah, dan berteduh di dalam gua jika hujan deras seperti sekarang.

Ash menyalakan api unggun. Sebetulnya dia bahkan tidak sempat mengambil kayu bakar karena hujan sudah lebih dulu turun dengan derasnya. Karena itu dia mengambil ranting kayu yang basah karena hujan, lalu mengeringkannya ketika tiba di bawah gua.

Lelaki itu menusuk kentang dengan ranting tipis yang sudah di tajamkan. Dia membakar kentang itu dalam diam. Api menari lembut kala diterpa angin dari luar.

"Kenapa tidak suruh yang lain mengambil buah?" Sahara bertanya. Netranya menatap rambut Ash yang masih basah bekas hujan tadi. Bajunya yang basah juga menempel di tubuhnya, mencetak otot-otot yang nampak tak begitu besar maupun tak kecil.

"Apa kamu tidak bosan?" Ash menumpu dagu. "Memakan buah begitu saja selama berbulan-bulan. Kamu baru bisa makan enak saat tiba di Cair Paravel, kan?"

Sahara mengangkat bahu. "Tidak juga. Setiap hari rasa buah itu berbeda. Hari ini apel, besok semangka."

Sang empu terkekeh. Bisa-bisanya dia mengatakan makan buah begitu saja enak. "Baiklah. Karena wanita selalu benar, jadi aku akan membiarkanmu mengatakan kebenaran."

Sahara mendekat ke arah api unggun. Dia mengulurkan tangan, berusaha untuk menghangatkan dirinya yang kedinginan. "Omong-omong, karena bisa membuat ranting basah itu jadi kering, kenapa kamu tidak mengeringkan tubuh kita juga?"

Ash terdiam sejenak. Dia lupa tentang itu. Terlalu sibuk memikirkan cara membakar kentang membuatnya benar-benar lupa dengan keadaan mereka yang hampir basah total.

Netranya menatap Sahara yang duduk didepannya. Rambut hitamnya basah, terkadang meneteskan bulir air. Hal itu membuat Ash memperhatikan Sahara lebih lama. Mulai rambut, wajah, hingga tubuhnya. Sontak Ash menghela napas panjang. Dia mengalihkan pandangan pada api unggun. Sesaat dia seperti kehilangan kewarasan.

"Kamu benar. Tidak baik basah seperti ini." Terutama untuk jantungnya. Lelaki itu mengayunkan tangan, angin hangat mengelilingi mereka dan mengeringkan tubuh mereka. Angin itu hanya berfokus pada mereka hingga api unggun bahkan tak bergerak saat angin itu tiba.

Sahara hanya bisa menatap dengan takjub. Merasakan tubuhnya kembali kering, dia tersenyum lebar dan memeluk bahunya sendiri. "Terima kasih, Ash. Sekarang jauh lebih hangat."

Ash terdiam cukup lama, menatap Sahara dengan netra emasnya. "Cantik." Katanya tak sadar.

Sahara berkedip banyak kali. Mencoba untuk menyadarkan dirinya. Apa? Apa katanya? Apa dia benar-benar mengatakan itu atau Sahara yang berkhayal?

Sahara hanya bisa berdehem lalu menatap kentang bakar dibawah sana. "K-kentangnya enak, ya." Dasar. Padahal masak saja belum tentu, tapi Sahara sudah berkata begitu. Memalukan.

Gadis itu menunduk malu. Berharap bisa menggali lubang untuk bersembunyi.

"Sahara, aku bilang kau cantik." Ash malah dengan tidak tahu malunya kembali mengatakan itu. Mungkin dia berpikir mumpung sudah mengatakannya, bagaimana jika jujur saja? Toh, sudah terjadi.

Sahara menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia menggosok wajahnya beberapa kali sebelum menatap Ash dengan wajah normal. Berusaha untuk tidak menganggapnya berlebihan. Ash mengatakan itu bukan karena suka padaku, melainkan karena aku memang cantik. Batinnya berusaha menenangkan.

Dia mengangguk sebelum tersenyum. "Kau juga tampan, Ash."

"Apa singa bisa tampan?" Ash bergeser mendekat. Tangannya dia taruh di belakang Sahara.

Became An Extra CharacterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang